Kamis, 18 April 2013

Ketika Sulsel Hilang dalam Sejarah Pers Nasional




Adalah fakta sejarah, ketika Manai Sophiaan, kelahiran Takalar yang menerbitkan Surat Kabar “Soeara Indonesia” di Makassar (1945), kemudian tidak bebas dari tekanan pemerintah Belanda, sehingga Manai Sophiaan berlayar ke Pulau Jawa dengan menggunakan perahu Phinisi. Dia menuju Solo untuk menghadiri Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama, tanggal 9 Februari 1946 di Solo.
- Burhanuddin Amin -


------------------------



Ketika Sulsel Hilang Dalam Sejarah Pers Nasional


Oleh : Burhanudin Amin
(Wartawan Senior, Tinggal di Makassar)

Bagai mencari kutu ketika saya menyimak, membaca, dan mencari dalam beberapa literatur sejarah pers nasional, mengenai kisah “pers Sulsel” sejak zaman kolonial, pergerakan nasional, hingga era Kemerdekaan RI, ternyata kosong belaka.

Ikhwal pers Sulsel sebagai pers pejuang dan pejuang pers dalam era pergerakan nasional dan era pembangunan nasional, saya tidak temukan dalam berbagai literature tersebut.

Begitu juga pada daftar para tokoh pers nasional, tiada seorangpun asal Sulsel yang tergores namanya dalam buku tersebut.

Terus terang, pekerjaan yang melelahkan dan menjenuhkan ketika “membelanjakan” waktu untuk membaca enam buku seharian, apalagi hasilnya mengecewakan. Namun berpantang putus asa, saya “Hijrah” ke media lain yang saya pandang lebih menggairahkan dan dapat memuaskan. Keadaan  inilah yang membuat saya “genit” dan sangat “bernafsu” lagi ketika mencari di internet tentang kisah pers Sulsel, namun juga tidak tampil. Lagi-lagi saya kecewa berat.

Berbeda dengan para tokoh pers asal Sumatera dan Jawa, seperti gembong pers di Medan, Padang, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, menjadi ulasan yang menarik dibaca pada beberapa buku dengan topik dan nada yang sama tentang perjalanan sejarah pers nasional.

Serambi tokoh pers bukan kelahiran Sulsel adalah pekerjaan gampang ditemukan dalam berbagai litelatur. Dikiaskan, tak usah mencari jarum dalam onggokan jerami, melainkan di punggung onggokan jerami bertabur jarum yang tak bermerek Sulsel.

Keindonesiaan


Adalah fakta sejarah, ketika Manai Sophiaan, kelahiran Takalar yang menerbitkan Surat Kabar “Soeara Indonesia” di Makassar (1945), kemudian tidak bebas dari tekanan pemerintah Belanda, sehingga Manai Sophiaan berlayar ke Pulau Jawa dengan menggunakan perahu Phinisi. Dia menuju Solo untuk menghadiri Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama, tanggal 9 Februari 1946 di Solo.

Kehadirannya di arena Kongres PWI  di Solo, memberi makna keindonesiaan. Sebabnya adalah, peserta kongres pada umumnya wartawan asal Jawa dan Sumatera, tiada wartawan dari Indonesia Bagian Timur. Kehadiran Manai Sophiaan itulah sebagai refresentasi dari Indonesia bagian Timur. Hal inilah mengkondisikan peserta kongres dari seluruh Nusantara, Indonesia.

Pers Sulawesi Selatan


Pemerintah Belanda berkepentingan membangun opini dan berkomunikasi dengan rakyat Sulawesi Selatan. Terkait hal itulah, pemerintah Belanda mendirikan percetakan, yang terletak di jalan Jendral Ahmad Yani No 15 Makassar sekarang ini.

Tempo Doeloe, percetakan ini bermerek Manokwari, kemudian berubah nama menjadi percetakan Bakti Baru. Percetakan Belanda ini yang menerbitkan suratkabar “Oost Indonesie Bode” kemudian berganti nama “Makassarse Courant”.

Dalam era pergolakan terbit Harian “Berita Baroe” yang dipimpin JA Sasabone. Peninggalan sejarah surat kabar ini, berupa satu unit percetakan, kini mengisi museum pers di Solo.

Dalam era kemerdekaan, terbit suratkabar Pedoman Rakyat, Marhaen, Tinjauan, BARA, Sulawesi Bergolak dsb. Tumbal kemerdekaan pers yang diperjuangkan membuat beberapa wartawan dijebloskan ke penjara, antara lain Aminullah Lewa dari Harian Sulawesi Bergolak.

Andi Abdul Muis yang memimpin Harian Tinjauan, juga dijebloskan ke penjara. Begitu juga, dalam era pemerintahan Soeharto, banyak wartawan dijebloskan ke penjara. Di antaranya, Syamsuddin DL dari Harian Tegas, M Syahrir Makkuradde, Anwar Ibrahim, dan Burhanudin Amin dari Indonesia Pos.

Bukan salah bunda mengandung


Tenggelamnya kisah perjalanan panjang pers di Sulawesi Selatan dalam sejumlah literatur yang bertopik “Sejarah Pers Nasional”, bukan salah bunda mengandung. Hal ini disebabkan tiada literatur yang diterbitkan para pelaku sejarah pers di Sulawesi Selatan, baik sebagai pers pejuang maupun sebagai pejuang pers.

Kosongnya buku sejarah pers Sulsel menyebabkan tiadanya informasi yang monumental sebagai referensi dalam cakrawala pengetahuan sejarah tentang pers Nasional. Padahal, menjadi fakta sejarah, banyak wartawan Sulsel yang terlibat langsung dalam mendukung pergolakan fisik melawan penjajahan Belanda. Jasa perjuangan mereka, mendapat anugerah bintang Mahaputera dari pemerintah.

Banyak wartawan Sulsel yang terlibat langsung dalam operasi “Kilat”, sebagai wartawan militer dalam pemadaman pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Seorang pemimpin Surat kabar menjadi Walikota Makassar, seorang pemimpin Koran mingguan menjadi Bupati Bone. Semua fakta ini dihilangkan dalam sejarah Pers Nasional.

Berdasarkan ikhwal itulah, maka saya mencoba menyusun buku yang berjudul “Sejarah Pers Sulawesi Selatan”, yang diharapkan melengkapi referensi tentang sejarah pers nasional, agar bobot Sulawesi Selatan tidak hilang dalam perjalanan sejarah pers nasional.

Buku ini direncanakan diluncurkan pada peringatan HUT ke 45 SKU Indonesia Pos, kemudian disebarkan di Jakarta dan sebagainya.

@copyright SKU "Indonesia Pos", Makassar, Edisi 01-25 April 2013, No. 984 -985/Tahun ke-44

[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan Anda di blog "Pedoman Rakyat"]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar