Karena jumlah penduduk semakin banyak, arus lalu lintas pun kian padat dan tak jarang terjadi kemacetan arus lalu lintas. Tempat prostitusi berkedok tempat hiburan malam (THM), hotel, wisma, panti pijat, dan salon, juga makin 'menjamur.' Sungai dan kanal dalam kota yang dulunya berair bersih dan bening, kini sudah dipenuhi sampah dan sebagian menimbulkan bau tak sedap. (int)
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 30 Juni 2007
Kota
Terjorok di Negeri Liliput
Oleh: Asnawin Aminuddin
KONON, Kota Teduh
Bersinar, di Negeri Liliput, dulu sangat subur, teduh, dan bersih. Penduduknya
ramah dan terbilang religius. Keamanan pun terjamin.
Seiring perkembangan
zaman dan banyaknya 'pengaruh luar', baik karena kedatangan 'orang luar' maupun
karena arus informasi dan komunikasi, Kota Teduh Bersinar perlahan-lahan mulai
berubah.
Banyak pohon yang
ditebang, termasuk pohon yang tumbuh berjejer di pinggir jalan. Banyak orang
yang membuang sampah sembarangan.
Tingkat keramahan
penduduk juga perlahan-lahan berkurang. Kalau dulu masjid selalu penuh dan
ramai, kini mulai sepi jemaahnya. Peristiwa kriminal pun mulai banyak.
Karena jumlah penduduk
semakin banyak, arus lalu lintas pun kian padat dan tak jarang terjadi
kemacetan arus lalu lintas.
Tempat prostitusi
berkedok tempat hiburan malam (THM), hotel, wisma, panti pijat, dan salon, juga
makin 'menjamur.'
Sungai dan kanal dalam
kota yang dulunya berair bersih dan bening, kini sudah dipenuhi sampah dan
sebagian menimbulkan bau tak sedap.
Pedagang kaki lima sejak
dulu memang sudah ada, tetapi jumlahnya tidak banyak. Sekarang, pedagang kaki
lima bukan cuma ada di sekitar pasar, melainkan sudah ada di mana-mana.
Belasan tahun lalu,
Kota Teduh Bersinar masih tergolong bersih, tertib, dan teduh. Atas prestasinya
itu, Raja Negeri Liliput kemudian memberikan Piala Adipura. Saking gembiranya,
Wali Kota Teduh Bersinar ketika itu langsung membuat Tugu Piala Adipura.
Malu
dan Sedih
Kini, tugu itu masih
ada, tetapi justru karena keberadaannya itulah, Aladin yang menjabat Wali Kota
Teduh Bersinar, jadi malu.
Malu kepada Raja Negeri
Liliput, malu kepada Gubernur Suka Bersih, malu kepada rekan-rekannya sesama
wali kota dan bupati, serta malu kepada rakyatnya.
Pria berusia sekitar 40
tahun itu malu karena Kementerian Lingkungan Hidup memberikan angka terendah
dalam penilaian Piala Kebersihan tahun ini.
Ketua salah satu partai
politik itu malu karena kotanya dicap sebagai 'Kota Terjorok' di Negeri
Liliput.
Semua media cetak
memberitakan dengan judul besar 'Teduh Bersinar Kota Terjorok'. Media
elektronik meramaikannya dengan berbagai komentar dari berbagai kalangan,
termasuk dari mantan wali kota.
Karena merasa malu,
Aladin kemudian memutuskan meninggalkan kota selama beberapa hari. Kepada wakil
wali kota (wawali) dan sekretaris kota (sekkot), ia mengatakan akan menemui
kedua orangtuanya yang hidup bertani di salah satu kabupaten.
Kepada orangtuanya,
Aladin mengemukakan bahwa ia merasa malu karena kota yang dipimpinnya dicap
sebagai Kota Terjorok di Negeri Liliput.
Dengan sedih Aladin
mengatakan bahwa dirinya sudah banyak berbuat dan bahkan meraih beberapa
penghargaan atas berbagai prestasinya sebagai wali kota, tetapi cap sebagai
kota terjorok meruntuhkan segalanya.
Mendengar keluhan dan
melihat kesedihan anaknya, ayah Aladin yang juga pernah menjadi bupati,
mengingatkan agar dia tidak larut dalam kesedihan.
Ia menyarankan kepada
Aladin agar menata hati untuk bisa menerima apa yang tengah dihadapi, karena
itu jauh lebih berarti dibanding berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa
membuat jatuh dalam keputusasaan.
“Kalau seseorang telah
jatuh dalam keputusasaan, pikiran bisa menjadi kosong, dan hidup terasa hampa
seolah-olah kita tak berguna lagi,” katanya.
Aladin juga diingatkan
agar memerhatikan dengan seksama orang-orang yang ada di sekelilingnya.
“Boleh jadi kamu
membenci seseorang, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai
seseorang, padahal ia amat buruk bagimu,” ujar sang ayah.
Dia juga mengingatkan
bahwa Tuhan tidak mungkin menimpakan cobaan di luar kesanggupan hamba-hambaNya.
Sebuah cobaan, kata
ayahnya, mungkin terasa berat di awalnya, tetapi mungkin saja ada hikmah yang
terkandung di dalamnya.
“Kalau kita mampu
menarik hikmah dari cobaan yang kita hadapi, mungkin hikmah itulah nanti yang
akan menyelamatkan kita. Kembalilah ke kota dan optimislah, doa kami selalu
menyertaimu. Mudah-mudahan penduduk Kota Teduh Bersinar bisa kembali bersimpati
dan percaya akan kemampuanmu,” tutur ayah Aladin.
Makassar, 10 Juni 2007
(Dimuat di Pedoman Rakyat, 11 Juni 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar