Sabtu, 03 Oktober 2009

Mengenang Dua Tahun Wafatnya Pedoman Rakyat


Mudah-mudahan inilah tragedi terakhir kematian sebuah koran tua di Indonesia. Semoga koran tua sekelas Kompas (Jakarta), Pikiran Rakyat (Bandung), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), dan lain-lain dapat tetap eksis untuk selamanya. Bertahanlah kalian dan janganlah mati di tengah kepungan dan persaingan dengan koran-koran baru, radio, televisi, internet, dan berbagai bentuk media massa lainnya.
Kepada para mantan wartawan dan mantan karyawan Harian Pedoman Rakyat, saya yakin tragedi kematian Pedoman Rakyat dua tahun silam pasti ada hikmahnya. Mungkin Tuhan akan memberikan yang lebih baik. Semoga.



Mengenang Dua Tahun Matinya Pedoman Rakyat

Oleh: Asnawin

Hari ini dua tahun silam atau tepatnya 3 Oktober 2007, terjadi tragedi kematian harian Pedoman Rakyat. Ya, harian Pedoman Rakyat yang terbit sejak 1 Maret 1947, tidak lagi terbit sejak 3 Oktober 2007 hingga hari ini, 3 Oktober 2009.

Disebut tragedi, karena harian Pedoman Rakyat sesungguhnya adalah aset nasional dan koran yang telah puluhan tahun menemani dan bergaul dengan masyarakat Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.

Salah seorang rekan bernama Marzuki Wadeng, anggota DPRD Sulsel, beberapa tahun lalu sempat mengatakan bahwa harian Pedoman Rakyat tidak akan mungkin mati.

''Masyarakat Sulsel pasti akan marah kalau Pedoman Rakyat mati, karena Pedoman Rakyat adalah aset pemerintah dan masyarakat Sulsel,'' katanya kepada penulis ketika itu.

Kenyataannya, kematian Pedoman Rakyat tetap terjadi dan masyarakat Sulsel tampaknya tidak marah atau tidak menampakkan kemarahannya. Memang banyak yang bertanya dan menyesalkan hal tersebut terjadi, tetapi hanya sampai di situ, tidak ada upaya lebih lanjut.

Maka, puluhan wartawan dan karyawan harian Pedoman Rakyat pun kehilangan pekerjaan. Piring mereka pecah dan ratusan orang di belakang mereka pun ikut merasakannya.

Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sebuah rumah tangga yang kepala rumah tangganya dan tumpuan keluarga tiba-tiba kehilangan pekerjaan, apalagi kalau sang kepala keluarga menanggung seorang isteri dan empat orang anak.

Setelah dua tahun, masih ada di antara mereka (wartawan/karyawan Pedoman Rakyat) yang tak mampu mendapatkan pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja sendiri, bahkan ada yang menganggur total.

Tragedi tersebut tidak berhenti sampai di situ. Mereka, para mantan wartawan dan karyawan Pedoman Rakyat, pun tidak mendapatkan pesangon, karena sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari pihak perusahaan (PT. Media Pedoman Jaya) bahwa perusahaan pailit. Semua menggantung.

Wartawan dan karyawan memang melakukan protes dan menuntut di pengadilan, tetapi sampai saat ini belum ada hasilnya. Ventje S. Manuhua selaku Direktur Utara PT. Media Pedoman Jaya menghindar dari tuntutan, karena merasa tidak pernah diberi amanah atau SK dari pihak pemegang saham untuk menjadi dirut.

''Saya hanya berupaya melanjutkan penerbitan Pedoman Rakyat karena diminta oleh wartawan dan karyawan, setelah puluhan hari tidak terbit karena ditinggalkan oleh dirut lama,'' katanya dalam beberapa pertemuan.

''Tetapi kenyataannya, anda-lah yang menjabat dirut sampai akhirnya Pedoman Rakyat tidak terbit lagi,'' balas Ronny Rondonuwu, salah seorang pemegang saham.

Aset Pedoman Rakyat konon sudah dijual satu per satu dan kini tinggal gedung berlantai lima di Jalan Arief Rate Makassar yang belum terjual, tetapi konon sudah ada pihak yang membelinya dengan memberi uang muka kepada keluarga LE Manuhua. Itu terungkap ketika wartawan, Dirut Ventje S. Manuhua, dan para pemegang saham dipertemukan di Kantor Dinas Tenaga Kerja Makassar, tahun 2008.

Yang juga menyedihkan karena beberapa mantan wartawan dan mantan karyawan Pedoman Rakyat telah meninggal dunia dalam dua tahun terakhir, tetapi mereka belum mendapatkan hak-haknya. Entah siapa yang akan menanggung dosanya.

Mudah-mudahan inilah tragedi terakhir kematian sebuah koran tua di Indonesia. Semoga koran tua sekelas Kompas (Jakarta), Pikiran Rakyat (Bandung), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), dan lain-lain dapat tetap eksis untuk selamanya.

Bertahanlah kalian dan janganlah mati di tengah kepungan dan persaingan dengan koran-koran baru, radio, televisi, internet, dan berbagai bentuk media massa lainnya.

Kepada para mantan wartawan dan mantan karyawan Harian Pedoman Rakyat, saya yakin tragedi kematian Pedoman Rakyat dua tahun silam pasti ada hikmahnya. Mungkin Tuhan akan memberikan yang lebih baik. Semoga.

Makassar, 3 Oktober 2009
(Asnawin adalah wartawan Pedoman Rakyat sejak tahun 1992)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar