Senin, 10 September 2007
Kumis, Janggut, dan Tahi Lalat
Oleh : Asnawin
email : asnawin@hotmail.com
Ada tiga negeri bertetangga yang saling membenci satu sama lain. Negeri pertama bernama Negeri Kumis, negeri kedua bernama Negeri Janggut, dan negeri ketiga bernama Negeri Tahi Lalat.
Di Negeri Kumis, hampir semua laki-laki memiliki kumis dengan bermacam-macam model. Ada yang berkumis tipis, ada yang berkumis sedang, ada yang berkumis tebal, ada yang berkumis panjang, ada yang kumisnya panjang diplintir, dan bermacam-macam model kumis lainnya.
Penduduk Negeri Kumis sangat membenci janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur janggutnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Kumis.
Penduduk Negeri Kumis juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Kumis.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara janggut akan diberi sebutan kambing dan dianggap sok alim, sedangkan laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya kumis untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Kumis, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya kumis dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara kumis, dan melarang semua laki-laki memelihara janggut. Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar dada dan sang permaisuri memang lebih suka memakai baju dengan dada agak terbuka.
Negeri Janggut
Kondisi serupa juga terjadi di Negeri Janggut. Penduduk di negeri tersebut sangat memuja janggut dan menganggap janggut adalah segalanya. Maka penduduk laki-laki pun berlomba-lomba memelihar janggut sebagus mungkin.
Ada orang yang janggutnya pendek, ada yang janggutnya panjang, ada yang janggutnya dikuncir, serta bermacam-macam model janggut lainnya.
Penduduk Negeri Janggut sangat membenci kumis. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumisnya. Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis, mereka langsung menganjurkan agar kumis tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Janggut.
Penduduk Negeri Janggut juga membenci tahi lalat, apalagi kalau tahi lalat itu tumbuh di sekitar wajah. Kalau tahi lalat itu muncul di bagian tubuh selain wajah, biasanya dibiarkan saja saja atau ditutupi dengan sesuatu, tetapi kalau tahi lalat itu tumbuh di wajah, maka tahi lalat itu langsung dicabut melalui operasi yang memang digratiskan di Negeri Janggut.
Kalau ada orang yang "melanggar" kebiasaan itu, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya. Laki-laki yang memelihara tahi lalat akan disebut bencong alias banci.
Saking pentingnya janggut untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya janggut dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain wajib hukumnya para laki-laki memelihara janggut, dan melarang semua laki-laki memelihara kumis.
Selain itu, juga diusulkan agar semua laki-laki dan perempuan segera mencabut melalui operasi jika ada tahi lalat yang tumbuh, terutama di sekitar wajah.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisurinya punya tahi lalat di sekitar telinga, sedangkan salah seorang anak perempuannya punya tahi lalat di bagian leher. Untungnya kedua wanita itu berjilbab, sehingga tahi lalat mereka jarang dilihat orang.
Negeri Tahi Lalat
Negeri Tahi Lalat lain lagi kondisinya. Semua laki-laki di negeri itu tidak ada yang berkumis dan atau berjanggut. Para laki-laki umumnya berwajah "bersih", karena tidak memelihara kumis, tidak punya janggut, dan tidak banyak yang punya tahi lalat di wajah.
Wanita di Negeri Tahi Lalat selalu berdoa agar mereka dikarunia tahi lalat di wajah. Wanita yang hamil hampir setiap hari berdoa, agar anaknya nanti lahir dengan tahi lalat di wajah.
Penduduk Negeri Tahi Lalat sangat membenci kumis dan janggut. Para laki-laki dewasa setiap hari mencukur kumis dan janggutnya.
Setiap ada turis atau pendatang dari negeri lain yang berkumis dan atau berjanggut, mereka langsung menganjurkan agar kumis dan atau janggut tersebut dicukur, karena tidak sesuai dengan adat kebiasaan, tidak sesuai dengan seni, dan tidak sesuai dengan budaya di Negeri Tahi Lalat.
Kalau ada orang yang memelihara kumis dan atau janggut, biasanya orang itu akan mendapat berbagai masalah, antara lain dikucilkan dan sulit menduduki jabatan tinggi di kerajaan atau di tempat kerja mereka.
Orang yang memelihara kumis akan dicap sebagai pemabuk, pengguna ganja, pengguna obat-obat terlarang, dan berbagai macam cap lainnya.
Orang yang memelihara janggut disebut kambing dan sok alim, sedangkan orang yang memelihara kumis dan janggut dicap sebagai pemabuk yang sok alim.
Saking pentingnya tahi lalat untuk menjaga kultur dan jati diri Negeri Janggut, sampai-sampai ada menteri yang mengusulkan supaya tahi lalat dibuatkan Undang-undangnya. Isinya antara lain laki-laki maupun perempuan dianggap terhormat kalau punya tahi lalat, serta mendapat berbagai kemudahan.
Sebaliknya, orang yang tidak memiliki tahi lalat apalagi kalau memelihara kumis dan atau janggut, dianggap bukan orang terhormat sehingga tidak pantas diberi tempat terhormat di kerajaan atau pun di tengah masyarakat.
Banyak menteri yang setuju dengan usul tersebut, tetapi raja tidak setuju, karena ternyata permaisuri dan putri bungsunya tidak punya tahi lalat. Untunglah putra mahkota punya tahi lalat di lengan kanannya.
Saling Memaafkan
Begitulah. Tiga negeri bertetangga itu saling membenci satu sama lain. Mereka tidak pernah saling mengunjungi, kecuali kalau ada urusan penting.
Batas wilayah negeri mereka dipagari dengan tembok raksasa. Penduduk dari negeri lain harus membayar pajak kalau ingin berkunjung dan hanya boleh masuk melalui pintu gerbang kerajaan.
Anehnya, setiap memasuki bulan Ramadan, raja dari ketiga kerajaan itu saling mengirimi surat yang isinya mengucapkan selamat melaksanakan ibadah puasa. Raja dari ketiga kerajaan itu juga saling mengirimi surat pada setiap hari raya yang isinya mengucapkan selamat Hari Raya dan mohon dimaafkan lahir batin.
Makassar, 8 September 2007
copyright@pedoman rakyat
makassar, 10 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar