Sabtu, 30 Juni 2007

Kota Terjorok di Negeri Liliput

Karena jumlah penduduk semakin banyak, arus lalu lintas pun kian padat dan tak jarang terjadi kemacetan arus lalu lintas. Tempat prostitusi berkedok tempat hiburan malam (THM), hotel, wisma, panti pijat, dan salon, juga makin 'menjamur.' Sungai dan kanal dalam kota yang dulunya berair bersih dan bening, kini sudah dipenuhi sampah dan sebagian menimbulkan bau tak sedap. (int)




-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 30 Juni 2007

 

 

Kota Terjorok di Negeri Liliput

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

KONON, Kota Teduh Bersinar, di Negeri Liliput, dulu sangat subur, teduh, dan bersih. Penduduknya ramah dan terbilang religius. Keamanan pun terjamin.

Seiring perkembangan zaman dan banyaknya 'pengaruh luar', baik karena kedatangan 'orang luar' maupun karena arus informasi dan komunikasi, Kota Teduh Bersinar perlahan-lahan mulai berubah.

Banyak pohon yang ditebang, termasuk pohon yang tumbuh berjejer di pinggir jalan. Banyak orang yang membuang sampah sembarangan.

Tingkat keramahan penduduk juga perlahan-lahan berkurang. Kalau dulu masjid selalu penuh dan ramai, kini mulai sepi jemaahnya. Peristiwa kriminal pun mulai banyak.

Karena jumlah penduduk semakin banyak, arus lalu lintas pun kian padat dan tak jarang terjadi kemacetan arus lalu lintas.

Tempat prostitusi berkedok tempat hiburan malam (THM), hotel, wisma, panti pijat, dan salon, juga makin 'menjamur.'

Sungai dan kanal dalam kota yang dulunya berair bersih dan bening, kini sudah dipenuhi sampah dan sebagian menimbulkan bau tak sedap.

Pedagang kaki lima sejak dulu memang sudah ada, tetapi jumlahnya tidak banyak. Sekarang, pedagang kaki lima bukan cuma ada di sekitar pasar, melainkan sudah ada di mana-mana.

Belasan tahun lalu, Kota Teduh Bersinar masih tergolong bersih, tertib, dan teduh. Atas prestasinya itu, Raja Negeri Liliput kemudian memberikan Piala Adipura. Saking gembiranya, Wali Kota Teduh Bersinar ketika itu langsung membuat Tugu Piala Adipura.

 

Malu dan Sedih

 

Kini, tugu itu masih ada, tetapi justru karena keberadaannya itulah, Aladin yang menjabat Wali Kota Teduh Bersinar, jadi malu.

Malu kepada Raja Negeri Liliput, malu kepada Gubernur Suka Bersih, malu kepada rekan-rekannya sesama wali kota dan bupati, serta malu kepada rakyatnya.

Pria berusia sekitar 40 tahun itu malu karena Kementerian Lingkungan Hidup memberikan angka terendah dalam penilaian Piala Kebersihan tahun ini.

Ketua salah satu partai politik itu malu karena kotanya dicap sebagai 'Kota Terjorok' di Negeri Liliput.

Semua media cetak memberitakan dengan judul besar 'Teduh Bersinar Kota Terjorok'. Media elektronik meramaikannya dengan berbagai komentar dari berbagai kalangan, termasuk dari mantan wali kota.

Karena merasa malu, Aladin kemudian memutuskan meninggalkan kota selama beberapa hari. Kepada wakil wali kota (wawali) dan sekretaris kota (sekkot), ia mengatakan akan menemui kedua orangtuanya yang hidup bertani di salah satu kabupaten.

Kepada orangtuanya, Aladin mengemukakan bahwa ia merasa malu karena kota yang dipimpinnya dicap sebagai Kota Terjorok di Negeri Liliput.

Dengan sedih Aladin mengatakan bahwa dirinya sudah banyak berbuat dan bahkan meraih beberapa penghargaan atas berbagai prestasinya sebagai wali kota, tetapi cap sebagai kota terjorok meruntuhkan segalanya.

Mendengar keluhan dan melihat kesedihan anaknya, ayah Aladin yang juga pernah menjadi bupati, mengingatkan agar dia tidak larut dalam kesedihan.

Ia menyarankan kepada Aladin agar menata hati untuk bisa menerima apa yang tengah dihadapi, karena itu jauh lebih berarti dibanding berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membuat jatuh dalam keputusasaan.

“Kalau seseorang telah jatuh dalam keputusasaan, pikiran bisa menjadi kosong, dan hidup terasa hampa seolah-olah kita tak berguna lagi,” katanya.

Aladin juga diingatkan agar memerhatikan dengan seksama orang-orang yang ada di sekelilingnya.

“Boleh jadi kamu membenci seseorang, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai seseorang, padahal ia amat buruk bagimu,” ujar sang ayah.

Dia juga mengingatkan bahwa Tuhan tidak mungkin menimpakan cobaan di luar kesanggupan hamba-hambaNya.

Sebuah cobaan, kata ayahnya, mungkin terasa berat di awalnya, tetapi mungkin saja ada hikmah yang terkandung di dalamnya.

“Kalau kita mampu menarik hikmah dari cobaan yang kita hadapi, mungkin hikmah itulah nanti yang akan menyelamatkan kita. Kembalilah ke kota dan optimislah, doa kami selalu menyertaimu. Mudah-mudahan penduduk Kota Teduh Bersinar bisa kembali bersimpati dan percaya akan kemampuanmu,” tutur ayah Aladin.

 

Makassar, 10 Juni 2007

(Dimuat di Pedoman Rakyat, 11 Juni 2007)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar