Rabu, 03 Desember 2008

Buce Rompas



Dulu Banyak Meliput Peristiwa Bersejarah, Kini hanya Main Bridge

Laporan: Eko Rusdianto

B.Ph.M. Rompas, Wartawan yang Ikut Pertemuan Kahar Muzakkar-Jenderal M Jusuf

LELAKI tua itu kulitnya putih bersih. Kemeja coklat lengan panjang bergaris, berkotak merah kecil membalut badannya. Dalamannya kaos oblong putih.Di kerahnya terselip pulpen hitam. Kacamata tebal melengket di pangkal hidung. Di samping rumah ada anjing kecil yang dirantai, sesekali menggongong. Rambutnya lurus, putih tersisir rapi. Selalu tersenyum.

Setiap pagi dia berdoa, membaca alkitab. Setelah itu lelaki 76 tahun itu, mulai bercanda dengan cucunya. Atau membaca koran langganannya. Dia menikmati liputan Depth News. “Saya senang dengan tulisan feature,” katanya.

LELAKI itu bernama Boet Philipe Manuel Rompas. Biasanya namanya disingkat B.Ph.M. Rompas, seorang wartawan tua, mantan kepala cabang Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) di Makassar untuk Indonesia Timur. Suatu ketika dia sadar dengan umur, yang semakin tahun menyapa.

“Sekarang pelan-pelan saya menulis catatan atau buku tentang pertemuan saya dengan Kahar. Dari awal sampai meninggalnya,” katanya, Kamis, 11 September 2008.

Rompas adalah satu-satunya wartawan yang ikut pertemuan antara pemimpin DI/TII, Kahar Muzakkar dengan almarhum Jenderal M Jusuf yang kala itu Panglima Kodam XIV berpangkat Kolonel. Pertemuan itu dilaksanakan di Bonepute, Luwu, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Bonepute.

Jusuf berencana mengabadikan pertemuan itu, meski sebelumnya ada kesepakatan tak mengikutkan wartawan.

“Jadi saya pakai seragam tentara lengkap,” kenang Rompas. Waktu itu, Rompas mengaku membawa tas. Isinya tape recorder besar dan kamera Besa 2. Di belakang kamera ada tulisan IPPHOS. Setelah mengucapkan salam, dia lalu mengatur jarak lensa kamera. Menghitung-hitung.

Jaraknya 2,5 meter. Namun, ketika Jusuf datang Kahar menjemput, lalu berpelukan. Aturan lensa berubah. Tak ada waktu mengatur kembali lensa. “Saya langsung menggeser kamera. Jepret. Hasilnya goyang. Mau apa lagi kejadian itu begitu cepat,” Rompas masih begitu ingat peristiwa penting tersebut.

Usai pertemuan, Rompas yang berusaha menyembunyikan identitas wartawannya, mengaku berjalan jauh di depan Jusuf dan Kahar. Tapi tiba-tiba Kahar bersuara keras. “Hei, ada IPPHOS!”

Sontak Rompas berbalik. Dia mengaku kaget saat itu. Dia melihat wajah Jusuf berbinar lain. Dalam hatinya ia mereka-reka. Apakah ini kecorobohan? Apakah Kahar akan marah? Rompas menjadi bingung. “Apa kabar, Frans Mendur, ha...” Pertanyaan Kahar yang tiba-tiba itu membuatnya bisa lebih tenang dan dengan sigap menjawab,"Baik Pak. Dia di Jakarta sekarang.”

Frans Mendur adalah pemimpin umum IPPHOS. Dia salah satu wartawan yang mengabadikan penggerekan bendera proklamsi kemerdekaan RI di Jakarta. Pertemanan Kahar dan Mendur terjalin di masa revolusi di Yogyakarta.

Karier pertama Rompas di dunia jurnalistik, pada 1955 di majalah IPPHOS Report. Pada 1959 dipidahkan di Makassar. Dia berhenti di IPPHOS pada 1963. Kemudian menjadi free lance atau wartawan lepas.

Namun, sejak 1960 mulai membantu koran Pedoman Rakyat yang terbit sejak 1947-dua tahun setelah perang dunia II. Salah satu alasannya adalah kedekatan dengan L.E Manuhua pendiri Pedoman Rakyat.

Tak hanya itu, pada 1963 menjadi anggota redaksi majalah Hasanuddin yang diterbitkan Dinas Penerangan Kodam XIV Sulselra. Hal ini pulalah yang membuatnya mulai dekat dengan pemerintah. Lalu pada 1975 menjadi wartawan sekaligus redaktur senior Pedoman Rakyat.

Rompas banyak meliput peristiwa bersejarah, dari masalah DI/TII, Republik Maluku Selatan, hingga menyaksikan penyerahan tokoh Permesta Mayor Dee Gerungan di sebuah lereng pedalaman Sulawesi. Namun, dia bukan seorang pendokumentasi yang baik. “Soal dokumentasi saya apes,” katanya.

Sebagai seorang fotografer, Rompas menilai jauh sekali perbedaan kualitas kamera dulu dengan yang digunakan sekarang. Kini menurut dia, kamera cukup sederhana dan efisien. Serba digital, autofokus. Dulu, jarak harus diatur sendiri.

Jika pertemuan di tempat resmi akan cukup mudah. "Perhatikan tegel, satu tegel 20 sentimeter. Salah perkiraan maka gambar pun akan goyang. Mungkin itu dulu yang dinamakan autofokus, tapi bedanya hanya ada dalam kepala. Bukan di kamera seperti sekarang ini,” katanya sembari tertawa kecil.

Kemampuan Rompas mengambil gambar memang banyak diakui pada jamannya. Dia wartawan tiga masa. Orde Lama, Orde Baru, Hingga reformasi sekarang ini. “Dia guru saya. Dia Master foto, setidaknya untuk Makassar,” kata Yusuf Ahmad, kontributor foto untuk kantor berita Reuters.

Jumat, 12 September, penulis kembali menemui Rompas. Kali ini ia bercerita tentang sistem Demokrasi Terpimpin yang banyak merenggut kebebasan berpendapat. Menurutnya, di era itu, semua ikut menjadi terpimpin, dalam satu sistem.

Hanya ada dua wartawan yang menurutnya tetap konsekuen pada pandangannya, yaitu, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Mochtar tetap kritis meski dua kali mendekam di penjara. “Saya tak berani seperti itu. Meski dalam tubuh, jiwa, dan pikiran tetap memberontak,” ujarnya.

“Terus terang saja. Iya (takut, red). Saya kira teman-teman yang lain juga merasakan itu,” katanya dengan suara yang hampir tak terdengar saat penulis mencoba mengorek lebih jauh soal perasaannya.

Rompas bukan hanya seorang wartawan foto. Dia juga seorang reporter. Mampu menulis dengan baik. Tak kurang dia menulis laporan perjalanan untuk Pedoman Rakyat. “Jadi jika ada wartawan foto yang tak bisa menulis, sebenarnya dia tak layak dikatakan sebagai wartawan,” ungkapnya.

Kini, Rompas banyak menghabiskan waktunya di rumah. Kebiasaannya bermain bridge atau kartu remi di komputer tiap hari dilakukan. Alasannya, untuk melatih ingatan. Aktivitas lainnya berkunjung ke Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sekedar bertemu teman-teman lamanya. Memang, sejak 1959 Rompas telah menjadi anggota organisasi ini.

Sekarang Pedoman Rakyat tak lagi terbit. Tak jelas apa yang terjadi, terkatung masalah internal. Pada awal 2007, koran ini dibeli seorang pengusaha. Wajah Pedoman Rakyat, berubah. Tapi tak banyak membantu.

“Saya kira ini yang terus menjadi polemik. Kegagalan Pedoman waktu itu karena tak mampu membaca pasarnya. Kita (redaksi pedoman-red) tak berpikir jika pembaca setia Pedoman itu orang tua.Setelah mereka, ada anaknya, dan koran tak berubah, terus bertahan pada bentuk awal. Jadinya pembaca lepas,” kritik Rompas.

Suara Rompas agak berat. Batuk sesekali mengganggunya. Cucunya berlarian, keluar masuk. Lelaki Manado itu terus saja duduk. Tubuhnya yang sekitar 175 sentimeter disandarkan di kursi. Sekarang, dia menumpang di rumah anaknya di kompleks perumahan dosen Universitas Negeri Makassar (UNM).

Rumahnya di jalan Dr Sutomo bermasalah. Sesekali istrinya yang juga guru besar bahasa Inggris di UNM itu, menampakkan dirinya, melihat kami di ruang tamu. Hanya tersenyum, kemudian menghilang lagi di balik tembok. Namanya, Lily Elisabeth. Kesehatannya kurang baik. Penyakit gula menghantamnya. “Sekarang waktunya menjaga istri. Dia sudah kurang sehat,” kata Rompas.

Rompas juga mengakui kondisinya kini tak lebih baik dari istrinya. Ia pun juga mulai pelupa. Hari pertama dia mengatakan ke penulis jika pertemuan Kahar-Jusuf di Bonepute pada 1961, yang seharusnya 1962. Atau kelahirannya bulan Oktober, padahal dalam catatan riwayat hidupnya adalah November. “You ingatkan ya kalau ada salah,” pintanya.

"Saya cukup beruntung karena dia. Sekarang saya yang nebeng ke dia. Saya kan sudah tak terima gaji, sejak Pedoman berhenti,” lanjutnya memuji istrinya.

Matahari pelan-pelan semakin terik. Jarum jam telah menunjuk angka 12.30, sudah dua jam lebih Rompas mengurai ingatannya. Wajahnya mulai terlihat letih. Satu kali dia menguap. Mungkin juga perutnya sudah keroncongan. Dia mengantar saya hingga ke gerbang pagar. Wartawan tua yang hidup dalam kesederhanaan. "You jangan sungkan datang ya," katanya melepas penulis. (**)

copyright@Harian Fajar Makassar (14 September 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar