Asnawin
Ironi Mengejar Kekuasaan
Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.om
Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada sebuah negeri yang penduduknya sangat religius. Raja dan rakyatnya menerapkan hidup sederhana. Meskipun hidup sederhana, Raja sangat berwibawa dan dihormati. Rakyat begitu bangga kepada rajanya.
Sebaliknya, Sang Raja pun sangat sayang rakyatnya. Raja sering terang-terangan berkunjung dan bergaul dengan rakyat, tetapi pada saat lain, ia menyamar lalu berkunjung dan bergaul dengan rakyatnya.
Sebagai raja, ia tak lupa membangun sekolah dan rumah sakit. Ia juga membangun gudang gandum.
Dengan adanya sekolah, semua rakyat menjadi pintar membaca dan menulis.
Dengan adanya rumah sakit, rakyat yang sakit bisa diobati secara gratis, bahkan rakyat miskin disantuni, baik selama dirawat di rumah sakit, maupun selama masa penyembuhan.
Dengan adanya gudang gandum, rakyat yang kesusahan di masa paceklik, bisa mendapatkan bantuan dari raja.
Suatu hari raja sakit dan tak lama kemudian mangkat. Rakyat pun berduka.
Empat puluh hari berselang, para menteri dan hulubalang sibuk membicarakan pengganti raja. Kebetulan negeri itu tidak mengenal istilah pewaris tahta, karena raja dipilih oleh rakyat berdasarkan usulan para menteri dan hulubalang.
Para menteri dan hulubalang mendatangi Penasehat Raja untuk diminta menjadi raja, tetapi Sang Penasehat tidak bersedia.
''Saya takut tidak bisa memikul amanah yang berat,'' katanya.
Para menteri dan hulubalang kemudian mendatangi Patih Kerajaan untuk diminta menjadi raja, tetapi sang patih juga menolak.
''Saya khawatir tidak bisa menjadi raja yang baik,'' jawabnya.
Karena dua sesepuh kerajaan tidak bersedia, para menteri dan hulubalang pun kembali bersidang. Mereka saling mendorong untuk bersedia menjadi raja dan yang lain siap mendukung, tetapi tak satu pun di antara para menteri dan hulubalang yang bersedia.
Sidang pun ''dead lock'' dan diputuskan untuk dilanjutkan keesokan harinya, tetapi lagi-lagi tidak ada di antara para menteri dan hulubalang yang bersedia menjadi raja.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Anehnya, hingga batas akhir waktu pendaftaran sayembara ditutup, tak satu pun yang datang mendaftarkan diri untuk mengikuti pemilihan raja baru.
Calon Independen
Di negeri tetangga, peristiwa yang sama sedang terjadi. Raja jatuh sakit dan berhalangan tetap. Meskipun raja berkuasa seumur hidup, tetapi para menteri dan hulubalang tetap bersikukuh ingin mencari raja baru. Alasannya, roda pemerintahan kerajaan tidak jalan kalau raja tidak bisa menjalankan tugas.
Mereka pun mengadakan sidang untuk membahas pengganti raja. Mula-mula mereka mendatangi Penasehat Raja untuk dimintai pendapatnya, tetapi Sang Penasehat malah mengajukan diri menjadi raja, karena merasa sudah mengetahui seluk-beluk masalah kerajaan.
Setelah itu, para menteri dan hulubalang mendatangi Patih Kerajaan, tetapi belum dimintai kesediaannya, Sang Patih malah sudah lebih dahulu menyatakan kesediaannya.
''Saya tahu kalian datang untuk meminta saya menjadi raja. Ketahuilah, sebenarnya saya sudah lama mempersiapkan diri,'' katanya sambil mengusap-usap janggutnya.
Para menteri dan hulubalang kembali bersidang untuk memutuskan siapa yang akan dipilih menjadi raja. Ternyata mereka terbagi tiga kelompok. Ada yang mendukung Penasehat Raja, ada yang mendukung Patih Kerajaan, tetapi ada pula yang mengajukan calon alternatif.
''Saya juga bersedia dan sudah siap menjadi raja,'' kata salah seorang menteri.
Karena ada tiga calon yang bersedia menjadi raja dan kebetulan ketiganya memenuhi syarat, sidang pun memutuskan akan mengadakan sayembara dengan beberapa persyaratan.
Akhirnya, para menteri dan hulubalang mengadakan sayembara untuk mencari raja baru. Ternyata bukan hanya Penasehat Raja, Patih Kerajaan, dan salah seorang menteri yang mengikuti seyembara, melainkan juga ada dua kandidat lainnya.
Kedua kandidat tersebut menamakan diri calon independen dan mengaku mendapat dukungan luas dari rakyat, padahal sebenarnya mereka tidak memenuhi syarat.
Makassar, 12 Agustus 2007
(dimuat di harian Pedoman Rakyat,
Makassar, Senin, 13 Agustus 2007,
Halaman 17/Humaniora)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar