Pustakawan di Indonesia Terlalu Materialistis
Oleh : Asnawin
Tak mudah menjadi pustakawan di Indonesia, karena banyak kendala yang dihadapi dalam menjalankan tugasnya, tetapi seorang pustakawan yang baik tidak boleh pasrah begitu saja dengan berbagai kendala yang dihadapi.
Kenyataannya, pustawakan di Indonesia jalan di tempat, karena terlalu materialistis. Ibarat ikan lumba-lumba di Taman Impian Jaya Ancol Jakarta yang hanya mau melompat setelah diberi makan ikan, pustawakan di Indonesia juga umumnya baru mau bekerja kalau ada honor atau sertifikat yang akan diterimanya.
Pustakawan di Indonesia umumnya juga tidak mengerti dan tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, sehingga sulit mengakses berbagai informasi dan juga tidak banyak peluangnya untuk berinteraksi dengan pustakawan di berbagai belahan dunia.
Pernyataan tersebut diungkapkan Kepala Perpustakaan BJ Habibie Politeknik Negeri Ujung Pandang, Salmubi Ssos SS MIM, saat tampil sebagai pembicara pada Seminar Internasional Perpustakaan dan Masyarakat Informasi 2008, di Gedung PKP Unhas, Makassar, belum lama ini.
Salmubi yang tahun 2007 terpilih sebagai pustakawan terbaik nasional, mengingatkan bahwa misi utama pustakawan adalah menjamin bahwa setiap jenis sumber informasi perpustakaan dapat diakses secara efektif dan efisien, sehingga setiap pengguna (warga) dimungkinkan mendapatkan pengetahuan, ide-ide, dan pandangan tentang berbagai hal dalam kehidupannya.
Misi pustakawan sangat dimungkinkan terlaksana dengan lebih baik sekarang ini, karena kehadiran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di perpustakaan. Akses luas dan tanpa rintangan bagi setiap warga untuk mencari dan memanfaatkan informasi merupakan bagian penting dan intelectual freedom yang juga menjadi hal yang diperlukan dalam Masyarakat Informasi (MI).
Sejumlah karakteristik lingkungan baru (era digital) sebagai akibat dari perkembangan TIK, menghadapkan pustakawan pada sejumlah kenyataan yang tak terhindarkan.
Kenyataan itu dapat berupa, antara lain: akses lebib besar terhadap berbagai jenis informasi, kecepatan akses informasi, kompleksitas temuan informasi, analisis dan hubungan informasi, teknologi yang berubah secara konstan dan terus menerus, keharusan menyediakan anggaran yang memadai untuk merespons perkembangan teknologi dan hal-hal terkait lainnya.
”Teknologi informasi sebagai bagian penting dari MI mengharuskan pustakawan membekali dirinya dengan kompetensi dan profesionalisme tinggi,” kata Salmubi.
Kompetensi dan profesionalisme pustakawan harus ditingkatkan dari waktu ke waktu agar tugas dan predikat baru yang dialamatkan kepada pustakawan dapat terlaksana dengan baik.
Sebab, pustakawan dalam MI setidaknya harus seorang yang bervisi, mampu melihat jauh kepada masa depan. Ia pun harus lebih proaktif dalam mempersiapkan tindakan-tindakan antisipatif dan preventif terhadap berbagai perkembangan terbaru yang sedang dan yang mungkin terjadi.
Karena itu, pustakawan harus menjadi pembelajar seumur hidup (lifelong learner) agar lebih sensitif terhadap kehidupan yang berlangsung dengan sangat dinamis dan juga mampu menjawab tantangan perubahan yang berlangsung cepat.
Pembelajaran seumur hidup harusnya melekat pada keseharian pustakawan. Pembelajaran merupakan titik awal suatu proses yang tiada berakhir dan hal itu menunjukkan adanya kedinamisan.
Profesi Dinamis
Menurut Salmubi, pustakawanan itu adalah profesi yang dinamis. Kedinamisan menumbuhkan pembaruan secara terus menerus, sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap pustakawan tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan zaman.
Fleksibilitas tinggi dan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang terus berubah, multidisiplin atau generalis, dan memiliki komitmen tinggi terhadap profesi pustakawan, merupakan syarat lain yang harus dimiliki pustakawan era digital.
Peran dan tugas-tugas pustakawan yang kompleks dalam MI harus dibarengi dengan peningkatan kemampuan pustakawan agar mereka dapat juga berperan sebagai peneliti, perencana, pembimbing, manajer informasi, assessor, dan problem solver.
Dengan kata lain, pustakawan masa kini menjadi sosok yang harus “serba bisa”. Keserbabisaan pustakawan dapat ditunjukkan dengan pengetahuan dan kemampuannya tentang masalah-masalah lain yang tidak terkait langsung dengan tugasnya sebagai pustakawan, misalnya masalah keuangan, standar-standar, peraturan-peraturan, ketentuan hukum, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan perpustakaan.
Jelas, bahwa keberadaan TIK di perpustakaan nantinya tidak hanya mengubah peran pustakawan menjadi lebih kompleks, tetapi juga memunculkan pekerjaan-pekerjaan baru yang berhubungan dengan aspek organisasi, penyebaran inforamasi, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan akses terhadap sumber-sumber informasi.
”Sekarang dan di masa datang, pustakawan menjadi kurang tepat jika hanya diposisikan sebagai penyedia informasi (information provider) semata atau penjaga ilmu pengetahuan (the keeper of knowledge). Tetapi, mereka adalah penyedia akses informasi (information access provider),” tandas Salmubi.
110 Peserta
Selain Salmubi, panitia juga menampilkan Gubernur Sulsel diwakili Sidik Salam sebagai pembicara utama, serta Manette Sose (seorang pemerhati perpustakaan dari Amerika Serikat) dan David Palmer dari Perpustakaan Universitas Hongkong.
Ketua Panitia, Sabri Ali Ssos, menjelaskan, seminar diikuti 110 peserta dari berbagai kabupaten dan kota se-Sulsel dan Sulbar.
”Peserta terdiri atas pustakawan, guru, pegawai Dinas Pendidikan, serta pemerhati perpustakaan, termasuk wartawan,” jelas Sabri.
(dimuat di Tabloid Demos, Makassar, I-II Desember 2008)
bergabung di facebook group LIBRARY CARE 4 PEOPLE. Kita majukan peradaban bangsa dengan memberdayakan perpustakaan
BalasHapustrims atas ajakan dan infonya...
BalasHapus