Selasa, 04 September 2007

Tak Ada yang Salah, Tak Ada yang Benar

Tak Ada yang Salah, Tak Ada yang Benar

Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.om

Agus dan Iwan duduk satu bangku di kelas satu hingga kelas dua SMP di sebuah kabupaten. Meski sebangku dan sepermainan, ada perbedaan di antara dua bocah belasan tahun itu.
Agus agak serius, rajin membaca, dan suka ke masjid. Iwan agak santai, hanya membaca yang disukai, dan jarang ke masjid.
Kalau guru menerangkan pelajaran di kelas, Agus mengikuti dengan seksama, sedangkan Iwan lebih banyak bermain-main. Bukunya pun tak pernah lengkap, baik buku tulis, maupun buku cetak.
Anehnya, Iwan selalu juara kelas dan dengan mudahnya menjawab secara benar jika guru menanyakan sesuatu, sebaliknya Agus tidak pernah juara kelas dan kerap gagap bila menjawab pertanyaan guru.
Di luar sekolah, Agus dan Iwan adalah dua bocah bahagia. Mereka sepermainan meski rumah mereka berjarak kurang lebih satu kilometer. Agus sering bermain dan belajar di rumah Iwan, karena kebetulan Iwan punya kamar sendiri dan orangtuanya cukup berada.
Pada semester genap kelas dua SMP, Iwan dipindahkan ke sekolah di
ibukota provinsi. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi berkomunikasi, apalagi bertemu.
Mereka baru bertemu kembali 26 tahun kemudian, saat keduanya berusia 40 tahun.
Agus sudah punya empat anak, sedangkan Iwan punya tiga anak. Agus bekerja pada sebuah perusahaan swasta di ibukota provinsi, sedangkan Iwan sudah empat kali meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja dan kemudian membangun tiga perusahaan yang cukup sukses di ibukota negara.
Agus hanya berijazah sarjana, sedangkan Iwan magister lulusan perguruan tinggi ternama di luar negeri.
Keduanya bertemu di sebuah warung kopi. Setelah berjabat tangan dan berpelukan, mereka pun larut dalam obrolan yang dipenuhi suasana reuni.

Pilihan-pilihan

Sekitar pukul 14.00 waktu setempat, Iwan mengajak Agus makan siang di sebuah plasa. Mereka tak pernah berhenti ngobrol, mulai dari masa-masa mereka bersama-sama di kampung, masalah pekerjaan, masalah keluarga, pemilihan kepala daerah (Pilkada), hingga prinsip hidup.
''Dalam hidup ini, tidak ada yang salah, dan tidak ada yang benar,'' kata Iwan.
Yang penting, kata Iwan, apapun yang kita lakukan, harus disadari konsekuensinya.
Ketika seseorang memilih suatu bidang pekerjaan atau suatu profesi dan sukses dalam melakoni pekerjaan atau profesinya, maka orang itu tidak boleh mengatakan pilihannya itulah yang paling benar, sedangkan orang lain yang tidak sukses dalam pekerjaan atau profesi lain, dianggap salah.
Begitu juga kalau seseorang masuk dalam salah satu organisasi, maka ia tidak boleh mengatakan diri dan organisasinyalah yang benar, sedangkan orang lain dan organisasi lain salah.
''Agama juga sebenarnya tidak mengajarkan benar dan salah, tetapi Tuhan memberikan kepada kita pilihan-pilihan,'' ujar Iwan.
Dalam menentukan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan dipilih pada Pilkada, siapa pun berhak memilih pasangan manapun. Tidak boleh ada yang mengatakan bahwa pilihannya yang benar, sedangkan pilihan orang lain salah.
''Yang penting, kita harus tahu siapa yang akan dipilih dan bertanggungjawab sesudahnya,'' kata Iwan.
Sebelum menentukan pilihan, seseorang harus mengenal para cagub dan cawagub, sehingga bisa menanggung risiko atau konsekuensi terhadap apapun yang akan terjadi setelah gubernur dan wagub pilihannya kelak menjalankan pemerintahan.
''Tetapi bagaimana caranya bertanggungjawab, kalau kemudian gubernur dan wagub pilihan kita ternyata tidak becus dalam menjalankan pemerintahan?'' tanya Agus.
''Jangan pilih lagi pada Pilkada berikutnya,'' jawab Iwan.

Makassar, 2 September 2007

copyright@pedomanrakyat
Senin, 3 September 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar