Kamis, 23 Agustus 2012

Napak Tilas Ke Masa Silam di Bulukumba (2):



BERNOSTALGIA. Momentum hari lebaran Idul Fitri 1433 Hijriyah atau tepatnya Ahad, 19 Agustus 2012, saya manfaatkan untuk bernostalgia dengan berkunjung ke SMP Negeri 1 Bulukumba. Ketika masuk sebagai murid baru di SMP Negeri 1 Bulukumba (1980), kami semua siswa kelas satu ditempatkan di ruangan kelas yang masih berdinding kayu dan berlantai tanah. Siswa kelas dua dan siswa kelas tiga menempati ruangan kelas yang sudah permanen. Dinding kayu pembatas antara kelas satu dengan kelas lain banyak yang berlubang. (Foto: Ahmad Ali))




Napak Tilas Ke Masa Silam di Bulukumba (2):
Kelas Berdinding Kayu dan Berlantai Tanah


Oleh: Asnawin

Selalu ada masa-masa indah dalam setiap rentang waktu tertentu pada kehidupan ini, apalagi pada masa-masa sekolah, terutama ketika menginjak usia remaja di SMP.

Ketika masuk sekolah sebagai siswa baru di SMP Negeri 1 Bulukumba, pada pertengahan tahun 1980, saya masih begitu polos. Saya tergolong murid pintar ketika masih SD, tetapi perasaan sebagai murid pintar sama sekali tidak saya bawa dan tidak saya tampilkan saat masuk sebagai siswa baru di SMP.

Kenyataannya, memang banyak anak lain yang juga pintar dan berada satu ruangan dengan saya. Malah ada seorang teman, yang kebetulan duduk sebangku dengan saya, tergolong sangat cerdas. IQ-nya sangat tinggi. Hampir tidak ada bukunya, tetapi daya tangkapnya sangat cepat. Di kelas, teman sebangku saya itu malah cenderung lebih banyak bermain dibandingkan memerhatikan guru yang berdiri dan menerangkan pelajaran di depan.

Teman saya itu bernama Ihwan Mansyur. Ia anak pejabat. Orangtuanya tidak bertugas di Bulukumba. Karena kami duduk sebangku, maka saya sering belajar bersama, termasuk belajar di rumahnya yang waktu itu terletak di salah satu sisi Pasar Sentral Bulukumba (pasar lama yang terbakar dan berlokasi di pusat kota Bulukumba dan sekarang lokasi tersebut sudah menjadi taman kota).

Kami hanya bersama-sama hingga naik kelas dua, tetapi hanya beberapa bulan di kelas dua, Ihwan Mansyur pindah ke Makassar. Sejak itu (1981), kami tidak pernah bertemu lagi, sampai akhirnya kami bertemu di dunia maya (internet) dan kemudian dilanjutkan dengan saya berkunjung ke kantor dan ke rumahnya di Jakarta pada 2006.

Oh ya, ketika masuk sebagai murid baru di SMP Negeri 1 Bulukumba, kami semua siswa kelas satu ditempatkan di ruangan kelas yang masih berdinding kayu dan berlantai tanah. Siswa kelas dua dan siswa kelas tiga menempati ruangan kelas yang sudah permanen.

Dinding kayu pembatas antara kelas satu dengan kelas lain banyak yang berlubang. Kebetulan tempat duduk saya tepat berada di dekat dinding yang berlubang.

Pada suatu hari, ketika sedang belajar, saya merasa ada yang menusuk di pantat. Ketika memeriksa, ternyata ada teman dari kelas sebelah yang menaruh daun berduri. Saya kemudian melaporkan kejadian itu kepada guru yang tengah mengajar. Sang guru kemudian mendatangi kelas sebelah dan melaporkannya kepada guru yang juga tengah mengajar. Tidak menunggu waktu lama, siswa yang melakukan perbuatan kurang terpuji itu ditemukan dan kemudian mendapat sanksi.

Ruangan kelas saya juga kebetulan berada di ujung dan berdampingan dengan warung penjual kue. Di sudut kiri belakang ruangan kelas saya ada semacam pintu tanpa daun yang terhubung dengan warung kue tersebut. Maka, kami pun dapat dengan mudah berbelanja atau mencuri waktu makan kue di warung itu, meskipun pelajaran tengah berlangsung.

Salah satu kue kesukaan saya ketika itu adalah getuk (masyarakat setempat menyebutnya ketto’, yaitu kue yang terbuat dari ubi rebus yang ditumbuh, lalu dipadatkan dalam bentuk bulatan sebesar bola pingpong). Getuk itu sangat enak dimakan dengan sambel kental yang juga terbuat dari ubi rebus yang sudah ditumbuk dan dicampur dengan lombok pedas / cabe rawit. Kalau tidak salah, harganya ketika itu Rp 5 per butir.

Ketika masih kelas satu, saya juga pernah bertugas sebagai pembaca Pembukaan UUD 1945, pada upacara bendera yang dilaksanakan setiap hari Senin. Kegiatan eskul (ekstra kurikuler) yang saya ikuti ketika itu adalah Palang Merah Remaja.

Saat masih duduk di kelas dua, saya pertama kali belajar catur. Kebetulan ada anak laki-laki kembar kelas tiga yang jago main catur dan sudah beberapa kali ikut pertandingan.

Saya bukanlah siswa yang memiliki pergaulan luas. Pergaulan saya agak terbatas. Mungkin karena kurang pede (percaya diri) dengan berbagai keterbatasan yang saya miliki, antara lain dari segi keuangan dan juga bukan termasuk anak yang cerdas. Prestasi belajar saya biasa-biasa saja, tetapi saya menutupinya dengan rajin belajar, rajin membaca, dan selalu konsentrasi saat belajar di kelas. Hasilnya, saya tamat SMP dengan nilai yang cukup bagus.

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog Pedoman Rakyat : http://pedomanrakyat.blogspot.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar