Pembicaraan mengenai pemilu raya pun begitu ramai, mulai dari kantor-kantor pemerintahan, kantor bank, kampus, hingga di pasar tradisional. Di warung kopi apalagi, karena orang bisa ngobrol berjam-jam sambil memandang foto para kandidat Pemimpin Negeri di dinding. (ist)
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 30 Juni 2007
Merasa
Mampu
Oleh: Asnawin Aminuddin
NEGERI Antah-berantah
sedang punya hajatan. Beberapa bulan ke depan, rakyat akan memilih Pemimpin
Negeri. Ada lima pasangan kandidat pemimpin.
Dari 10 kandidat
tersebut, hanya satu yang berkelamin perempuan. Namanya, La Becce dan ia akan
maju sebagai kandidat 01. Walaupun berkelamin perempuan, ia merasa mampu
memimpin negeri dongeng tersebut. Ia diusung Partai Demokrasi Antah-berantah.
Pasangannya seorang kiyai yang memimpin sebuah organisasi keagamaan.
Kandidat kedua adalah
Pemimpin Negeri yang sedang berkuasa, sedangkan pasangannya seorang profesor.
Sang pemimpin usianya sudah agak uzur, tetapi ia merasa masih mampu memimpin
lima tahun ke depan. Pasangan ini diusung Partai Manjulang Langit yang
merupakan partai terbesar di Negeri Antah-berantah.
Kandidat ketiga seorang
ustaz muda. Ia mantan aktivis mahasiswa dan kini menjadi anggota Parlemen
Rakyat Antah-berantah mewakili Anak Negeri Suka Wangsit. Meskipun tidak punya
pengalaman di bidang pemerintahan dan usianya baru sekitar 40 tahun, ia merasa
mampu menjadi Pemimpin Negeri dan bertekad memberantas korupsi. Pasangannya
seorang pengusaha. Mereka berdua diusung dua partai berbasis agama dan beberapa
partai non-kursi.
Kandidat keempat mantan
Kepala Staf Panglima Perang yang tentu saja lebih banyak berada di belakang
meja. Badannya tinggi besar tapi berpembawaan tenang. Sangat jauh dari kesan
sangar, angker, atau semacamnya sebagaimana umumnya mantan anggota pasukan
keamanan.
Dengan berbekal
pengalaman di bidang keamanan negeri dan pernah kuliah di sebuah perguruan
tinggi swasta, ia sudah merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri. Ia berpasangan
dengan seorang pengusaha yang tinggi badannya hanya sekitar 160 cm (tinggi
badan rata-rata rakyat Negeri Antah-berantah berdasarkan hasil survey yaitu 172
cm).
Pasangan ini diusung
Partai Demonstrasi untuk Rakyat, sebuah partai baru yang pada pemilu raya lalu
keluar sebagai peraih suara terbanyak kedua.
Kandidat kelima yaitu
Wakil Pemimpin Negeri yang memilih 'bercerai' untuk berlawanan dengan Pemimpin
Negeri pada pemilu raya nanti. Sebagai mantan Pemimpin Anak Negeri Suka Wangsit
selama hampir dua periode, tentu saja ia merasa mampu menjadi Pemimpin Negeri.
Ia memilih berpasangan
dengan Ketua Parlemen Rakyat Antah-berantah. Mereka diusung tiga partai yang
kursinya cukup banyak di parlemen.
Karena pemilu raya
sudah dekat, suasana negeri pun menjadi lebih ramai dari biasanya. Baliho,
poster, dan umbul-umbul para pasangan kandidat menghiasai berbagai jalan,
lorong, perumahan, warung kopi, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai jargon
politik dan janji dari para kandidat juga tidak ketinggalan.
Pembicaraan mengenai
pemilu raya pun begitu ramai, mulai dari kantor-kantor pemerintahan, kantor
bank, kampus, hingga di pasar tradisional. Di warung kopi apalagi, karena orang
bisa ngobrol berjam-jam sambil memandang foto para kandidat Pemimpin Negeri di
dinding.
Di sebuah warkop, empat
orang yang berbeda usia dan latar belakang sedang asyik ngobrol ngalor-ngidul,
tetapi seperti biasa pembicaraan tentang politik dan pemilu raya lebih dominan.
“Kita seharusnya
bersyukur karena lima kandidat Pemimpin Negeri bersama wakilnya masing-masing,
adalah orang-orang hebat. Ada ustaz, ada mantan Pemimpin Anak Negeri, ada
perempuan, ada mantan wakil panglima perang, dan juga masih ada Pemimpin Negeri
kita yang akan berpasangan dengan seorang profesor,” tutur orang pertama yang
wartawan sebuah koran harian.
“Mereka memang
orang-orang hebat, tetapi belum tentu bisa mengubah keadaan. Belum tentu bisa
mengurangi pengangguran. Belum tentu bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Belum tentu bisa meringankan biaya pendidikan,” ujar orang kedua yang pensiunan
pejabat di pemerintahan.
“Kalau tidak bisa
mengubah keadaan, itu berarti mereka hanya merasa mampu, tetapi sebenarnya
tidak punya kemampuan untuk menjadi pemimpin,” kata orang ketiga yang dosen di
sebuah perguruan tinggi swasta.
Profesor
dan Orang Gila
Orang keempat yang
pemimpin umum sebuah tabloid mingguan mengingatkan bahwa orang pintar belum
tentu pandai. Orang pandai belum tentu mampu menjadi pemimpin.
Dia kemudian
menceritakan tentang pertemuan seorang profesor dengan seorang gila yang
sama-sama memancing di pinggir kali, tetapi sang profesor tidak tahu kalau
orang yang ada di sampingnya adalah orang gila. Kebetulan di dekat mereka ada
seekor katak yang cukup besar.
“Berapa lompatan yang
diperlukan katak itu untuk sampai ke seberang kali?” tanya si gila.
Sang profesor
memperkirakan lebar kali kurang lebih 1.250 meter, sedangkan katak besar itu
dia perkirakan mampu melompat sejauh 50 cm, maka ia menyimpulkan bahwa katak
itu butuh 2.500 lompatan.
Orang gila di
sampingnya tertawa-tawa mendengarkan jawaban sang profesor. Dia mengatakan,
katak itu hanya butuh dua kali lompatan untuk sampai di seberang kali.
Sang profesor tentu
saja heran dan mulai curiga bahwa orang di sampingnya itu tidak waras.
“Lompatan pertama ke
air. Setelah itu katak akan berenang. Sampai di ujung, katak baru akan melompat
lagi ke darat,” jelas si gila lalu tertawa lebih keras lagi.
Mendengar cerita
tersebut, tiga rekan minum kopinya tak bisa menahan tawa. Suasana warung kopi
pun menjadi ramai oleh tawa mereka.
Setelah tawa mereka
agak reda, orang kedua yang pensiunan pejabat di pemerintahan, kemudian
berkata; “Dan kita semua bisa seperti profesor itu.”
Warung kopi lagi-lagi
dipenuhi tawa keempat orang itu.
Orang kedua melanjutkan;
“Mudah-mudahan para kandidat Pemimpin Negeri kita tidak cuma pandai tetapi juga
mampu melihat realita yang ada.”
Sepulang dari warung
kopi, orang ketiga yang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta merasa
mendapatkan bahan cerita untuk dibagikan kepada mahasiswanya. Ia juga menyadari
bahwa orang yang pandai dalam logika, bisa saja bodoh terhadap realita.
Orang pandai, orang
yang pernah memimpin perguruan tinggi, orang yangberpengalaman di birokrat,
orang yang ahli strategi perang di militer, orang yang menguasai ilmu agama,
orang yang sudah malang-melintang di dunia politik, orang yang aktif di LSM,
orang yang sukses di dunia usaha, mungkin banyak yang merasa mampu menjadi
pemimpin.
Seperti orang kedua di
warung kopi yang pensiunan pejabat pemerintahan, sang dosen pun berharap para
kandidat Pemimpin Negeri tidak cuma pandai tetapi juga mampu melihat realita
yang ada.
Makassar, 06 Mei 2007
(Dimuat di Pedoman Rakyat, 7 Mei 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar