Jumat, 29 Juni 2007

'Perceraian' Pemimpin


Akankah 'perceraian' itu kelak terjadi? Kita lihat saja nanti. Yang pasti, sudah banyak terjadi 'perceraian' antara pasangan gubernur dan wakil gubernur, sudah banyak terjadi 'perceraian' antara pasangan walikota dan wakil walikota, dan sudah banyak terjadi 'perceraian' antara bupati dengan wakil bupati.






PEDOMAN RAKYAT
25 Juni 2007

Perceraian Pemimpin



Oleh: Asnawin Aminuddin

PERCERAIAN adalah barang halal. Perceraian adalah sesuatu yang boleh saja dilakukan. Perceraian tidak dilarang. Tetapi perceraian sebenarnya dibenci oleh Allah. Tetapi perceraian biasanya akan menyakitkan. Tetapi perceraian biasanya akan menimbulkan dampak negatif.

Sepasang suami isteri yang bercerai, apapun alasannya, pasti akan menyakitkan kedua pihak, apalagi kalau perkawinannya sudah berlangsung lama, karena tentu banyak kemesraan dan kenangan indah yang sudah dilalui. Dampak perceraian mereka pasti akan dirasakan anak-anaknya (kalau ada).

Bagaimana kalau yang 'bercerai' adalah para pemimpin bangsa kita? Bagaimana kalau yang 'bercerai' adalah pasangan presiden dan wakil presiden?

Menjelang kejatuhan Presiden Soeharto (Mei 1998), beberapa tokoh melakukan 'kawin massal'. Mereka antara lain Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, KH Abdurrahman Wahid, dan Akbar Tandjung.

'Perkawinan' mereka mendapat porsi pemberitaan yang luas, baik oleh media massa di dalam negeri, maupun media luar negeri.

Seusai melakukan 'perkawinan massal', mereka menjalani 'masa bulan madu'. Kemesraan mereka menimbulkan kecemburuan dari berbagai pihak, terutama yang juga merasa tokoh dan merasa pantas diikutkan dalam 'perkawinan massal' itu.

Setelah Soeharto jatuh, 'perkawinan' para tokoh bangsa itu masih bertahan. Mereka ingin menjatuhkan BJ Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden.

Seusai Pemilu 1999, 'perkawinan' para tokoh bangsa itu masih bertahan. Tetapi pada saat itu muncul dua kubu yang saling berhadap-hadapan, yakni kubu BJ Habibie (Partai Golkar) dan kubu Megawati Soekarnoputri (PDIP).

Persaingan antara dua kubu ini cukup mengkhawatirkan. Saat itulah muncul Amien Rais dengan menawarkan 'poros tengah'. Ia menggalang partai-partai berbasis Islam dan berhasil mengubah konstalasi politik nasional secara signifikan.

Dengan munculnya Poros Tengah, posisi dan kekuatan Megawati dan BJ Habibie menjadi melemah. Dampaknya, laporan pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak Sidang Umum MPR 1999. Merasa tidak lagi punya legitimasi secara politik, BJ Habibie akhirnya mengurungkan pencalonannya sebagai presiden berpasangan dengan Wiranto.

Setelah BJ Habibie mundur, muncul beberapa capres, yakni Akbar Tanjung, Hamzah Haz, Yusril Ihza Mahendra, dan Amien Rais. Mereka ingin mengganjal Megawati yang peluangnya menjadi sangat besar.

Pada malam setelah Laporan Pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak, dilakukan pertemuan di kediaman BJ Habibie, yang dihadiri empat pimpinan parpol, yakni Akbar Tanjung (Golkar), Hamzah Haz (PPP), Yusril Ihza Mahendra (PBB), dan Amien Rais (PAN).

Pertemuan itu menyepakati Amien Rais sebagai capres untuk menghadapi Megawati, tetapi Amien yang sudah terpilih sebagai Ketua MPR RI menolak. Ia malah memilih Gus Dur. Tentu saja banyak pihak yang kaget, karena Gus Dur punya kekurangan secara fisik, namun akhirnya semua pihak mendukung dan Gus Dur pun menang dalam pemilihan presiden yang dilaksanakan di gedung MPR RI.

Terpilihnya Gus Dur tidak serta merta meretakkan 'perkawinan' para tokoh bangsa yang sudah bertahan setahun, apalagi kemudian Megawati terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Gus Dur.

'Perkawinan' para tokoh bangsa itu pun makin 'mesra'. Bukti 'kemesraan' itu terlihat dengan masuknya Amien Rais sebagai salah seorang tim penyusun kabinet.

Sekitar satu tahun kemudian barulah terjadi 'keretakan'. Para pengusung Gus Dur dari Poros Tengah merasa tidak dihargai dan ditinggalkan. Puncaknya ketika Gus Dur memecat Hamzah Haz sebagai Menko Kesra. Saat itulah 'pekawinan massal' bubar dan terjadilah 'perceraian'.

Poros Tengah kemudian 'meninggalkan' Gus Dur dan menggalang kekuatan dengan PDIP dan Golkar yang juga sudah merasa dilecehkan Gus Dur.

Kekuatan yang digalang Poros Tengah itu kemudian berhasil menjatuhkan Gus Dur dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden pada Juli 2001.

Kini, 'perkawinan' antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Wapres Jusuf Kalla terancam 'bubar', setelah Surya Paloh yang Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar menjalin 'kemesraan' dengan tokoh senior PDIP, Taufik Kiemas, yang tidak lain suami Megawati Soekarnoputri.

Akankah 'perceraian' itu kelak terjadi? Kita lihat saja nanti. Yang pasti, sudah banyak terjadi 'perceraian' antara pasangan gubernur dan wakil gubernur, sudah banyak terjadi 'perceraian' antara pasangan walikota dan wakil walikota, dan sudah banyak terjadi 'perceraian' antara bupati dengan wakil bupati.

Makassar, 24 Juni 2007
(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat, 25 Juni 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar