Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. (int)
----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 25 Juli 2010
Sejarah
Suku Bugis
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan)
Dikutip dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
-http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis
Bugis merupakan
kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok
etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan
Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga
administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga
dikategorikan sebagai orang Bugis.
Berdasarkan sensus
penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam juta
jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia,
seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara.
Bugis adalah suku yang
tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah
gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata “Bugis” berasal
dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja
pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu
La Sattumpugi.
Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka
menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan
Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami
dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya
sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna
Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I
La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi seperti Buton.
Perkembangan
Dalam perkembangannya,
komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini
kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka
sendiri.
Beberapa kerajaan Bugis
klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan
Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan
menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis
tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap,
Pinrang, Barru.
Daerah peralihan antara
Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan.
Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Kerajaan Luwu adalah
kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi
Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene
Kepulauan)
Kerajaan
Bone
Di daerah Bone terjadi
kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang
dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif
yang dikenal dengan istilah ade pitue.
Manurungnge ri Matajang
dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa
ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege,
matoa ponceng.
Istilah matoa kemudian
menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh
putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa'
anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua.
Pada masa Arumpone (gelar raja bone) ketiga ini, secara massif Bone semakin
memperluas wilayahnya ke utara, selatan, dan barat.
Kerajaan
Makassar
Di abad ke-12, 13, dan
14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis
sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar (Gowa)
kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam
perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa & Tallo) kembali menyatu menjadi
kerajaan Makassar (Gowa).
Kerajaan
Soppeng
Di saat terjadi
kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita
yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng
ri Aja. Dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri
Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini
menjadi Kerajaaan Soppeng.
Kerajaan
Wajo
Sementara kerajaan Wajo
berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau
Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang
disebut puangnge ri lampulung.
Sepeninggal beliau,
komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga
memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari
kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan
Cinnotabi.
Selama lima generasi,
kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni
Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing : La Paukke Arung Cinnotabi I, We
Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi
Arung Cinnotabi IV.
Setelahnya, kedua
putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La
Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi
dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan
mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo.
Adapun rajanya bergelar
Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung
cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo
III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh.
Kekosongan kekuasaan
menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan
Wajo. Setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung
Matowa Wajo hingga meleburnya Wajo pada pangkuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Konflik
Antar-kerajaan
Pada abad ke-15 ketika
kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka
terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar
kerajaan.
Kerajaan Bone
memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba.
Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo,
perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah
barat sampai di Barru.
Perang antara Luwu dan
Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian
mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari
Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan
posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah
Bone dan Sidenreng.
Berikutnya wilayah Luwu
semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun
penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut
beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi
hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut “tellumpoccoe.”
Penyebaran
Islam
Pada awal abad ke-17,
datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda
dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa
dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin
Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Kolonialisme
Belanda
Pertengahan abad ke-17,
terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa
kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan
terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka.
Arung Palakka didukung
oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang berkhianat pada kerajaan Gowa.
Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng
Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu.
Perang yang dahsyat
mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan ini
mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan
Gowa.
Pernikahan Lapatau
dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah proses
rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak ada
lagi perang yang besar sampai kemudian di tahun 1905-1906 setelah perlawanan
Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone
dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis baru bisa betul-betul
ditaklukkan Belanda.
Kosongnya kepemimpinan
lokal mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian
pendek tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat
lowong setelah penaklukan.
Kerajaan tidak lagi
berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga
berdirinya NKRI.
Masa
Kemerdekaan
Para raja-raja di
Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno) untuk
membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun
1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan
pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan
kampung halamannya.
Pada zaman Orde Baru,
budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga
semakin terkikis. Sekarang generasi muda Makassar & Bugis adalah generasi
yang lebih banyak mengkonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi,
kehilangan jati diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya
mereka.
Seiring dengan arus
reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru
yaitu Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua.
Sementara banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya
tanah tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi
dan transmigrasi.
Mata
Pencaharian
Karena masyarakat Bugis
tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari
masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang
diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi
birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
Bugis
Perantauan
Kepiawaian suku Bugis
dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun
hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb
yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal
nenek moyang mereka.
Penyebab
Merantau
Konflik antara kerajaan
Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18
dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini
menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain
itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan
dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
Bugis
di Kalimantan Timur
Sebagian orang-orang
Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi
perjanjian Bongaja, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara
gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya di antaranya
ada yang hijrah ke daerah Kesultanan Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh
Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang
Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.
Atas kesepakatan dan
perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung
melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian,
Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis
Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi
musuh.
Semua rombongan
tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang)
tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan didalam pelayaran karena daerah yang
berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar
belakang gunung-gunung (Gunung Selili).
Bugis
di Sumatera dan Semenanjung Malaysia
Setelah dikuasainya
kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan
Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis
lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah
Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan
Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang merupakan keturunan
Makassar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar