Pada hari ini di dataran ide, inilah yang “tergila” sepanjang sejarah sastra Indonesia bahkan dunia. Tujuh orang penulis dari satu keluarga dan serumah di Bulukumba bersepakat mengabadikan puluhan karyanya ke dalam satu buku antologi puisi.
-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 11 Januari 2014
Resensi
Buku:
Rumah
Putih, Antologi Puisi Terunik Di Dunia
Oleh:
Muhammad Aldy Jabir
Judul buku: Rumah
Putih, Antologi Puisi Serumah
Penulis: Israwaty
Samad, Fatimah, Sri Ulfanita, Nila Karmilawati, Nurlaisa Kamislisyai, Abdul
Samad Rauf, dan Ivan Kavalera
Penerbit: Ombak
Yogyakarta
Tebal: xii+166
hlm.;14x21 cm
ISBN: 978-602-258-118-5
Cetakan Pertama: Tahun
2013
Pada hari ini di
dataran ide, inilah yang “tergila” sepanjang sejarah sastra Indonesia bahkan
dunia. Tujuh orang penulis dari satu keluarga dan serumah di Bulukumba
bersepakat mengabadikan puluhan karyanya ke dalam satu buku antologi puisi.
Sebuah hal unik
lantaran di tempat lain di seantero dunia, biasanya antologi puisi ditulis
secara kolektif oleh suatu komunitas ataupun lembaga seni. Hal penting lainnya
yang menjadikannya patut dicatat sebagai buku sastra yang fenomenal adalah
bahwa terdapat tiga generasi penulis Rumah Putih. Dimulai dari sang ayah, empat
orang putri, seorang cucu, dan seorang menantu.
Israwaty Samad,
Fatimah, dan Nila Karmilawati rupanya mewakili generasi sajak romantis. Yang
menjadikannya berbeda dengan puisi cinta kebanyakan adalah terletak pada
metafora-metafora yang dijejalkan secara dinamis. Itupun ternyata tidak luput
menekankan unsur “bunyi” yang jamak dalam dunia puisi. Namun setiap lekuknya
dipenuhi misteri dan kerap mendebarkan.
Secara keseluruhan
puisi-puisi ketiganya terbungkus gairah cinta anak muda dan harmoni keluarga.
Israwaty Samad misalnya, kita temukan salah satu gairah diksi dalam
“Bersenggama Dengan ikhlas”: ”….bagaimana cara bercakap dengan
purnama/pagi-pagi kau mendampingi lagi dengan senyum/sarapan bagi lelaki dari
perempuan.” Bagaimana Fatimah misalnya menjelaskan seperti apa keluarganya
dalam sajak berjudul “Rumah Putih Adalah”: Rumah putih adalah kita yang
bepergian/dan bermukim dalam cinta/Jendela, angin sore, lumut hijau dan
bebungaan/itu bukan bait terakhir/Kita di pintunya selalu membuka pagi/dan
berhamburan/sambil minum teh/menyeruput segala awal mula puisi.
Sajak-sajak berbau
Islami diusung secara dominan oleh Sri Ulfanita. Konsistensi puisi-puisinya
menggambarkan bahwa dia sungguh datang dari haluan religi dan aroma alam. Dua
tema khas ini yang tampaknya memang banyak dipilih oleh para penyair muda sejak
penghujung 1990-an. Gayanya sedikit berbeda, tapi tetap cair dan renyah. Dia
telah berhasil menemukan kekuatan pada unsur-unsur repetisi dan retoris.
Terdapat dua sosok unik
dalam Rumah Putih. Pada bagian ini kita diajak mengembara kembali ke masa-masa
emas puisi jenis “pantun”dalam dunia sastra Indonesia dan puisi polos
kanak-kanak. Abdul Samad Rauf mewakili generasi ini. Syair-syair dan
pantun-pantunnya berhasil menggelitik ruang kenangan kita terhadap jenis puisi
lama Indonesia.
Nyatanya, pantun dan
syair memang masih sangat digemari oleh banyak orang sampai kini. Sosok unik
kedua adalah anak perempuan berbakat bernama Nurlaisa Kamislisyai alias Chaca.
Puisi-puisinya meruapkan kekaguman dan harapan, betapa Indonesia layak
terinspirasi oleh seorang bocah perempuan yang sudah menulis puisi pada umur
empat tahun. Eksplorasi keduanya terhadap Tuhan, alam dan kehidupan tertuang
jelas secara sederhana namun dengan elaborasi yang begitu mendalam.
Bab yang memuat
rentetan sajak-sajak Ivan Kavalera akhirnya memperkuat kesimpulan bahwa “Rumah
Putih, Antologi Puisi Serumah” merupakan buku sastra yang layak mengisi koleksi
buku-buku keluarga Indonesia.
Dari sisi metaforis,
Ivan nampaknya berhasil menemukan cara ungkap yang manis. Sekilas
puisi-puisinya agak rumit namun menantang untuk selalu mendalami lebih jauh
sumur imajinasinya. Beberapa puisinya yang bergaya prosaik merupakan salah satu keberanian tersendiri
menantang arus puisi pada umumnya. Cinta, sketsa sosial dan aroma kampung
halaman menjadi kekuatan tematiknya yang dibungkus dalam diksi-diksi tak
terduga.
Buku kumpulan sajak
tujuh penulis dari Bulukumba “Kota Seribu Penyair” ini juga berupaya
memperlihatkan kepada pembacanya bagaimana hubungan-hubungan antar manusia itu
bertumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga.
Gambaran jelasnya dapat
ditemui pada beberapa puisi yang sengaja ditulis buat sesama anggota keluarga
lainnya. Semisal Fatimah dalam “Sekerat Sajak Ulangtahun” buat Papi Asmar
(Abdul Samad Rauf), Sri Ulfanita dalam “Sepotong Puisi Untuk Penjaga Mawar”
buat Kak Ivan Kavalera, dan Ivan Kavalera sendiri dalam “Chaca Kembali Ultah”
buat Nurlaisa Kamislisyai.
Terlepas dari tipografi
seluruh puisi yang cukup aneh-sengaja badan puisi dibentuk seragam-akan
terpampang betapa makna-makna selalu berjalan berdampingan dengan misterinya,
hubungan harmonis yang timbal balik dalam sebuah keluarga, cinta dan kehidupan
yang ajaib. Partikel-partikel penting itu telah tertanam dalam-dalam di Rumah
Putih. Kita bisa menjenguk semua itu melalui buku ini, antologi puisi terunik
di dunia. (*)
Penulis: Muhammad Aldy
Jabir, adalah seorang pelajar dan penikmat kerja-kerja seni, bermukim di Maros
Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar