PEDOMAN KARYA
Rabu, 07 Juli 2010
Sahban
Liba: Raih Doktor di Usia 72 Tahun
Tak banyak orang yang
masih punya motivasi belajar hingga usia tua. Tak banyak orang yang masih mau
bekerja keras hingga usia tua. Tak banyak orang yang masih mampu bekerja hingga
usia tua. Di antara yang tidak banyak itu adalah Letkol Marinir (Purn) Dr H
Sahban Liba (73 tahun).
Pria kelahiran Kalosi,
Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan, 18 Agustus 1937 itu, hingga kini
masih aktif mengajar, mengurus bisnisnya, serta memimpin langsung perguruan
tinggi yang didirikannya di Makassar.
Perjalanan hidupnya
cukup panjang dan berliku. Sahban Liba lahir dan menikmati masa kecilnya di
Kabupaten Enrekang. Di usia remaja ia ikut orangtuanya (ayah Liba, ibu Empa) ke
Makassar dan sekolah hingga kelas tiga pada dua SMP di Makassar, yakni SMP
Muallimin Muhammadiyah (Jl. Muhammadiyah) dan SMP Perindo (Jl. Lamadukkelleng).
Sambil sekolah, Sahban
membantu kakaknya yang berjualan kain di Pasar Butung Makassar. Suatu hari, ia
membaca koran yang sudah tidak utuh dan agak lusuh. Di koran tersebut ada
pengumuman tentang pemberian beasiswa ikatan dinas untuk sekolah pada sekolah
menengah atas di Surabaya.
“Saya tidak tahu di
mana itu Surabaya, tetapi saya sangat ingin sekolah di sana. Umur saya waktu
itu sudah 17 tahun. Saya kemudian meminta izin orangtua dan kakak. Saya lalu
mengurus surat keterangan sekolah di SMP Muallimin Muhammadiyah. Kemudian saya
berangkat ke Surabaya dengan naik kapal laut. Saya membawa bekal uang Rp 250,
tetapi tiba di Surabaya uang saya tinggal Rp 140, karena ongkos naik kapal laut
Rp 110,” ungkap ayah empat anak dan kakek dari tiga cucu itu kepada tim
wartawan Tabloid Cerdas, Asnawin,
Decy Wahyuni, dan Abdul Wahab, di ruang kerjanya, akhir April 2010.
Selama enam bulan
pertama di Surabaya, Sahban tidur di masjid. Kemana-mana ia selalu jalan kaki.
Semua itu dilakukan karena ia harus menghemat uangnya. Dalam tempo enam bulan
itu, ia berhasil lulus pada ujian persamaan Sekolah Guru Bawah (SGB) Surabaya dan
kemudian lulus tes masuk Sekolah Guru Atas (SGA) Surabaya yang memberi beasiswa
ikatan dinas.
Kebetulan saya kuat
sekali pada mata pelajaran Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, Ilmu Bumi, dan
Sejarah,” sebutnya.
Setelah tamat SGA dan
sambil mengajar di beberapa sekolah, Sahban melanjutkan kuliah di IKIP Malang.
Di sana ia bertemu dan bersahabat dengan Malik Fajar yang belakangan menjadi
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional. Mereka berdua aktif di
organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain kuliah di IKIP Malang, ia
juga kuliah di Universitas Merdeka Malang.
Ada sebuah peristiwa
yang tidak bisa dilupakan Sahban saat kuliah di Malang, yaitu ketika meletus
peristiwa Gerakan 30 September PKI yang kemudian dikenal dengan nama
G-30.S-PKI.
Saat itu, Asrama
Sulawesi di Jl. Kunir No. 15, diserang oleh orang-orang Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan memukuli mahasiswa yang aktif di HMI. Semua mahasiswa yang
ada di asrama ketika itu mendapat pukulan dan tendangan, serta poporan senjata,
kecuali Sahban.
“Teman-teman menganggap
saya punya ilmu bisa menghilang, padahal kebetulan waktu mereka datang saya
langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Waktu itu fisik saya cukup
kuat dan bisa bertahan tidak jatuh dari bawah tempat tidur dengan cara menekan
dua kaki dan dua tangan ke papan tempat tidur. Waktu orang-orang PKI datang,
mereka memeriksa di kolong tempat tidur dengan cara mengayunkan senjata dan
pedang, tetapi mereka tidak pernah menyangka bahwa saya berada di bawah papan
tempat tidur yang jaraknya hanya sekitar satu jengkal dari lantai,” papar
Sahban seraya menyebut nama Abdul Pandare, salah seorang temannya yang mendapat
siksaan orang-orang PKI.
Setelah situasi cukup
aman, ia langsung meminta perlindungan di Angkatan Laut, karena kebetulan ia
juga pelatih judo di Angkatan Laut. Tak lama kemudian ia ikut tes dan lulus
masuk Angkatan Laut.
Sahban diterima di
Marinir dan masuk anggota Korps Komando (KKO) Angkatan Laut. Ia kemudian
dikirim ke hutan di Jawa Timur selama dua setengah tahun untuk latihan perang
khusus. Pimpinan KKO ketika itu adalah Mayor Pangalela yang belakangan
meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat terbang.
Setelah keluar dari
hutan, Sahban langsung mendapat pangkat Letnan (KKO) TNI AL. Beberapa tahun
kemudian, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mencari beberapa orang dari kalangan
tentara untuk membantunya di Pemda DKI Jakarta, terutama untuk menertibkan
guru-guru nakal. Dari marinir diambil 20 orang dan salah satu di antaranya
adalah Sahban Liba.
“Banyak yang saya
penjarakan, saya sita rumah, dan sebagainya,” kata suami dari Hj. Andi
Nurlaela, serta ayah dari Hernita SE MM, AKBP Muhammad Arsal SH MH, Muhammad
Amsal SE MM, dan Arfiany SE MM.
Beberapa tahun kemudian
ia diangkat menjadi staf pribadi Ali Sadikin dan sempat mondar-mandir di Istana
Presiden. Tahun 1977, Ali Sadikin pensiun, tetapi Sahban enggan kembali ke
kesatuannya di Angkatan Laut, karena mantan anak buahnya sudah banyak lebih
tinggi pangkatnya dari dirinya. Sahban memilih tetap dikaryakan dan menduduki
beberapa jabatan struktural di Pemda DKI Jakarta hingga pensiun pada 17 Agustus
1995.
Mendirikan
PTS
Selama dikaryakan di
Pemda DKI Jakarta, Sahban melanjutkan kuliahnya yang terputus di IKIP Malang
akibat peristiwa G-30.S-PKI. Ia memilih lanjut di IKIP Muhammadiyah Jakarta,
dan kemudian lanjut ke program magister (S2) di Sekolah Tinggi Manajemen
(STIMA) IMMI Jakarta.
Setelah pensiun, ia
kemudian diangkat menjadi Manajer Personalia PT Betamix Jakarta di bawah
pimpinan Prof Dr Ir Bun Yamin Ramto.
Atas anjuran beberapa
koleganya, antara lain Mendiknas Prof Wardiman, Sahban kemudian memutuskan
kembali ke Makassar dengan membuka usaha bisnis gedung serba guna Lasharan
Garden Jaya dan mendirikan perguruan tinggi swasta (PTS).
PTS yang didirikannya
yaitu Akademi Manajemen Perdagangan (Amdag) pada tahun 1998, yang kemudian
ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Lasharan Jaya (STIM-Lash
Jaya) pada Juli 2001. Perguruan tinggi yang berkampus di Jl Abdullah Daeng
Sirua 10 itu telah menelorkan sekitar 300 alumni.
Di STIM-Lash Jaya,
Sahban yang anak kedua dari Sembilan bersaudara, menerapkan disiplin
semi-militer tetapi mendidik mahasiswa menjadi orang yang berjiwa
entrepreneurship.
Meraih
Gelar Doktor
Meskipun sudah tua dan
semua anaknya telah cukup berhasil, Sahban rupanya belum mau pensiun atau
berhenti beraktivitas. Tidak tanggung-tanggung, ia malah “nekad” melanjutkan
kuliah pada program doktoral (S3) di Universitas Negeri Jakarta.
Ia kemudian berhasil
menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar doktor pada 2009, dengan mengusung
disertasi berjudul “Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan
Tinggi Periode 2003-2010.”
“Saya kuliah sekaligus
untuk memotivasi anak-anak saya. Mereka saya minta terus-menerus belajar dan
meraih pendidikan setinggi-tingginya, karena Allah akan mengangkat derajat
orang-orang beriman dan berilmu,” tutur Sahban.
Di akhir perbincangan
dengan Cerdas, ia mengutip nasehat
Lukmanul Hakim kepada anaknya, bahwa “Alangkah indahnya apabila dalam diri
seseorang terkumpul iman, ilmu, dan harta, sebaliknya alangkah malangnya
seseorang apabila pada dirinya terkumpul kemiskinan, kesombongan, dan
kebodohan.” (asnawin, decy wahyuni, wahab)
Biodata:
Nama: Dr H Sahban Liba
MM
Tempat/tgl lahir:
Kalosi, 18 Agustus 1937
Isteri: Hj. Andi
Nurlaela
Pendidikan :
- SD Negeri Kalosi
- SGB Negeri Surabaya
- SGA Negeri Surabaya
- IKIP Muhamadiyah
Jakarta
- S2 Sekolah Tinggi
Manajemen IMMI, Jakarta
- S3 Universitas Negeri
Jakarta
Pekerjaan :
- Guru honorer di
Surabaya
- Marinir TNI-AL di Jawa
Timur
- Staf Khusus Gubernur
DKI Jakarta
- Dikaryakan di Pemprov
DKI Jakarta
- Manajer Personalia PT
Betamix Jakarta
- Direktur STIM
Lasharan Jaya Makassar
Keterangan:
Profil Sahban Liba ini
dimuat Tabloid ''Cerdas'' Kopertis Wilayah IX Sulawesi, edisi Mei 2010
umur berada di urutan kesekian.. Tapi semangat dan pantang menyerah berada di depan!
BalasHapus