Sabtu, 30 Juni 2007

Nabi Juga Dipenjara


Apakah kemuliaan seorang nabi, seorang presiden, seorang bupati, atau seorang profesor akan luntur kalau mereka dijebloskan ke dalam penjara? Apakah seorang nabi, seorang presiden, seorang bupati, atau seorang profesor akan menjadi hina dina kalau mereka dijebloskan ke dalam penjara?



------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 30 Juni 2007

 

 

Nabi Juga Dipenjara

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

NABI adalah orang mulia, karena mereka adalah utusan Sang Khalik. Presiden adalah orang mulia, karena mereka adalah orang yang diberikan amanat untuk memimpin dan mengatur negara.

Bupati di era otonomi ini juga orang mulia, karena mereka dipilih dan mendapat amanat dari rakyat untuk mengelola pemerintahan kabupaten.

Profesor pasti juga orang mulia, karena mereka adalah Guru Besar, suatu jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi.

Apakah kemuliaan seorang nabi, seorang presiden, seorang bupati, atau seorang profesor akan luntur kalau mereka dijebloskan ke dalam penjara? Apakah seorang nabi, seorang presiden, seorang bupati, atau seorang profesor akan menjadi hina dina kalau mereka dijebloskan ke dalam penjara?

Belum tentu,” jawab seorang pimpinan bank swasta atas pertanyaan yang diajukan seorang pengusaha saat keduanya ngobrol di sebuah kafe.

Pimpinan bank yang berusia sekitar 50 tahun itu, mengatakan, banyak orang tidak bersalah masuk penjara, dan sebaliknya tidak sedikit orang bersalah yang lolos dari jerat hukum.

Kalau ada menteri yang diduga terlibat korupsi, tidak bisa dijerat hukum, itu bisa dimaklumi, karena aturan di negara kita tidak memungkinkan seorang menteri menjadi tersangka dan diadili tanpa seizin presiden.

“Itu sih semua orang tahu, tapi bagaimana pun, seorang menteri tetap akan tercoreng namanya kalau sudah terbentuk opini publik bahwa dia terlibat korupsi,” kata sang pengusaha.

“Kita ini bicara seolah-olah kita orang bersih, padahal kita juga kadang-kadang mencuri dan menyogok,” kata si pimpinan bank sambil tersenyum.

“Tapi kita bukan koruptor, karena kita tidak mencuri uang negara dan kita bukan pejabat,” timpal si pengusaha juga sambil tertawa.

“Jadi, kita tidak mungkin masuk penjara,” ujar si pimpinan bank sambil memegang perutnya yang terasa agak sakit.

 

Yusuf dan Sulaeha

 

Seusai makan malam, si pengusaha bersama isteri, anak perempuannya yang kelas tiga SMP, serta mertua laki-lakinya, santai di ruang tengah.

Si anak mengatakan bahwa gurunya tadi pagi di sekolah mengaku sedih karena ada berita profesor masuk penjara.

“Ayah juga sedih, karena seharusnya mereka menjadi teladan,” kata si pengusaha.

“Ayah, apakah profesor itu benar-benar korupsi?” tanya si anak.

“Mudah-mudahan tidak. Bisa saja karena difitnah. Nabi Yusuf juga dipenjara, tetapi beliau tidak bersalah,” potong mertua si pengusaha.

Kakek yang baru beberapa hari datang dari kampung itu kemudian menuturkan kisah Nabi Yusuf dan Sulaeha.

“Nabi Yusuf sebenarnya dibeli sebagai budak oleh keluarga Sulaeha, sejak ia masih remaja, tetapi ternyata ia tumbuh besar dengan perawakan bagus dan wajah sangat tampan,” cerita si kakek.

Sulaeha yang juga cantik dan awet muda kemudian jatuh cinta kepada Nabi Yusuf, tetapi cintanya ditolak karena Nabi Yusuf sangat menghormati majikannya, Futhifar, suami Sulaeha. Futhifar sehari-hari adalah pejabat kerajaan.

Suatu hari ketika si suami tidak ada di rumah, Sulaeha memanggil Yusuf ke kamar tidurnya untuk memijat punggungnya. Tiba-tiba Sulaeha mengunci pintu dan meminta Yusuf melepaskan rindunya serta memuaskan nafsu syahwatnya. Namun, Yusuf menolak.

Sulaeha marah. Yusuf yang ketakutan kemudian berlari dan membuka pintu, tetapi Sulaeha berhasil mengejarnya dan menarik baju Yusuf kuat-kuat hingga robek.

Saat itulah datang Futhifar dan melihat adanya ketidakberesan.

Tanpa memberi kesempatan Yusuf membuka mulut, berkatalah Sulaeha cepat-cepat kepada suaminya bahwa Yusuf telah berani secara kurang ajar masuk ke kamar tidurnya dan ingin memerkosanya. Ia kemudian meminta suaminya agar memenjarakan dan menyiksa Yusuf.

Futhifar tidak langsung percaya dan meminta pendapat kepada iparnya, saudara Sulaeha.

“Kalau baju Yusuf terkoyak di bagian belakangnya, maka dialah yang benar dan isterimu yang dusta. Sebaliknya, kalau baju Yusuf terkoyak di bagian depan, maka dialah yang berdusta dan isterimu yang berkata benar,” kata iparnya yang dikenal pandai dan bijaksana.

Mendengar pertimbangan tersebut dan melihat bahwa baju Yusuf robek di bagian belakang, Futhifar kemudian meminta isterinya bertobat. Ia meminta Yusuf dan seluruh penghuni rumah merahasiakan kejadian tersebut dan menganggap masalah sudah selesai.

Nabi Yusuf yang takut akan terulang bujukan Sulaeha, kemudian mengadu kepada Sang Khalik bahwa dirinya lebih baik dipenjara dari pada harus memperturutkan hawa nafsu majikannya.

Secara kebetulan, kejadian antara Yusuf dan Sulaeha juga sudah bocor dan menjadi pembicaraan umum. Untuk menutupi malu, Sulaeha meminta suaminya memenjarakan Yusuf dan permintaan itu terpaksa dipenuhi Futhifar.

“Begitulah kisahnya sehingga Nabi Yusuf dipenjara,” tutur si kakek menutup ceritanya.

 

Makassar, 20 Mei 2007

(Artikel ini dimuat di Rubrik Opini, halaman 4, Pedoman Rakyat, 21 Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar