Minggu, 12 Juli 2009
Pemuda dan Pendidikan di Indonesia
Pemuda dan Pendidikan di Indonesia
Oleh: Asnawin
Pemuda adalah generasi penerus harapan bangsa. Pemuda Indonesia berperan besar memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Pemuda jualah yang menculik dan memaksa Soekarno dan Hatta membuat dan membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sebelum Indonesia merdeka, para pemuda sudah mengenal arti penting persatuan dan kesatuan. Mereka mendirikan berbagai organisasi. Mereka juga menyadari betapa penting arti pendidikan bagi para pemuda dan masyarakat Indonesia.
Dalam uraian berikut akan dipaparkan bagaimana peran dan pemikiran pemuda (termasuk mahasiswa) di masa perjuangan kemerdekaan, serta visi pendidikan mereka untuk bangsa Indonesia ke depan.
Di akhir abad ke-19, para pemuda di berbagai provinsi membentuk organisasi yang sifatnya lokal. Pemuda di Sulawesi bersatu dan menamakan diri mereka Jong Celebes. Pemuda di Sumatera bergabung dan menamakan diri Jong Sumateranen Bond. Ada juga Yong Ambon, ada Pemoeda Kaoem Betawi, ada Jong Bataks Bond, dan ada Jong Java.
Organisasi pemuda yang cukup besar dan disebut-sebut sebagai organisasi pemuda nasional pertama berdiri pada 1908, dengan nama Boedi Oetomo (Budi Utomo=Budi Utama).
Boedi Oetomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Boedi Oetomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman.
Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu.
Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik, mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima, orang Jawa sesama penduduk Pulau Jawa untuk menjadi anggota perkumpulan yang eksklusif, seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan, serta memperbaiki nasib bangsanya.
Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku.
Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya.
Dengan demikian, pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja, karena menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.
Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah, dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado di Sulawesi mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik dibanding orang Jawa. Padahal, dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama, hanya karena khawatir untuk ditolak.
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya.
Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, jadi bukan hanya berorganisasi.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Sumpah Pemuda
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada bulan Oktober 1928, puluhan pemuda Indonesia dari berbagai provinsi mengadakan pertemuan yang mereka namakan ”Kongres Pemoeda II” dan diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta).
Para pemuda Indonesia itu berasal dari berbagai suku, agama, dan ras. Perbedaan dan kepentingan pribadi maupun golongan telah lebur menjadi satu jiwa yaitu persatuan dan kesatuan menuju terciptanya sebuah negara dan bangsa merdeka yang dicita-citakan.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia.
Kongres berlangsung selama dua hari yakni pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Para perwakilan pemuda yang hadir antara lain Ketua panitia: Soegondo Djojopoespito (PPPI), Wakil Ketua RM Djoko Marsaid (Jong Java), Sekretaris Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond), dan Bendahara Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond).
Selanjutnya Pembantu I Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), Pembantu II R Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia), Pembantu III Senduk (Jong Celebes), Pembantu IV Johanes Leimena (yong Ambon), serta Pembantu V Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi).
Puluhan pemuda lainnya juga aktif sebagai peserta. Pertemuan tersebut juga dihadiri Van der Plaas yang mewakili Pemerintah Belanda.
Selain itu, juga hadir Golongan Timur Asing Tionghoa sebagai peninjau Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda. Mereka berjumlah empat orang, Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien kwie.
Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng.
Dalam sambutannya, Ketua PPI Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda.
Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan.
Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola (dimainkan dengan biola saja atas saran Sugondo kepada Supratman).
Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Setelah bersidang dan mendengarkan pemaparan beberapa tokoh, Kongres Pemoeda akhirnya sepakat membuat sumpah yang disebut ”Soempah Pemoeda.”
Naskah aslinya berbunyi :
SOEMPAH PEMOEDA. Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA. Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA. Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA. Djakarta, 28 Oktober 1928.
Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat, yang sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda. Gedung yang dijadikan tempat pembacaan teks Sumpah Pemuda waktu itu adalah milik seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 28 Oktober kemudian diperingati sebagai "Hari Sumpah Pemuda."
Generasi 1945
Muhammad Hatta alias Bung Hatta ketika masih kuliah di Belanda, bersama sejumlah rekannya sesama mahasiswa Indonesia, mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922. Belakangan organisasi ini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Selain itu, di Indonesia juga berdiri sejumlah organisasi, seperti Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, serta Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme.
Berdirinya organisasi itu di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan organisasi Boedi Oetomo, karena banyak orang kemudian memandang Boedi Oetomo terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa).
Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, Boedi Oetomo juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Setelah kembali ke Indonesia, para pemuda Indonesia yang pernah sekolah di Belanda kemudian membentuk kelompok studi. Itu dilakukan karena mereka kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia.
Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo.
Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas.
Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik.
Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vakum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama.
Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
Angkatan ‘66
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi di bawah partai-partai politik.
Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Di antara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955.
CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI. Kenyataan itu menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa lalu membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional.
Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Gerakan Reformasi
Tahun 1998, mahasiswa bersama sejumlah tokoh nasional, antara lain Amien Rais, melakukan gerakan reformasi yang bertujuan mengakhiri tampuk pimpinan nasional Orde Baru.
Kepemimpinan nasional Orde Baru selama lebih dari 30 tahun hanya dipegang oleh satu orang, yakni Presiden Soeharto. Karena kuatnya desakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, akhirnya Soeharto terpaksa mengundurkan diri dan menyerahkan kursi Presiden kepada wakilnya, BJ Habibie.
Gerakan reformasi juga mengusung isu penghapusan "KKN" alias korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pendidikan di Indonesia
Pendidikan formal di Indonesia dewasa ini masih menjadi bagian dari tradisi pendidikan zaman Hindia Belanda.
Motivasi penjajah Belanda ketika itu yakni menyekolahkan rakyat Indonesia sekadar berketerampilan baca, tulis, hitung, karena nantinya mereka ‘cuma’ dikaryakan menjadi pegawai rendahan di perkebunan dan pabrik orang-orang Belanda.
Sekolah ini pun oleh Belanda dibuat diskriminatif, karena ada Sekolah Rakyat untuk rakyat jelata, serta ada HIS, ELS, dan HCS untuk bangsawan dan orang-orang kaya pribumi.
Wilde Ordonantee School atau Ordonansi Sekolah Liar kemudian dikeluarkan, ketika pemuda-pemuda Indonesia mengkritisi kebijakan diskrimintaif itu dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta, yang digagas oleh para aktivis Muhammadiyah, Ma’arif, Jamiatul Khair, Taman Siswa, dan pesantren-pesantren.
Meski kemudian Belanda hengkang dari Indonesia, namun warisan paradigmatik yang mengakar sekian lama tetap saja tak menguntungkan sekolah-sekolah swasta, apalagi yang bersifat sekolah alternatif nonformal.
Jika ditarik garis merahnya, ternyata perjuangan pemuda dan aktivis pendidikan masa kini tak jauh bedanya dengan perjuangan pemuda Indonesia masa lampau. Yaitu sama-sama membebaskan diri dari penindasan.
Bedanya, jika pemuda dulu memperjuangkan pendidikan untuk memupuk semangat kebangsaan dan meraih kemerdekaan fisik, maka pemuda masa kini memperjuangkan kemerdekaan atau kebebasan dari cara berpikir sempit terhadap ilmu dan pendidikan, yang mucul dari sisa-sisa karakter inferioritas bangsa yang pernah terjajah.
Pemuda pejuang pendidikan masa kini juga berhadapan dengan agressor zaman baru yakni kapitalisme pendidikan.
Di bawah “penjajah baru” tersebut, hak warga negara untuk mengakses pendidikan bermutu terhalang oleh ketidakmampuan ekonomi atau kesejahteraan, yang faktanya tidak pernah merata dirasakan rakyat. Hanya orang kaya yang bisa sekolah di sekolah favorit dan ternama, meskipun konstitusi negara mewajibkan negara bertanggungjawab terhadap kekuatan pendidikan rakyatnya.
Para pemuda menyadari bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan jiwa patriotik dan rasa kesetiakawanan sosial.
Banyaknya aksi unjukrasa yang dilakukan mahasiswa untuk menentang komersialisasi dunia pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, banyaknya pungutan resmi dan pungutan liar di sekolah, serta berbagai bentuk “penjajahan” dan “penindasan” lainnya, merupakan salah satu wujud jiwa patriotik dan rasa kesetiakawanan sosial perjuangan pemuda.
Kini, para mantan aktivis mahasiswa, para pemuda yang telah menduduki kursi eksekutif dan kursi legislatif, dituntut memperjuangkan “kemerdekaan” rakyat dari “penjajahan” di dunia pendidikan.
Tetapi mungkinkah para pemuda dan mantan aktivis mahasiswa dapat bersatu seperti para pemuda zaman sebelum penjajahan untuk memperjuangkan hal tersebut? Pertanyaan ini perlu dikemukakan, karena para pemuda zaman sekarang tampaknya semakin terkotak-kotak dan kian sulit bersatu.
Buktinya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang merupakan wadah berhimpun Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan potensi pemuda lainnya, kini pecah menjadi dua kepengurusan di tingkat pusat.
Besarnya godaan parpol dan kursi empuk legislatif juga membuat para pemuda Indonesia dewasa ini “bercerai-berai.”
Seharusnya, di mana pun mereka berkiprah dan apapun yang terjadi, para pemuda harus tetap bersatu memperjuangkan hak-hak rakyat, termasuk membebaskan rakyat dari “penjajahan” di dunia pendidikan. (penulis adalah dosen, wartawan, dan mantan aktivis pemuda)
@-artikel ini dimuat di majalah yg diterbitkan BPSDMA Pemprov Sulsel pada Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar