Sabtu, 30 Juni 2007

Berhentilah Bermimpi

Berhentilah Bermimpi
Oleh Asnawin
email: asnawin@hotmail.com

BENCANA itu akhirnya datang juga. Linangan air mata akhirnya tak bisa dibendung. Apa yang dikhawatirkan banyak orang selama ini, akhirnya terbukti.
Ratusan ribu siswa SMA dan SMP di Negeri Ajaib tidak lulus dalam Ujian Nasional (UN). Ratusan ribu siswa di Negeri Ajaib terpaksa menangis.
Di beberapa daerah, siswa yang tidak lulus bukannya menangis, melainkan marah dan melakukan tindakan anarkis. Ada yang memorak-porandakan seluruh bangku dan meja, ada yang memecahkan kaca, dan ada pula yang membakar gedung sekolahnya.
Banyak di antara mereka yang sebenarnya pintar dan bagus nilai rata-rata ujiannya. Banyak di antara mereka yang sebenarnya berbakat dan bagus prestasinya. Tetapi mereka akhirnya tidak lulus hanya gara-gara satu mata pelajaran dalam UN yang nilainya rendah.
''Saya tidak mengerti. Bagaimana bisa ada anak pintar tetapi tidak lulus UN?'' tanya seorang anggota DPRD kepada adik sepupunya yang seorang guru.
''Ada beberapa penyebab atau faktor yang memengaruhi,'' kata sang guru.
Dia kemudian menjelaskan bahwa ada anak yang sangat menyukai mata pelajaran tertentu, tetapi tidak suka kepada mata pelajaran lain.
Ada anak yang menyukai mata pelajaran non-eksak, tetapi sebaliknya tidak suka mata pelajaran eksak. Ada juga anak yang sebenarnya menyukai semua mata pelajaran, tetapi kemampuannya untuk menguasai salah satu atau beberapa mata pelajaran tertentu, memang rendah.
''Dan celakanya, biar pun nilai ulangan hariannya bagus, tetapi nilai UN-nya di bawah standar, tetap tidak bisa diluluskan. Anak yang bagus nilai UN-nya pun belum tentu lulus, apalagi kalau memang nilai UN-nya di bawah standar,'' tutur sang guru.
''Maksudnya?'' tanya si anggota DPRD.
''Selain nilai UN, masih ada penilaian lain seperti ulangan harian, tingkah laku, dan kedisiplinan,'' jelas sang guru.
Mendengar penjelasan sepupunya, politisi yang mantan pengacara itu hanya manggut-manggut, namun tak lama kemudian ia kembali bertanya.
''Tetapi mengapa sampai begitu banyak siswa yang tidak lulus, bahkan ada beberapa daerah yang persentase ketidaklulusannya agak tinggi,'' tanyanya.
''Itu memang selalu dipertanyakan orang,'' kata sang guru.
''Ada yang curiga bahwa mungkin beredar kunci jawaban palsu,'' kata si anggota dewan.
''Terlepas dari ada tidaknya kunci jawaban palsu, terus terang kami para guru memang selalu berupaya membantu siswa, karena kami tahu kemampuan mereka dan kami juga malu kalau banyak siswa kami yang tidak lulus, apalagi secara tidak langsung memang ada instruksi dari atas untuk membantu siswa,'' tutur sang guru.
''Begitukah?'' tanya si anggota dewan.
''Ah, kakanda ini serius atau pura-pura tidak tahu,'' tanya kata sang guru.
''Saya pernah dengar sepintas, tetapi tidak pernah mendengar pengakuan langsung dari guru dan kepala sekolah,'' ungkap si anggota dewan.

Terlalu Dipaksakan

Terus terang, kata sang guru, pelaksanaan UN sebenarnya terlalu dipaksakan dan secara tidak langsung merebut hak guru untuk mengevaluasi anak didiknya.
Dipaksakan karena kondisi sekolah, fasilitas, sarana, dan prasarana antara sekolah di kota besar dengan sekolah di pelosok desa sangat jauh berbeda. Kemampuan dan fasilitas yang dimiliki guru di kota dan di desa juga jauh berbeda.
Sekolah di kota bagus dan lengkap fasilitasnya, sedangkan sekolah di desa banyak rusak dan fasilitasnya sangat minim.
Anak-anak di kota bisa dengan bebas memilih lembaga kursus dan lembaga bimbingan belajar yang ingin dimasuki untuk menambah pengetahuan dan melatih keterampilan mereka. Di kota juga banyak warung internet (warnet), banyak perpustakaan, banyak toko buku, serta banyak koran dan majalah.
Bandingkan dengan anak di desa yang mungkin menyentuh komputer pun tidak pernah. Bandingkan dengan anak di desa yang mungkin memegang handphone pun tidak pernah.
Para guru di kota memiliki banyak kesempatan mengikuti seminar, diskusi, workshop, dan pelatihan, sehingga wawasan, pengetahuan, dan pengalaman mereka cukup banyak. Dalam mengajar pun, guru di kota mungkin sudah melakukan berbagai metode, mulai dari metode diskusi, simulasi, dan belajar di alam terbuka.
Bandingkan dengan guru di desa yang hampir tidak punya peluang mengikuti seminar, diskusi, workshop, dan pelatihan. Bandingkan dengan guru di desa yang karena berbagai kendala, hanya melakukan satu metode mengajar yakni metode ceramah.
''Kalau begitu, UN memang terlalu dipaksakan ya?'' tanya si anggota dewan.
''Sebenarnya tujuannya bagus untuk memacu semangat belajar siswa dan itu cukup berhasil, tetapi mimpi pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara mengadakan UN, terlalu tinggi,'' kata sang guru.
Yang terjadi, katanya, anak-anak memang bersemangat belajar, guru, kepala sekolah, dan para orangtua pun sibuk membantu, tetapi semangat dan bantuan itu semata-mata untuk membuat siswa lulus, bukan untuk pintar.
Lembaga bimbingan belajar pun hanya mengajarkan berbagai simulasi pengerjaan soal-soal yang bertujuan agar siswa lulus dalam ujian. Soal-soal yang diberikan hanya yang sering muncul dalam UN dan dalam Seleksi Masuk Perguruan Tinggi (SPMB).
Banyak materi pelajaran dalam kurikulum yang diabaikan oleh lembaga bimbingan belajar, karena UN juga mengabaikannya.
''Seandainya diberi kesempatan bertemu dengan Wapres dan Mendiknas, saya akan bilang berhentilah bermimpi. Bangunlah dan lihatlah kenyataan yang ada di lapangan. Lihatlah betapa mimpi bapak-bapak telah menelan begitu banyak korban. Lihatlah betapa mimpi bapak-bapak telah merusak proses pendidikan di sekolah dan di luar sekolah,'' ujar sang guru.
''Tetapi bukankah bagi siswa yang tidak lulus di sekolah, masih bisa ikut ujian kesetaraan?'' kata si anggota dewan.
''Ujian Paket C setara SMA dan ujian Paket B setara SMP itu dulu sebenarnya diperuntukkan bagi orang yang mau cari pekerjaan, bukan untuk lanjut sekolah, tetapi karena negeri kita Negeri Ajaib, maka pemerintah bisa dengan mudah mengubah kebijakannya,'' tutur sang guru.
Yang lucu, lanjut sang guru, siswa SMK juga boleh ikut ujian Paket C, padahal Paket C itu setara SMA, bukan setara SMK.
''Kasihan anak-anak kita. Tiga tahun belajar di SMA, SMK, atau MA, tetapi akhirnya mendapatkan ijazah Paket C yang dikeluarkan Dinas Pendidikan. Jadi mereka bukan alumni sekolah tertentu, melainkan alumni Dinas Pendidikan,'' papar sang guru.
Mendengar penuturan adik sepupunya, si anggota dewan tidak lagi bertanya.

Makassar, 17 Juni 2007
(Dimuat di Pedoman Rakyat, 18 Juni 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar