PEDOMAN KARYA
Senin, 01 Desember 2008
Resensi
Buku:
Indonesia dalam Pantun
Oleh:
Abdul Haris Boegies
(Pemerhati Masalah
Sosial-Budaya Sulsel)
Judul Buku: Indonesia dalam Pantun
Penulis: Mustam Arif
Penerbit: Pustaka
Refleksi Makassar (Oktober 2007)
Tebal: 95 halaman,
KRITIK bisa dilakukan
lewat berbagai medium. Hal ini juga kemudian menggoda Mustam Arif, seorang
jurnalis dan pengelola lembaga swadaya masyarakat di Makassar. Alasannya
sederhana. Selain ingin memanfaatkan pantun sebagai ‘alat’ melakukan kritik
sosial, juga melestarikan tradisi nusantara tersebut di tengah-tengah
berkembangnya kesusastraan modern.
Atas dorongan itu pula,
Mustam Arif menuangkan pantun-pantun yang menurutnya karya tersebut kebanyakan
dibuat secara spontan. Maksudnya, tiba masa deadline mengisi sebuah kolom kecil
yang pernah ada di salah satu koran lokal di Sulsel, barulah berkutat dengan
merangkai kata-kata.
Kadang rumit memang,
karena harus mencari kesamaan huruf di akhir kata untuk membentuk persajakan.
Di samping masih harus mencari hubungan makna simbolik antara sampiran dan isi,
agar bisa mempertahankan persyaratannya sebagai pantun.
Kerja spontan itu
melahirkan sejumlah pantun, yang kemudian diterbitkan oleh Penerbit Pustaka
Refleksi, sebagai sebuah buku, dengan judul “Indonesia dalam Pantun”.
Pantun-pantun dalam buku ini memotret kondisi sosial, politik, budaya, dan
lain-lain, yang pernah terjadi di negeri ini.
Ada kejadian-kejadian
lokal Sulawesi Selatan dan Makassar, ada juga peristiwa nasional, bahkan
masalah internasional pun ikut disinggung. Mustam mengakui, pantun adalah puisi
lama yang sakral di tengah-tengah masyarakat pada masanya, yang ketika
disampaikan harus lewat tatakrama kesantunan.
Namun, menurut Mustam
sendiri, yang ada dalam buku ini adalah pantun yang menyesuaikan diri dengan
situasi masa kini, yang segala sesuatunya harus dikatakan secara terus terang.
Karena itu, Mustam
menyebut karyanya sebagai pantun ‘metal’ yang blak-blakan, genit, dan nakal.
Pada catatan di buku ini, Mustam meminta maaf kepada pihak-pihak yang merasa
tersentuh dengan pantun-pantun yang dibuatnya.
“Bukan maksud melukai
sesama, tetapi ikhlas saling mengingatkan, karena di segala ruang dan waktu,
kritik adalah kebutuhan,” tulis Mustam.
Dalam buku ini, memuat
sekitar 76 judul. Dimana pada setiap judul menyorot satu masalah dengan memuat
tujuh hingga delapan pantun. Pantun dalam buku ini memotret aneka masalah yang
pernah terjadi di tengah-tengah kita, hingga April 2007, yang dirangkainya
seperti dalam bentuk liputan peristiwa.
Contoh;
“Daun kelapa dianyam
janur
Janur dipasang di
pinggir jembatan
Gubernur dan Wagub,
calon gubernur
Kantor berpindah ke
rumah jabatan”
Kalau tidur di atas
kasur
Janganlah bantal
diselip jarum
Gubernur dan Wagub
calon gubernur
Duduk berdampingan
kehilangan senyum”
Pantun ini ungkapan
yang melukiskan suasana Pilkada di Sulsel.
Atau;
“Kalau ingin mendaki
gunung
Janganlah sampai sakit
punggung
Lantang bersuara
menolak poligami
Apalah daya belum
mengalami
Itik bertelur di
sembarang tempat
Telurnya jatuh di bawah
pantat
Suami berjanji tidak
akan poligami
Rutin berhubungan
dengan mami-mami”
Ini adalah ungkapan
yang menyindir soal poligami.
Atau pada judul “Mabuk
Senayan”, Mustam berpantun antara lain;
“Ada candu di buah
kecubung
Jangan sampai dimakan
itik
Sama-sama dilanda mabuk
panggung
Panggung hiburan dan
panggung politik
Jika ingin bersarung
batik
Jangan sampai terlilit
panjang
Pangggung hiburan dan
panggung politik
Dari kursi lompat ke
ranjang”
Tentang Makassar,
Mustam menyentil;
“Duduk-duduk di
Karebosi
Mengalun merdu musik
perkusi
Kota Makassar kota
bersejarah
Dikepung ruko berbagai
arah
Nonton orkes di
Ballaparang
Anak muda membawa parang
Kota Makassar kota
bersejarah
Berita di televisi
berdarah-darah”
Jenaka dan menggelitik.
Karena itu, Mustam mendedikasikan pantun-pantun ini sebagai “teman” minum kopi.
Kita kadang tertawa, dan kemudian menyadari bahwa kita menertawai diri kita.
-----
Keterangan:
Resensi ini dimuat Harian Fajar Makassar, 25 November 2007, dengan judul “Menertawai Kita”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar