'Musim Panen' di Sekolah
Oleh Asnawin
email:
asnawin@hotmail.com
Para dewa dan dewi di Negeri Awan tiba-tiba sibuk membicarakan masalah pendidikan di Bumi Nusantara. Para dewa heran karena rakyat di Bumi Nusantara tak pernah berhenti mengeluh soal pendidikan.
Rakyat mengeluhkan pelaksanaan ujian nasional (UN) yang terlalu dipaksakan, dijadikan penentu kelulusan, dan memaksa siswa belajar untuk lulus dan bukan untuk pintar.
Rakyat mengeluhkan berbagai macam pungutan yang dilakukan pihak sekolah pada proses pendaftaran siswa baru, serta tidak transparannya hasil tes dan pengumuman kelulusan.
Rakyat mengeluhkan adanya 'permainan' dalam pengaturan nilai rapor dan nilai hasil ujian akhir SMP dan SMA.
''Apa sebenarnya yang terjadi di Bumi Nusantara? Mengapa rakyat di sana terus menerus mengeluh soal pendidikan?'' tanya Dewa Hujan.
''Padahal di negeri tetangganya, Bumi Melayu, pendidikan tidak lagi dikeluhkan,'' timpal Dewa Cinta.
''Bukankah dulu Bumi Melayu mendatangkan guru dan dosen dari Bumi Nusantara untuk mengajar di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di Bumi Melayu?'' tanya Dewi Kasih Sayang.
''Sekarang orang Bumi Melayu malah lebih pintar dibanding orang Bumi Nusantara,'' kata Dewa Angin.
''Lalu, apa masalahnya sampai pendidikan di Bumi Nusantara lambat kemajuannya, bahkan selalu muncul keluhan seputar pendidikan?'' tanya Dewa Hujan lagi.
Dewa Angin kemudian mengemukakan hasil pengamatannya bahwa pemerintah di Bumi Nusantara tidak serius menangani masalah pendidikan.
Alokasi anggaran pendidikan terlalu kecil, kurikulum kerap berganti-ganti, dan banyak kebijakan yang merepotkan pengelola perguruan tinggi dan sekolah.
Akibat rendahnya anggaran pendidikan, banyak sekolah rusak yang tidak bisa diperbaiki, serta banyak guru yang tidak bisa diikutkan pelatihan, wokshop, penataran, dan sebagainya.
Perguruan tinggi negeri dan sekolah negeri juga berlomba-lomba mencari tambahan dana dari masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Dana tersebut antara lain melalui Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP), sumbangan pembangunan, dan uang pendaftaran mahasiswa atau siswa baru.
Di sekolah masih banyak pungutan lain, seperti uang buku, uang pramuka, uang OSIS, uang LKS (lembaran kerja siswa), uang semester, uang ujian, dan uang perpisahan.
''Tetapi bulan Juli adalah musim panen di sekolah, karena pada saat itulah berlangsung pendaftaran siswa baru,'' papar Dewa Angin.
''Maksudnya?'' tanya Dewa Hujan.
''Pendaftaran siswa baru biasanya dimanfaatkan oleh sekolah untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, baik untuk kepentingan sekolah, maupun untuk kepentingan pribadi kepala sekolah dan guru,'' jelas Dewa Angin.
Dia menambahkan bahwa pada pendaftaran siswa baru, sekolah biasanya menetapkan uang pendaftaran, uang seragam sekolah, uang buku, uang bangku, uang pembangunan, dan lain-lain.
Selain itu, kepala sekolah dan guru juga biasanya 'bermain' dalam penentuan kelulusan calon siswa baru.
Akibatnya, para orangtua calon siswa terpaksa mengeluarkan biaya ekstra pada sekitar bulan Juli, baik untuk segala macam biaya dan pungutan dalam proses pendaftaran siswa baru, maupun untuk menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah yang baru bagi anak-anaknya yang naik atau tinggal kelas.
''Tapi bagaimana dengan orangtua yang pendapatannya pas-pasan?'' tanya Dewi Cinta.
''Itulah salah satu jawaban mengapa rakyat di Bumi Nusantara terus menerus mengeluh soal pendidikan,'' kata Dewa Angin.
Makassar, 15 Juli 2007
(Dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 16 Juli 2007,
Halaman 4/Opini, rubrik Lanskap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar