Senin, 20 Agustus 2007
Mengenang Detik-detik Proklamasi (2)
RUMAH PERSINGGAHAN. Inilah rumah persinggahan Soekarno (bersama isterinya, Fatmawati, dan anaknya Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, saat “diculik” kaum muda, sehari menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI. Rumah milik warga Karawang, Djiauw Kie Song, terletak di Jalan Sejarah, Dusun Kalijaya I Desa Rengasdengklok Utara, Karawang, Jawa Barat. (int)
Mengenang Detik-detik Proklamasi (2):
Soekarno dan Hatta Diculik
Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia, karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda.
Sutan Sjahrir, salah satu tokoh pemuda mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka), tetapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi, serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.
Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 22.00 WIB, di kantor Jalan Pejambon No 2, guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.
Pada 16 Agustus 1945, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir.
Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10.00 Wita, tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah, kehilangan kesabaran. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (bersama isterinya, Fatmawati, dan anaknya Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta kembali ke Jakarta. Mr Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka langsung menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 (sekarang gedung perpustakaan Nasional, Depdiknas) yang diperkirakan aman dari Jepang.
Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, komandan Angkatan Darat pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang.
Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, sehingga Jepang tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. (asnawin/pr)
copyright@Pedoman Rakyat, Makassar, 18 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar