Setelah merasa mantap dengan ajaran Islam yang dipelajari selama lebih kurang dua tahun pengembaraannya, maka pada 2000, ia pun membulatkan tekad untuk memeluk agama Islam. Ia bersyahadat di Masjid Al-Azhar, Jakarta.
-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 01 November 2009
Sandrina
Malakiano, Dengan Islam Jadi Lebih Sabar dan Ikhlas
Setelah memeluk Islam,
berbagai kemudahan dan juga ujian datang silih berganti. Penikmat televisi di
Tanah Air tentunya mengenal sosok perempuan satu ini. Alessandra Shinta
Malakiano nama lengkap perempuan tersebut.
Namun, publik lebih
mengenalnya dengan nama Sandrina Malakiano. Nama yang kerap dipakainya pada
saat tampil di layar kaca salah satu stasiun televisi di Indonesia untuk
menyampaikan berita dan peristiwa seputar isu politik dan ekonomi nasional
maupun mancanegara.
Lahir di Bangkok,
Thailand, pada 24 November 1971, Sandrina dibesarkan di tengah keluarga dengan
dua kultur yang berbeda. Ayahnya yang berasal dari Armenia, Italia, merupakan
pemeluk Katolik Gregorian. Sementara ibunya yang berdarah Solo-Madura beragama
Islam, yang kuat memegang budaya kejawen.
“Saya ini sangat
beruntung karena dibesarkan dalam keluarga yang sangat berwarna. Karenanya,
saya sering menyebut kehidupan dalam keluarga saya itu sebagai united colours
of religion,” ujarnya kepada Republika, pekan lalu di Jakarta.
Kombinasi dua budaya
yang berbeda dari kedua orang tuanya itu, melahirkan kebebasan memeluk agama
apa pun bagi anak-anaknya, termasuk Sandrina. Ayah dan ibunya, kata dia, adalah
orang tua yang moderat.
Mereka menanamkan
kepercayaan kepada Tuhan, tetapi membebaskan anak-anaknya untuk menemukan jalan
kebenarannya masing-masing. Menurut orang tua, yang namanya urusan agama itu
sangat pribadi. Jadi, setiap orang pasti akan menemukan jalannya sendiri.
Kendati sang ayah
pemeluk Katolik Gregorian dan sang ibu seorang Muslimah, namun Sandrina serta
kakak laki-lakinya justru mendapatkan pendidikan agama Kristen Protestan.
Pendidikan agama
Kristen Protestan ini ia peroleh di sekolah. Kondisi tersebut, terangnya,
dikarenakan pemeluk Katolik Gregorian di Indonesia sangat langka, sehingga
gereja Gregorian hanya ada satu yaitu di Jakarta. Sementara, sejak dari bayi,
ia tumbuh dan besar di Bali.
Kebebasan yang
diberikan orang tuanya, diakui Sandrina, membuat dirinya bingung dan bimbang.
Terlebih lagi ketika duduk di bangku SMP yang mulai ada proses pendewasaan diri
dalam keseharian istri dari Eep Saefulloh Fatah ini.
“Saya mulai
bertanya-tanya, sebetulnya saya ini mengakar ke mana, kenapa Kristen Protestan.
Sementara saya merasa bahwa tempat saya bukan di sana,” paparnya.
Sandrina merasa bahwa
alam, kultur, dan kehidupan keagamaan yang ada di sekitarnya, sangat sesuai
dengan hati nuraninya. Karenanya, sejak saat itu, ia memutuskan untuk mencari
tahu dan mempelajari agama yang banyak dianut oleh masyarakat Bali, Hindu.
Ketika duduk di bangku
SMA, Sandrina mulai menemukan kecocokan dengan agama Hindu, baik secara
emosional maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sekitar tahun 1990, saat baru
duduk di perguruan tinggi, ia memutuskan untuk meninggalkan ajaran Kristen
Protestan dan memeluk Hindu sebagai keyakinan barunya.
Ia menjalani agama
barunya ini dengan sepenuh hati. Sandrina mempelajari Hindu dan kemudian
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara ritual, aturan, maupun
kepercayaan. Bahkan, termasuk membuat album religi Hindu bersama beberapa orang
temannya. Album religi Hindu bersifat sosial ini dibuat sekitar 1997.
“Saya menjalaninya
dengan penuh totalitas. Karena, saya tidak percaya pada apa pun yang sifatnya
setengah-setengah,” tegas ibu dari Keysha Alea Malakiano Safinka (7 tahun) dan
Kaskaya Alessa Malakiano Fatah (14 bulan).
Namun, lagi-lagi
kegelisahan yang sama muncul dalam dirinya. Ia kembali merasa bingung dan
bimbang pada keyakinan Hindu yang dipeluknya. Kebingungan serta rasa bimbang
tersebut kerap muncul manakala melihat sanak saudara dari keluarga ibunya
melakukan shalat di rumahnya, saat mereka berkunjung ke Bali.
Bahkan, terkadang ia
turut serta shalat bersama mereka. Shalatnya hanya dilakukan sebatas
ikut-ikutan. Namun, justru hal itu yang memberikan perasaan tenang dalam
dirinya seusai mendirikan shalat.
Dari situ, paparnya,
timbul keinginan untuk mengetahui Islam lebih lanjut.
“Mungkin kesalahan saya
pada waktu itu adalah bertanya kepada orang yang tidak tepat. Misalnya, saya
ingin tahu mengenai Islam, tapi informasi yang saya dapatkan mengenai Islam itu
kurang baik. Kecendrungan mereka mengatakan Islam itu menyulitkan, tidak
fleksibel, tidak universal, dan merendahkan kaum perempuan,” ujarnya.
Hijrah
ke Jakarta
Pada 1998, ketika ia
memutuskan hijrah ke Jakarta, Sandrina dihadapkan pada sebuah lingkungan yang
berbeda dengan kehidupannya semasa di Pulau Dewata. Sewaktu di Bali, ia tinggal
di sebuah lingkungan yang didominasi oleh pemeluk Hindu. Dan ketika di Jakarta,
ia justru tinggal di lingkungan yang mayoritas pemeluk Islam.
Di Ibu Kota Indonesia
inilah, Sandrina mendapat kesempatan yang lebih luas dalam melihat Islam secara
lebih dekat. Ia pun banyak bertanya tentang agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW ini kepada orang-orang Islam, termasuk pada ulama. Karena itu,
kegiatan kesehariannya lebih banyak mempelajari Islam.
Ia juga sempat bertanya
pada Ibu Nur, seorang guru mengaji anak pemilik tempat kosnya, tentang Islam.
“Sulit dijelaskan
dengan kata-kata. Semakin hari ketertarikan saya pada Islam pun tumbuh.
Keinginan untuk lebih banyak tahu mengenai Islam semakin menjadi, dan kerinduan
untuk memeluk Islam pun semakin menggebu,” paparnya.
Dan ketika ia
mengungkapkan hal itu pada keluarga terdekatnya serta saudara dan
teman-temannya, jelas Sandrina, mereka semua sangat mendukung. Dukungan inipun
makin melecut semangat wanita berdarah Italia-Jawa-Madura ini untuk memperdalam
Islam dan shalat.
Setelah merasa mantap
dengan ajaran Islam yang dipelajari selama lebih kurang dua tahun
pengembaraannya, maka pada 2000, ia pun membulatkan tekad untuk memeluk agama
Islam. Ia bersyahadat di Masjid Al-Azhar, Jakarta.
Rahmat dan hidayah
Allah pun senantiasa mengalir padanya. Tak lama setelah memeluk Islam, ia
merasa Allah SWT memberikan berbagai kemudahan dalam hidupnya. Salah satunya, ia
diterima bekerja di Metro TV. Dari penghasilan yang didapatnya, akhirnya ia
mampu tinggal dan kos di tempat yang lebih luas, dibandingkan dengan tempat
kosnya terdahulu. Ia juga akhirnya bisa mencicil mobil untuk menunjang
aktivitasnya.
“Jadi, ke mana-mana
tidak lagi naik bajaj, termasuk untuk pergi siaran di televisi. Dari hasil
kerja di Metro TV, saya juga masih bisa membantu keuangan ibu di Bali,”
terangnya.
Ujian
Bertubi-tubi
Allah SWT tidak akan
membiarkan hamba-hambanya yang telah diberi hidayah atau kemuliaan itu dengan
begitu saja. Dia akan menguji hambanya itu dengan berbagai macam cobaan. Dan
cobaan atau ujian itu adalah ukuran bagi kesempurnaan iman seseorang.
“Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman',
sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS 20 / Al-Ankabut
: ayat 2-3).
Kondisi ini sangat
tepat disematkan pada Sandrina Malakiano. Setelah berbagai kemudahan ia
dapatkan, Allah SWT mengujinya dengan berbagai persoalan yang datang silih
berganti dalam kehidupannya. Salah satunya, ia gagal mempertahankan rumah
tangga yang telah dibinanya selama kurang lebih empat tahun.
Namun di balik
peristiwa ini, Allah justru memberinya sebuah hadiah terindah. Salah seorang
kenalannya yang sudah ia anggap seperti ayah sendiri, memberangkatkan dia untuk
umrah--sebuah keinginan yang sudah lama ia idam-idamkan.
“Saya berangkat umrah
tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Saya betul-betul berangkat dalam kondisi
yang zero mind, itu terjadi tahun 2005,” ujar Sandrina. Umrah kali pertama ini
juga merupakan pertama kalinya ia pergi ke luar negeri.
Sepulang umrah pada
2005, ia mendapat kejutan-kejutan lain dari Allah. Allah memberinya seorang
pendamping yang lebih saleh dan bisa menjadi imam serta pembimbing yang baik
bagi dirinya dan keluarga.
Selain itu, setahun
berselang, berkat kemurahan seorang pemilik travel haji, ia kembali pergi ke
luar negeri dengan tujuan menunaikan ibadah haji.
Namun, ujian belum
berhenti. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, ia berkomitmen untuk sepenuhnya
menjalankan ajaran Islam. Ia memutuskan mengenakan busana Muslimah dan
berjilbab.
Namun, keputusannya ini
dianggap banyak orang hanya untuk memenuhi keinginan suami. Ia tak ambil pusing
dengan anggapan orang. Tekadnya sudah bulat untuk berbusana Muslimah. Dan sang
suami pun terkejut ketika diberi tahu mengenai keputusannya ini.
“Suami khawatir
bagaimana dengan pekerjaan saya sebagai penyiar berita di Metro TV nantinya
setelah saya berjilbab. Dia memang sudah membayangkan pasti akan ada kesulitan
di sana,” tuturnya.
Apa yang dikhawatirkan
suaminya menjadi kenyataan. Manajemen tempatnya bekerja, tidak memperbolehkan
dia melaksanakan siaran dengan menggunakan jilbab. Setelah menjalani proses
diskusi dan berpikir selama tiga bulan lamanya, ia pun mantap memutuskan untuk
mengundurkan diri dari dunia yang telah membesarkannya selama 15 tahun lebih.
Pada Mei 2006, keputusan yang sulit pun akhirnya ia ambil. Sandrina resmi
mundur dari Metro TV.
Keputusan ini berdampak
pada kehidupan sehari-harinya. Ia benar-benar belum siap melepaskan diri dari
televisi. Perasaan sedih, sering menderanya. Ia berusaha menghindari televisi.
Selama lebih kurang
setahun, baru ia bisa kembali menemukan kepercayaan diri sehingga bisa menonton
TV.
“Setiap kali nonton
televisi rasanya ngenes . Tetapi, alhamdulillah ada suami dan keluarga yang menguatkan
saya waktu itu.”
Semua cobaan tersebut,
ia maknai sebagai bentuk permintaan dan kasih sayang dari Sang Pencipta agar ia
memperluas lahan kesabaran dan keikhlasannya. Termasuk ketika ibunya jatuh
sakit pada 2007 dan harus menjalani perawatan di rumah sakit selama 47 hari
hingga ajal menjemput.
Dan selama 47 hari
tersebut, ia terus berada di sisi sang ibu dan mendampinginya melawan penyakit
yang menyerang pankreasnya.
“Seandainya saya masih
bekerja, mungkin saya tak akan bisa mendampingi ibu yang telah melahirkan saya
itu selama lebih dari 47 hari di rumah sakit,” terangnya.
Cobaan berikutnya
datang lagi manakala sang ibu wafat dan ia dihadapkan pada masalah tagihan
rumah sakit sebesar Rp680 juta yang harus segera dilunasi. Saat meninggalkan
rumah sakit, ia baru membayar sepertiganya. Ia sempat meragukan keputusan yang
telah diberikan Allah dalam hidupnya.
Beruntung ia segera
disadarkan. Saat itu yang bisa ia lakukan hanya pasrah dan berserah diri kepada
Allah. Hingga akhirnya, Allah memberikan pertolongan kepadanya melalui
tangan-tangan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.
Dalam waktu dua hari
setelah pemakaman sang ibu, beberapa orang kenalannya dan ibunya mentransfer
sejumlah uang dalam nominal yang cukup besar. Jika ditotal keseluruhan uang
tersebut cukup untuk melunasi semua tagihan rumah sakit.
“Ini semua karena kasih
sayang Allah. Saya menjadi makin lebih sabar dan ikhlas dalam menerima berbagai
macam ujian,” papar Sandrina. dia/taq
Biodata:
Nama Lengkap :
Alessandra Shinta Malakiano
Nama Populer : Sandrina
Malakiano
Lahir : Bangkok, 24
November 1971
Suami : Eep Saefulloh
Fatah
Anak : Keysha Alea Malakiano Safinka (7 tahun) dan Kaskaya Alessa Malakiano Fatah (14 bulan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar