Senin, 20 Agustus 2007

Proklamasi dan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Proklamasi dan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Oleh: Asnawin
email:
asnawin@hotmail.com

Udding, bocah berusia 7 tahun, asyik bermain-main bersama beberapa temannya sesama bocah laki-laki di permandian Limbua', Hila-hila, Kecamatan Bontotiro, Bulukumba.
Mereka sangat ceria. Mereka mandi di permandian itu untuk mempersiapkan diri ke masjid melaksanakan salat Jumat.
Pada saat bersamaan di Jakarta, sejumlah pemuda sedang mengawal Soekarno dan Mohammad Hatta, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.
Mereka semua tegang. Mereka tengah mempersiapkan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Udding dan kawan-kawan sedang bersiap-siap ke masjid, ketika Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI. Uddin dan kawan-kawan sama sekali tidak tahu bahwa pada hari itu negaranya sudah merdeka.
Udding memang belum sekolah ketika itu. Ia baru dimasukkan ke Sekolah Rakyat (SR), pada usia delapan tahun atau setahun setelah Indonesia merdeka.
Ayah dan ibunya, Gudang Daeng Bone dan Dekka Daeng Pute' (keduanya sudah meninggal), mendaftarkan Udding di SR Bulukumba dengan nama lengkap Aminuddin G.
Enam tahun kemudian, Udding tamat SR dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Bawah (SGB) di pusat kota Bulukumba. Tamat pada 1957, Udding langsung terangkat menjadi guru Sekolah Dasar (SD) pada 1 Agustus.
Sejak itulah, ia mengabdikan dirinya sebagai guru. Tetapi profesi guru ketika itu masih cukup dihormati.
Mereka dipanggil dengan sebutan 'Tuan Guru'. Mereka selalu diundang hadir kalau ada acara keagamaan, pesta perkawinan, dan acara adat. Mereka sering dimintai pertimbangan kalau ada masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Gaji mereka memang tidak besar, tetapi Udding yang kemudian lebih akrab disapa Tuan Guru Aminuddin, bersama beberapa rekannya sudah bisa membeli sepeda dengan cara menyicil. Ia memperoleh pendapatan tambahan dengan cara membantu ayahnya menjadi tukang jahit.
Profesi tukang jahit waktu itu juga masih cukup dihormati, karena pendapatannya cukup lumayan.
Tuan Guru Aminuddin menikah dengan perempuan bernama Sitti Hasnah Bali yang pegawai negeri sipil di Kantor Pekerjaan Umum Provinsi Cabang Bulukumba.
Hingga tahun 1975, Tuan Guru Aminuddin masih memakai sepeda ke sekolah. Ia baru membeli sepeda motor pada sekitar tahun 1976 atau satu tahun sebelum terangkat menjadi kepala sekolah.

41 Tahun Mengabdi

Ironisnya, hingga pensiun pada 1998, Tuan Guru Aminuddin yang kemudian lebih akrab disapa Pak Aminuddin (sebutan "tuan guru" perlahan-lahan hilang seiring perubahan dan perkembangan zaman), sama sekali tidak pernah mendapatkan penghargaan atau tanda jasa.
Pengabdiannya sebagai guru selama 41 tahun, benar-benar tanpa tanda jasa. Dialah guru yang benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa.
Meskipun demikian, Pak Aminuddin sama sekali tidak menyesali apalagi berniat menggugat pemerintah, karena dirinya memang enggan mengurus segala macam tetek-bengek persyaratan untuk mendapatkan penghargaan atau tanda jasa, apalagi kalau harus mengeluarkan uang pelicin.
Baginya, kalau pemerintah memang menilai dirinya atau siapa saja guru yang telah memenuhi syarat untuk diberi penghargaan, maka tidak perlu banyak persyaratan dan tetek-bengek yang harus dilalui untuk menerima penghargaan itu.
Di usianya kini yang sudah menginjak 69 tahun, Pak Haji Aminuddin malah selalu ceria. Ia senang karena banyak muridnya yang sudah berhasil.
Pak Haji Aminuddin ceria karena 11 anaknya (anaknya sebenarnya 12 orang, tetapi seorang anak perempuannya meninggal pada usia 7 tahun), tak ada satu pun yang hidup menderita. Ia begitu gembira kalau 19 cucunya datang silih berganti atau berkumpul semua di rumahnya.
Pak Haji Aminuddin juga turut bergembira dan bangga menyaksikan lewat layar televisi, pemberian penghargaan dan tanda jasa kepada ratusan guru pada upacara peringatan HUT ke-62 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 17 Agustus 2007.

Makassar, 17 Agustus 2007

copryright@Pedoman Rakyat
Makassar, 20 Agustus 2007



Tidak ada komentar:

Posting Komentar