Jumat, 09 September 2011
Indonesia Tak Butuh Kalender Hijriah
Pemerintah Indonesia tidak butuh Kalender Hijriah, karena kalender Hijriah dibuat berdasarkan hisab (perhitungan matematis), sedangkan pemerintah Indonesia bersama sejumlah Ormas Islam di negara kita, tidak memercayai cara hisab dan lebih memilih cara rukyat (melihat bulan), terutama dalam menentukan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah (berkaitan dengan Hari Raya Idul Adha).
Indonesia Tak Butuh Kalender Hijriah
Oleh: Asnawin
(Pemerhati Masalah-masalah Sosial)
Momentum Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah telah berlalu. Masakan khas Hari Lebaran kini sudah langka. Arus balik pun telah melewati puncaknya. Sekarang kita kembali melakukan aktivitas berkantor, bekerja, dan berumah-tangga secara normal seperti sebelum Ramadhan.
Meskipun demikian, tak ada salahnya kalau kita kembali membahas masalah cara penetapan dan terjadinya perbedaan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah di Indonesia.
Kita semua tahu bahwa keputusan pemerintah Indonesia menetapkan hari Rabu, 31 Agustus 2011, sebagai Hari Lebaran Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah, berbeda dibandingkan keputusan pemerintah Arab Saudi dan sebagian besar negara Islam, Rusia dan sejumlah negara Eropa, Malaysia dan beberapa negara ASEAN, serta sejumlah negara lain, yang menetapkan 1 Syawal 1432 Hijriah jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011.
Keputusan pemerintah Indonesia itu juga berbeda dibandingkan keputusan Muhammadiyah-ormas Islam terbesar di Indonesia-yang jauh hari sebelumnya sudah menetapkan Selasa, 30 Agustus 2011 sebagai Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah.
Maka sebagian besar umat Islam se-dunia (termasuk Duta Besar Indonesia dan masyarakat Indonesia di berbagai negara) dan sebagian umat Islam di Indonesia telah berlebaran pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, sedangkan pemerintah Indonesia-yang diikuti sebagian umat Islam di Indonesia-secara resmi barulah melaksanakan Hari Raya Idul Fitri keesokan harinya.
Dampak dari perbedaan Hari Raya Idul Fitri itu cukup dahsyat, antara lain umat Islam di Indonesia “terpecah” menjadi minimal dua kelompok besar, yakni kelompok yang meyakini dan atau mengikuti keputusan Muhammadiyah, serta kelompok yang meyakini dan atau mengikuti keputusan pemerintah Indonesia.
Selain kedua kelompok besar itu, masih ada beberapa kelompok kecil yang juga punya pengikut, tetapi karena jumlahnya tidak terlalu besar, sehingga meskipun Hari Raya Idul Fitri-nya berbeda dibandingkan keputusan pemerintah, maka dampaknya juga tidak terlalu besar.
Perpecahan atau perbedaan pendapat dan keyakinan mengenai 1 Syawal 1432 Hijriah juga banyak terjadi di dalam rumah tangga, termasuk antara suami dan isteri, serta antara orangtua dan anak-anak mereka. Ada suami yang berlebaran pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, sedangkan isterinya berlebaran sehari kemudian. Begitu juga sebaliknya.
Meskipun pemerintah dan berbagai pihak mengimbau agar perbedaan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah tidak perlu diperdebatkan apalagi dipersoalkan, “perpecahan” atau perdebatan keras tentu tidak bisa dihindarkan.
Dampak lain, banyak ibu rumah tangga yang telah memasak semur ayam, opor ayam, ketupat, burasak, legesek, dan berbagai masakan untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri, pada hari Senin, 29 Agustus 2011.
Akibatnya, masakan tersebut terpaksa disantap saat makan sahur malam ke-30 Ramadhan dan saat berbuka puasa hari terakhir Ramadhan. Kalau tidak disantap, maka masakan tersebut hampir bisa dipastikan akan basi jika disimpan hingga hari Rabu atau hingga dua hari kemudian.
Sebagian besar umat Islam juga terpaksa tidak lagi melaksanakan salat tarwih pada malam ke-30 Ramadhan, karena menunggu hasil keputusan Sidang Itsbat yang dilaksanakan oleh pemerintah mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB.
Lomba kendaraan hias malam takbiran dan lomba kreasi malam takbiran antar-masjid yang sedianya dilangsungkan pada Senin malam, 29 Agustus 2011 oleh beberapa pemerintah kabutan / kota, juga terpaksa ditunda sehari.
Di luar negeri, Duta Besar RI untuk Switzerland dan Liechtenstein, H Djoko Susilo, mengatakan dirinya kesulitan menjawab pertanyaan dari para koleganya, Duta Besar negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
“Sekarang kita ditertawakan dunia. Saya susah sekali menjawab pertanyaan teman-teman sejawat Dubes negara-negara OKI. Kita kok nyeleneh sendiri (melaksanakan Idul Fitri pada hari Rabu, ed.),” ujar Djoko, seperti diberitakan www.voa-islam.com.
Untuk memuaskan si penanya, Djoko mengatakan bahwa penentuan tanggal 1 Syawal itu untuk Indonesia. Adapun masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri diminta taat dan patuh pada keputusan Islamic Center setempat. Djoko khawatir banyak pihak di Indonesia yang terjebak pada pendekatan kuno di masa lalu. Sementara di Eropa, masyarakat umumnya percaya pada kemampuan teknologi.
Itulah beberapa dampak dari perbedaan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah, terutama kalau penentuan hari raya itu baru dilakukan pada malam ke-30 Ramadhan.
Ironisnya, kalender Masehi 2011 yang dibuat pada 2010, telah memberi warna merah (hari libur nasional) tanggal 30-31 Agustus 2011 sebagai Hari Raya Idul Fitri Tahun 1432 Hijriah. Artinya, pemerintah telah menetapkan dan memberi pegangan kepada masyarakat Indonesia bahwa Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah, jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011.
Hisab dan Rukyat
Lalu mengapa penetapan Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriah yang juga merupakan Hari Libur Nasional itu tidak diikuti oleh Pemerintah Indonesia, padahal pemerintahlah yang memutuskan hari libur nasional? Jawabnya, karena pemerintah Indonesia tidak konsisten dengan keputusan yang telah mereka ambil.
Belajar dari peristiwa ini dan agar bisa dikatakan konsisten, maka pemerintah Indonesia sebaiknya tidak perlu memberi warna merah atau menetapkan hari libur nasional khusus untuk Hari Raya Idul Fitri, karena penetapannya baru akan dilakukan pada setiap malam ke-30 Ramadhan setelah dilakukan rukyat (melihat bulan) dan setelah dilakukan Sidang Itsbat.
Pemerintah Indonesia juga tidak butuh Kalender Hijriah, karena kalender Hijriah dibuat berdasarkan hisab (perhitungan matematis), sedangkan pemerintah Indonesia bersama sejumlah Ormas Islam di negara kita, tidak memercayai cara hisab dan lebih memilih cara rukyat (melihat bulan), terutama dalam menentukan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah (berkaitan dengan Hari Raya Idul Adha).
Dalam berbagai diskusi, pemerintah Indonesia juga kerap dituding tidak konsisten karena menyetujui cara hisab (perhitungan matematis) dalam penentuan jadwal salat wajib (lima kali sehari semalam), tetapi menolak cara hisab dalam penentuan awal Ramadhan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah.
Cara rukyat dipilih oleh pemerintah Indonesia dan sejumlah Ormas Islam karena mereka mengacu kepada hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi; “Berpuasalah kalian karena melihatnya (melihat bulan) dan berbukalah (berlebaranlah) kalian karena melihatnya. Kalau (bulan) tertutup awan, maka sempurnakanlah (30 hari Ramadhan).”
Di sinilah perbedaan antara cara rukyat (melihat bulan) dengan cara hisab (perhitungan matematis). Dengan cara atau metode rukyat, maka meskipun sesungguhnya secara matematis sudah masuk tanggal 1 bulan Syawal, tim rukyat yang dibentuk pemerintah tidak akan mengakuinya selama mereka belum melihat bulan.
Sebaliknya, dengan cara atau metode hisab, awal bulan Hijriah sudah bisa dipastikan jauh hari sebelumnya, karena perhitungannya menggunakan ilmu pasti, meskipun bulan tertutup awan tebal, mendung, dan atau bulan masih berada di bawah dua derajat.
Cara hisab sesungguhnya lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan. Cara hisab juga mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan cara rukyat.
Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO (Organisasi Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Islam) tahun 2008, telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Semoga pemerintah dan kita semua bisa mengambil pelajaran dari perbedaan hari lebaran Idul Fitri tahun ini, sehingga tahun 2012 mendatang tidak lagi berbeda dan tidak ada lagi dampak seperti telah diuraikan di atas. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah. Mohon maaf lahir batin.
keterangan:
— Artikel opini ini dimuat di halaman 4, harian FAJAR, Makassar, Rabu, 7 September 2011.
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan anda di blog: http://pedomanrakyat.blogspot.com/]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saudaraku untuk urusan ibadah sudah sempurna dari allah melalui rasulnya nabi muhamad saw. dalam panduan hisab dan rukyat ada hadist nya. demi jelasnya tolong baca rotasi bulan blogspot.com bakrisyam
BalasHapus