Selasa, 03 Juli 2007

Kafilah Terpaksa Singgah

Kafilah Terpaksa Singgah (Oleh Asnawin) DUA setengah tahun menjabat Presiden Negeri Antah-berantah, tiada putus-putusnya masalah yang dihadapi Pak Sulit Bakambang. Baik masalah bencana alam, konflik di daerah, hingga masalah politik. Meskipun demikian, Pak Sulit Bakambang bersama wakilnya, Pak Judes Kata, tetap kelihatan tegar menghadapi segalanya. Ketika ada bencana alam, Pak Sulit Bakambang dan Pak Judes Kata berupaya terjun langsung ke lokasi untuk membawa bantuan dan memberikan semangat kepada warga yang tertimpa musibah. Saat ada konflik di daerah, keduanya juga berupaya mengamankan situasi dengan berbagai pendekatan. Sewaktu para politisi dan sebagian elemen masyarakat menginginkan pergantian kabinet, Pak Sulit dan Pak Judes meresponnya dengan mengganti dan menggeser posisi beberapa menteri. Semua masalah diatasi dengan 'sebaik-baiknya'. Tak ada masalah yang dihadapi dengan marah, termasuk berbagai kritik pedas. Pak Sulit Bakambang yang memang selalu tampil tenang dan berwibawa, menghadapi berbagai kritikan dan isu secara bijak. Pak Sulit memang berlatar-belakang militer dan mantan Kepala Staf Panglima Perang, tetapi ia sama sekali tidak sangar dan tidak angker, malahan ia tampak lebih sipil dibanding orang sipil murni. Meskipun tampak senantiasa memberikan respon dan menghadapi berbagai masalah, kritikan, dan isu dengan tenang, tetap saja orang mengkritisinya, tetap ada orang mengungkapkan isu-isu negatif. Malahan ada yang menyebut dirinya ibarat 'kafilah yang tetap berlalu, meskipun anjing menggonggong.'' Pak Sulit misalnya tidak terlalu merespon teriakan rakyat tentang semakin mahalnya biaya pendidikan, minimnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN, serta banyaknya siswa SMA dan SMP tidak lulus akibat kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang menentukan kelulusan. Pak Sulit juga tidak terlalu merespon teriakan rakyat tentang tingginya kenaikan harga BBM yang menyebabkan melonjaknya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Pak Sulit memang merespon ketika sebagian elemen rakyat menginginkan pergantian beberapa menteri, tetapi ada menteri yang tetap dipertahankan dan hanya digeser posisinya, padahal menteri itulah yang sebenarnya diinginkan rakyat untuk diganti. Yang pasti, semua kritikan dihadapi dengan tenang dan dirinya tetap berupaya tampil berwibawa. Namun ketika muncul isu bahwa semua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu dua tahun lalu, turut menerima sumbangan dana non-budgeter salah satu departemen, Pak Sulit tampaknya tidak tahan juga untuk tidak memberikan reaksi. Apalagi, ada isu tambahan bahwa salah satu pasangan capres dan cawapres menerima sumbangan dari pihak asing yang jumlahnya cukup besar. Reaksi Pak Sulit malah agak berlebihan, karena ia mengancam akan menuntut orang dan pihak-pihak lain yang dianggap telah memfitnahnya terkait aliran dana non-budgeter maupun dana asing untuk dirinya bersama Pak Judes saat kampanye Pamilu lalu. Ia bahkan mengadakan konferensi pers khusus di halaman Kompleks Istana Kepresidenan, dan menegaskan bahwa opini yang berkembang telah menyinggung harga dirinya. Pak Sulit menandaskan bahwa opini maupun isu yang diembuskan orang atau pihak-pihak tertentu selama ini soal dana non-budgeter maupun dana asing adalah fitnah yang kejam dan keji. ''Itu artinya kafilah terpaksa singgah. Presiden bersama kafilahnya terpaksa singgah, karena anjing bukan cuma menggonggong, melainkan juga sudah pandai dan berani bicara,'' ujar seorang seniman kepada rekannya seusai pentas pada perayaan acara Hari Kebangkitan Nasional tingkat kelurahan. ''Padahal Presiden kita itu sebenarnya bukan pemarah dan juga bukan orang tamak,'' kata rekannya. ''Kelihatannya memang begitu,'' ujar si seniman. ''Tetapi bagaimana dengan orang-orang sekitarnya? Siapa yang bisa menjamin bahwa presiden kita itu tidak dikelilingi orang-orang pemarah dan orang tamak.'' kata rekannya. ''Kalaupun orang-orang di sekitarnya ada yang pemarah dan tamak, kita berharap presiden kita sadar dan mau menyadarkan orang-orang itu, seperti sadarnya seorang Sultan ketika tidak dihormati seorang rakyatnya saat melakukan parade keliling kota,'' ungkap si seniman. Sultan dan Rakyat Biasa Si seniman kemudian bercerita bahwa konon ratusan tahun silam ada seorang Sultan yang sangat dihormati dan ditakuti rakyatnya. Sesekali ia berparade di jalan-jalan untuk melihat keadaan rakyatnya dan untuk melihat apakah rakyat masih menghormati dan takut kepadanya. Suatu hari sang Sultan bersama para pengawal dan tentaranya melakukan parade. Semua orang memberikan hormat ketika Sultan lewat, kecuali seorang rakyat biasa. Sang Sultan marah dan segera memerintahkan tentaranya untuk memanggil si rakyat yang tidak mau memberi hormat itu. Setelah diperhadapkan dan ditanyai mengapa dirinya tidak menunduk dan memberi hormat kepada Sultan, rakyat biasa itu mengatakan; "Biarlah semua orang menghormat kepada Sultan. Mereka mungkin takut dan sebagian dari mereka mungkin menginginkan sesuatu dari Sultan, misalnya harta, kedudukan, dan atau kekuasaan. Tetapi itu semua tidak berarti bagi hamba. Untuk apa hamba menghormat kepada Sultan apabila hamba punya dua budak yang merupakan tuan-tuan Sultan?'' Meskipun tutur kata si rakyat biasa itu sopan, Sultan dan semua orang yang mendengarnya menjadi ternganga. Sultan menjadi marah dan wajahnya memerah. "Apa maksudmu wahai rakyat jelata?" bentaknya. "Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan ketamakan," jawab si rakyat jelata dengan tenang. Sultan akhirnya sadar dan kemarahannya perlahan-lahan sirna. Saat itu juga ia mengucapkan terima kasih dan memberi penghormatan kepada si rakyat jelata. Mendengar cerita itu, rekan si seniman tampak tersenyum dan manggut-manggut. ''Seharusnya presiden kita itu tidak perlu marah menghadapi berbagai kritikan dan isu, apalagi kalau memang tidak benar, karena reaksi dan kemarahannya bisa menjadi diskusi panjang, serta merembet masalah-masalah lain,'' katanya. ''Kewibawaannya juga bisa menurun bahkan bisa runtuh kalau kemudian terbukti bahwa ia menerima dana non-budgeter dan dana asing pada Pemilu lalu,'' timpal si seniman. Makassar, 27 Mei 2007 (Dimuat di Harian Pedoman Rakyat Makassar, 28 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar