Greenpeace: Para pemimpin Uni-Eropa harus membantu SBY melindungi hutan Indonesia
Jakarta, 29 Oktober 2009- Para aktivis Greenpeace membentangkan spanduk berukuran 20x50 meter dengan gambar wajah Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy di lahan gambut yang baru saja diancurkan di Sumatra. Kegiatan ini dilakukan menjelang konferensi pemimpin Uni-Eropa yang dimulai hari ini di Brussels,
Belgia.
Aksi kemarin di Indonesia menandai peluncuran rangkaian kegiatan di Kamp Pembela Iklim Greenpeace di Riau yang diharapkan memancing perhatian para pemimpin dunia akan pentingnya melindungi hutan sebagai langkah penting mengurangi emisi gas rumah kaca untuk menghindari perubahan iklim.
“Uni Eropa mengakumulasi utang karbon historisnya dengan memicu deforestasi dan penghancuran hutan di luar negara mereka. Saatnya kini para pemimpin Uni Eropa bertanggung jawab untuk berkomitmen memberi bantuan dana publik dalam jumlah yang sepadan untuk mencegah hilangnya hutan tropis yang tersisa.” tegas Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.
Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi diantara negara-negara yang memiliki hutan di dunia dan menjadi contoh nyata perlunya rencana matang yang didukung dengan dana bantuan internasional untuk melindungi hutan tropis.
Dimotori permintaan pasar dunia terhadap produk kertas dan minyak kelapa sawit, sejak 1950 lebih dari 74 juta hektar hutan Indonesia telah sepenuhnya hancur, ditambah area sekitar yang juga mengalami kerusakan berat.
Kehancuran lahan gambut di Indonesia saja bertanggungjawab atas 4% emisi global gas rumah kaca hasil tindakan manusia, menjadikan Indonesia negara ketiga terbesar penghasil gas rumah kaca setelah Amerika Serikat dan Cina.
Tingginya emisi tersebut disebabkan oleh dua alasan – pesatnya laju deforestasi dan degradasi serta pembakaran lahan gambut. Lahan gambut di Asia Tenggara diperkirakan menyimpan 42 milyar ton karbon dan sekitar 80% atau 35 milyar ton dari jumlah tersebut tersimpan di Indonesia. Lahan gambut di Indonesia mewakili hanya kurang dari 0,1% dari luas tanah di bumi namun bertanggung jawab akan 1,8 milyar ton emisi per tahun.
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengidentifikasi industri kayu, minyak kelapa sawit, pertanian, sertapulp (bubur kertas) dan kertas sebagai penyebab kekeringan lahan gambut, deforestasi dan emisi yang dihasilkan Indonesia. Dalam laporan disebutkan bahwa bila tidak ada tindakan tegas yang dilakukan, diperkirakan kadar pelepasan emisi tersebut akan terus meningkat.
Pada pertemuan negara-negara G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, Presiden Yudhoyono berkomitmen mengurangi emisi karbon Indonesia sebesar 26% pada tahun 2020 – meningkat ke angka 41% dengan dukungan internasional. Dengan melakukan ini, Presiden menunjukkan kemauan keras dan kepemimpinan yang kuat dari Indonesia. Semangat ini sangat dibutuhkan untuk membantu dunia menghindari kekacauan iklim.
“Sebagai Presiden dari negara dengan hutan tropis terbesar yang tersisa, kata-kata Presiden Yudhoyono adalah harapan untuk jutaan orang yang sudah menderita akan dampak perubahan iklim. Agar beliau dapat mengubah komitmennya menjadi tindakan, beliau membutuhkan bantuan finansial dari negara-negara maju untuk mewujudkan komitmennya. Para pemimpin Uni-Eropa harus menunjukkan sikap kepemimpinan seperti Presiden Yudhoyono dan berikan dukungan nyata terhadap sesuatu yang mereka percayai, dengan segera memberikan dana” jelas Shailendra Yashwant, Direktur Kampanye Greenpeace Asia Tenggara.
Bagi Greenpeace, dukungan Uni-Eropa harus ditunjukkan setidaknya dengan komitmen yang jelas dari para pemimin Uni Eropa untuk:
1. Mendukung pengembangan pendanaan global untuk iklim dibawah Perjanjian Iklim UNFCCC, dijalankan oleh mekanisme finansial baru yang kuat dan mengikat secara hukum yang akan menggerakkan setidaknya 30 milyar Euro dari pendanaan publik per tahun untuk periode 2013-2020, ditujukan untuk pembiayaan pengembangan dan implementasi rencana nol deforestasi di negara-negara tropis.
1. Meniadakan skema kredit pertukaran-emisi pada hutan (forest offset) dari pasar karbon internasional – REDD harus menjadi tambahan untuk pengurangan emisi dalam negeri dari negara-negara Annex 1 dan tidak boleh menciptakan kerugian untuk perubahan yang diperlukan menuju ekonomi masa depan yang rendah karbon
1. Mempromosikan tujuan membawa laju deforestasi hutan tropis menuju angka nol sebelum 2020 – Upaya untuk mengurangi namun tidak mengakhiri deforestasi tropis tidak hanya akan memperpanjang masalah, namun juga tidak akan menghadirkan hasil yang diperlukan untuk menghindari bahaya perubahan iklim, kepunahan spesies dan kehancuran ekosistem.
1. Mengutamakan perlindungan hutan alam seutuhnya (REDD), dan meniadakan subsidi untuk kegiatan hutan untuk industri (REDD+) yang akan mengancam keanekaragaman hayati dan kesatuan ekologi, serta seringkali menjadi jalan untuk tindak deforestasi. Sangatlah penting untuk memastikan pendanaan publik untuk REDD tidak digunakan untuk subsidi perkebunan tanaman industri (“HTI”), penebangan kayu di hutan tropis dan konversi hutan alam menjadi perkebunan.
2. Menyatakan secara jelas bahwa masa depan mekanisme REDD dikeluarkan dan dirancang untuk berkontribusi terhadap tujuan Perjanjian PBB terhadap Keanekaragaman Hayati. Dampak terhadap keanekaragaman hayati harus secara eksplisit dipertimbangkan dalam segala tata cara, peraturan dan kegiatan REDD.
Greenpeace adalah organisasi kampanye global independen yang beraksi untuk mengubah sikap dan perilaku, untuk melindungi dan melestarikan lingkungan, serta mempromosikan perdamaian.
Kontak:
Bustar
Maitar, Jurukampanye Hutan, Greenpeace Asia Tenggara, tel: +6281344666135
Martin Baker, Direktur Komunikasi, Greenpeace Asia Tenggara, tel +6281315829513
Untuk
infromasi lebih lanjut kunjungi: http://www.greenpeace.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar