Presiden, Aib, dan Sanksi Sosial
Oleh : Asnawin
email: asnawin@hotmail.com
WARUNG kopi di pojok jalan milik seorang keturunan Tionghoa itu, selalu ramai setiap hari. Tetapi Sabtu pagi hingga siang adalah puncaknya. Ada beberapa pejabat, pengusaha, mantan pejabat, serta beberapa orang tua keturunan Tionghoa yang hampir tidak pernah absen pada Sabtu pagi hingga siang.
Mereka selalu ceria bertemu pada hari Sabtu. Bahan obrolan mereka seolah-olah tidak pernah habis.
Pada Sabtu pekan lalu, beberapa di antara 'pengunjung tetap' itu kembali berkumpul. Mereka hanya memakai celana pendek, baju kaos, dan sepatu olahraga. Ada juga di antara mereka yang membawa handuk putih. Rupanya mereka baru saja pulang dari olahraga senam di pinggir pantai.
Seperti biasa, begitu mereka duduk, penjual koran langsung datang menawarkan koran. Mereka pun menyambutnya. Biasanya hanya satu dua orang yang membeli koran dan kemudian dijadikan bahan diskusi.
''Rupa-rupanya Presiden kita sudah marah,'' kata lelaki tua A, yang pemilik toko emas.
''Tetapi wajar juga beliau marah, karena si Fulan sudah keterlaluan membuka aib pribadi Presiden,'' timpal lelaki tua B, yang pengusaha garmen.
''Kalau si Fulan memang berjiwa besar, seharusnya dia tidak begitu,'' ujar lelaki tua C, yang pemilik toko bahan campuran.
Sebagai anggota DPR RI yang sudah dipecat oleh partainya, kata lelaki tua C, si Fulan seharusnya berbesar hati mengundurkan diri dan menerima Surat Keputusan (SK) pengganti antar-waktu yang ditandatangani Presiden.
''Ini malah sebaliknya. Setelah Presiden menandatangani SK penggantian dirinya, si Fulan malah balik membuka aib Presiden. Kalau pun benar Presiden kita itu pernah menikah sebelum masuk Akademi Militer, tidak sepantasnyalah aib itu dibeberkan, apalagi belum tentu benar,'' tutur lelaki tua C.
''Selain itu, ini kan tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik. Sampai sekarang juga belum pernah ada perempuan yang mengadukan Presiden kita karena diceraikan atau ditelantarkan misalnya,'' celutuk lelaki tua D, yang pemilik toko olahraga.
Setelah menyeruput susu putihnya, dia melanjutkan ucapannya, bahwa Presiden Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Sebagai kepala negara, katanya, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia, sedangkan sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari.
''Sebagai Presiden dan simbol negara, siapa pun rakyat Indonesia, tidak boleh dan tidak sepantasnya membuka aib apalagi dengan maksud ingin 'menjatuhkan' Presiden,'' paparnya.
''Agama juga melarang kita membuka aib orang lain,'' ujar lelaki tua B, seraya mengulurkan tangannya mengambil bakpao di atas piring dan langsung mengunyahnya.
Lelaki tua A yang sedari tadi diam, mengungkapkan rasa salutnya kepada media massa di AS dan Eropa.
Di Amerika, katanya, saat berkampanye untuk mencalonkan diri kedua kalinya, Presiden Franklin D Roesevelt terjatuh berguling-guling dari
kursi rodanya.
''Besoknya, tidak ada satu pun koran di sana yang menulis kejadian itu. Media massa setempat hanya mengulas pidato Presiden,'' ungkapnya.
Presiden Perancis, Francois Mitterand, pernah diisukan memiliki anak di luar nikah, tetapi media-media yang sudah punya nama dan besar pengaruhnya, tidak ada yang menulis apalagi mengupas tuntas masalah pribadi seperti itu.
''Itu karena media massa di sana sudah dewasa dan menghormati lembaga Presiden. Sebaliknya, media massa akan berlomba-lomba menyoroti kalau Presiden berbohong, korupsi, atau mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat, negara, atau negara lain,'' papar lelaki tua A.
Sanksi Sosial
Setelah menghabiskan kopi susunya dan meminum sedikit air putih, lelaki tua B menimpali, akan sangat wajar kalau Presiden yang korupsi, yang mengeluarkan kebijakan merugikan rakyat atau negara lain, yang di kemudian hari diketahui ternyata berbohong, serta yang melakukan praktik kolusi dan nepotisme, mendapat sorotan dari media massa dan mendapat sanksi sosial dari masyarakat.
''Sanksi sosial jauh lebih berat dibanding sanksi hukum dan perundang-undangan, karena masyarakat akan menghujat, mencaci, memaki, dan mengutuk. Sulit sekali mengembalikan nama baik kalau masyarakat sudah menjatuhkan sanksi sosial,'' tuturnya.
Setelah berbicara, ia berdiri dan berjalan menuju kasir untuk membayar semua minuman dan kue yang diminum dan dimakan bersama tiga sahabatnya. Setelah itu, mereka meninggalkan warung kopi dan kembali berjalan santai sambil ngobrol menuju rumah masing-masing. Kebetulan rumah mereka memang tidak terlalu berjauhan, karena berada di kawasan pertokoan.
Makassar, 29 Juli 2007
(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 30 Juli 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik 'lanskap')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar