Rabu, 24 Desember 2008

Pemprov Sulsel Gagal dalam Politik Media



keterangan gambar: Akob Kadir

Pemprov Sulsel Gagal dalam Politik Media

Oleh: Asnawin


Pemerintah Provinsi Sulsel telah gagal dalam politik media, karena citra Sulawesi Selatan secara nasional tergolong negatif.
Banyaknya pemberitaan mengenai aksi unjukrasa mahasiswa yang ditandai dengan aksi baker ban, tutup jalan, dan bentrok dengan aparat kepolisian, hanyalah salah satu jenis pemberitaan yang diangkat media massa nasional.
“Di tempat lain juga banyak aksi unjukrasa mahasiswa, tetapi berita unjukrasa mahasiswa di Makassar, tampaknya terlalu dibesar-besarkan media, bahkan sering beritanya diulang-ulang dan dijadikan topik khusus di stasiun televisi,” papar Direktur Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar (STIEM) Bongaya, Makassar, Drs HM Akob Kadir MSi, kepada DEMO’s, di ruang kerjanya, Senin, 22 Desember 2008.
Seharusnya Pemprov Sulsel melakukan pendekatan dan menjalin hubungan yang baik dengan wartawan dan pemilik media, sehingga pemberitaan mengenai berbagai peristiwa dan dinamika yang terjadi di Sulawesi Selatan menjadi berimbang.
Akob Kadir mengaku kerap ditanyai koleganya sesama pimpinan perguruan tinggi dari Pulau Jawa dan Sumatera tentang kondisi keamanan dan gerakan mahasiswa di Sulawesi Selatan.
Ada pengalaman menarik yang dialaminya, yaitu ketika seorang rekannya dari Palembang ingin menghadiri acara pesta perkawinan di Kabupaten Sidrap.
Rekannya sesame akademisi tersebut mengaku ragu-ragu berkunjung ke Makassar, karena pemberitaan mengenai keamanan di Sulsel di berbagai media massa nasional kurang bagus.
“Saya bilang aman dan saya jamin keamanannya. Setelah tiba di Makassar, lalu ke Sidrap, dan kemudian balik lagi ke Makassar, teman saya itu bilang, wah ternyata tidak seperti yang ditayangkan di televisi,” ungkapnya.
Menyinggung kemungkinan adanya dalang di balik upaya pencitraan negatif mengenai keamanan di Sulawesi Selatan, Akob mengaku tidak berani memastikan, namun ia mengatakan bahwa sejumlah kalangan juga mencurigai kemungkinan adanya upaya dari pihak-pihak tertentu untuk menciptakan citra kurang bagus mengenai Sulawesi Selatan.
“Saya kira kita memang patut curiga,” katanya.
Aksi-aksi bakar ban, tutup jalan, dan tindakan anarkis mahasiswa, lanjutnya, kemungkinan juga ada pengaruh-pengaruh pihak luar kampus yang punya kepentingan tertentu.
“Sayangnya mahasiswa juga kadang-kadang tidak sadar bahwa mereka telah terprovokasi atau ditunggangi,” ujar Akob.

Unit Kegiatan Mahasiswa

Sebagai pimpinan perguruan tinggi, dia mengakui bahwa peran kampus sangat besar untuk meredam atau meminimalisir aksi-aksi berlebihan dan tindakan kurang terpuji para mahasiswa.
Khusus di STIEM Bongaya Makassar, seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tidak diperkenankan memiliki sekretariat di dalam lingkungan kampus.
“Awalnya kebijakan saya ditolak bahkan mahasiswa melakukan aksi unjukrasa, tetapi setelah kami jelaskan dan lakukan pendekatan, akhirnya mereka bisa menerima,” ungkap Akob.
Sekretariat UKM harus berada di luar kampus, tetapi tidak boleh terlalu jauh. Pihak kampus menyewa rumah yang ada di sekitar kampus dan rumah itulah yang dijadikan secretariat oleh mahasiswa.
“Sekali-sekali kami datang mengontrol mereka, karena jangan sampai di sana ada benda-benda tajam, narkoba, atau ada perempuan yang menginap,” paparnya.
STIEM Bongaya dewasa ini membina sekitar 350 mahasiswa dan di kampus tersebut terdaftar delapan Unit Kegiatan Mahasiswa, yakni Mapala, UKM Olahraga, UKM Seni, UKM Studi Club Ilmiah (SCI), HMJ Akuntansi, HMJ Manajemen, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), serta Mejalis Musyawarah Mahasiswa (M3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar