Penulis berfoto di depan pintu gerbang SMA Negeri 1 Bulukumba, Senin, 20 Agustus 2012. Di sekolah ini puluhan tahun silam, saya sempat akrab dengan salah seorang teman perempuan adik kelas yang cantik, berkulit putih, agak tinggi untuk ukuran perempuan, berpenampilan sederhana, dan agak pendiam. (Foto: Ahmad Ali)
-------
Napak Tilas ke Masa Silam di Bulukumba (3-habis):
Sempat Akrab Adik Kelas yang Cantik
Oleh: Asnawin
Di suatu pagi, pada pertengahan tahun 1983, terdengar suara keras seorang pria di depan rumah kami. Suara itu cukup akrab di telinga saya, karena sang pemilik suara adalah tetangga yang rumahnya persis di sebelah kanan rumah kami. Ayah dan ibu saya langsung keluar menyongsong kedatangan pria itu.
Pria yang berprofesi sebagai aparat polisi itu mengabarkan bahwa nama saya ada dalam daftar calon siswa SMA Negeri 1 Bulukumba (waktu itu lebih dikenal dengan sebutan SMA Negeri 198 Bulukumba) yang dinyatakan lulus tes. Saya tentu saja mengucapkan syukur, meskipun sejak awal saya memang optimis bakal lulus.
Saya kemudian bergegas mandi dan pergi ke sekolah yang jaraknya hanya sekitar 500 meter dari rumah kami. Saya mengikuti semua prosedur dan kemudian resmilah saya menjadi siswa baru di SMA Negeri 1 Bulukumba.
Sebagai siswa baru, saya tentu saja memiliki motivasi belajar yang sangat tinggi. Saya juga gembira karena akan memiliki banyak teman baru di SLTA terbaik yang ada di Bulukumba.
Di kelas satu ketika itu, saya duduk sebangku dengan seorang teman bernama Hamzah Idris. Teman satu ini memiliki kelebihan dibandingkan kami semua, karena daya tangkapnya sangat cepat dan daya ingatnya sangat kuat.
Hamzah hampir tidak punya buku sama sekali, tetapi ia ternyata sangat pintar dan disenangi oleh para guru. Saya banyak belajar dari dia. Sayangnya, dia hanya satu semester bersama kami, karena pada semester dua, dia pindah ke Makassar.
Ketika berangkat ke Makassar ketika itu, saya mengantarnya ke sekitar Pasar Sentral Bulukumba (pasar lama sebelum terbakar yang lokasinya kini sudah menjadi taman kota) sekitar pukul 21.00 Wita. Hamzah mengaku harus berangkat ke Makassar malam itu juga.
Saya menemaninya menunggu mobil penumpang umum, terutama yang berangkat dari Sinjai menuju Makassar, tetapi hingga pukul 22.00 Wita, tidak ada satu pun yang lewat. Setelah berdiskusi, akhirnya terlontar ide, bahwa dengan mobil truk pun dia harus mau, yang penting berangkat malam itu juga. Akhirnya, malam itu, Hamzah benar-benar berangkat ke Makassar dengan naik truk dan tanpa jaket.
Saya tidak tahu bagaimana keadaannya selama dalam perjalanan ke Makassar, karena sejak itu kami tidak ada komunikasi sama sekali. Kami baru bertemu kembali secara tidak sengaja beberapa tahun kemudian, tetapi kami tidak sempat berbicara panjang lebar. Kemudian tidak ada kontak lagi, sampai akhirnya kami bertemu kembali sekitar tahun 2010 di Facebook.
Di SMA Negeri 1 Bulukumba, saya menimba ilmu dan pengalaman selama tiga tahun (1983-1986). Hampir tidak ada duka dan sebaliknya hampir semua hanya berupa suka yang saya alami selama tiga tahun belajar di SMA 1 Bulukumba.
Selain aktif belajar, saya juga masuk anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan mendapat tugas sebagai Danru (Komandan Regu). Kami aktif berlatih dan pernah mengikuti perkemahan palang merah di lapangan Ujungloe. Kami beberapa kali melakukan perjalanan pada malam hari dengan melewati sungai dan hutan-hutan yang bertujuan melatih mental kami.
Ketika masih kelas satu, saya bersama ratusan teman siswa SMA 1 Bulukumba pernah mengadakan perjalanan dengan berjalan kaki (istilahnya camping, dibaca kemping) dari sekolah ke pelabuhan Bira, Bulukumba, yang berjarak sekitar 40 kilometer dan juga berjalan kaki keesokan harinya dari Bira ke SMA 1 Bulukumba.
Saat duduk di kelas tiga, saya bersama ratusan teman siswa dan beberapa guru SMA 1 Bulukumba (antara lain Pak Yasin, guru olahraga) juga pernah melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari sekolah ke daerah pegunungan perbatasan Bulukumba-Bantaeng. Jarak tempuh sekitar 25 kilometer, tetapi terasa berat karena setelah melewati kilometer 10, jalanan sudah mulai menanjak dan hawa sudah mulai dingin.
Setiba di tempat tujuan, sebagian besar dari kami hampir tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa, kecuali duduk-duduk sambil ngobrol dan ”tidur pistol” (tidur sambil merapatkan kedua kaki ke dada) dengan memakai jaket tebal dan atau sarung, karena hawa atau suhu udara sangat dingin menusuk tulang.
Ketika mengambil air wudhu untuk shalat, dinginnya minta ampun, apalagi ketika kami harus buang air kecil. Kami berangkat pagi dari sekolah dan tiba di lokasi sebelum magrib. Kami tidur di rumah-rumah penduduk, ada juga yang tidur di masjid. Keesokan paginya kami kembali melakukan perjalanan pulang dengan berjalan kaki beramai-ramai.
Dalam perjalanan itu, saya sempat akrab dengan salah seorang teman perempuan adik kelas yang cantik, berkulit putih, agak tinggi untuk ukuran perempuan, berpenampilan sederhana, dan agak pendiam.
Saya yakin banyak teman laki-laki yang tertarik padanya, tetapi hanya sebatas tertarik karena mereka mengetahui kedekatan kami. Kami cukup lama akrab satu sama lain, tetapi tetap dalam batas-batas wajar, karena kami sama-sama rajin ke masjid dan saya cukup sering mengikuti pengajian. Hubungan kami putus begitu saja setelah saya tamat SMA dan melanjutkan kuliah di Kota Makassar.
Di sekolah, saya hanyalah salah seorang siswa biasa yang tidak aktif di OSIS dan bukan siswa berprestasi, sehingga sama sekali tidak termasuk selebriti di kalangan siswa. Tidak ada yang istimewa, sehingga saya tergolong siswa yang biasa-biasa saja. Saya hanya kebetulan rajin belajar dan senang belajar berkelompok, sehingga prestasi belajar saya tidak berada di bawah, tetapi juga tidak masuk 10 besar.
Saya juga heran mengapa ketika itu saya tidak mengejar prestasi, padahal saya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Justru sekarang, di saat saya kuliah S2 (Ilmu Komunikasi, Universitas Satria, Makassar), barulah saya merasakan adanya semangat belajar yang tinggi dan berupaya menjadi yang terbaik.
Ada seorang guru kami waktu itu yang entah mengapa sangat membenci saya. Beliau (sekarang sudah almarhum) pernah menghukum dan juga pernah memukul saya. Sampai sekarang saya tidak tahu apa kesalahan saya. Setelah beliau menghukum dan memukul saya, sejak saat itulah saya tidak pernah masuk kelas kalau beliau mengajar.
Beliau kemudian melapor kepada Kepala Sekolah (Pak Said) dan saya pun lalu diminta masuk mengikuti pelajarannya di kelas menjelang ulangan semester.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1995, saya bertemu guru kami tersebut di atas kapal laut yang membawa rombongan kader dan simpatisan Muhammadiyah Sulsel yang akan mengikuti atau meramaikan Muktamar Muhammadiyah di Aceh. Saya langsung mendatanginya, menjabat tangannya, dan memeluknya. Ternyata kami sama-sama kader Muhammadiyah.
Waktu itu, selain sebagai kader Muhammadiyah, saya juga berangkat ke Aceh dalam kapasitas sebagai wartawan harian Pedoman Rakyat, Makassar. Alhamdulillah, saya masih sempat meminta maaf dan akrab dengan beliau sebelum kami berpisah selamanya.
Kini, setelah 26 tahun tamat dari SMA Negeri 1 Bulukumba, saya mencoba kembali menyambung pertemanan dengan sesama alumni melalui akun facebook, melalui grup di FB, dan melalui berbagai kesempatan.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog Pedoman Rakyat : http://pedomanrakyat.blogspot.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar