Kamis, 13 November 2008

Pemilu dan Pilkada Bukan Pesta

Pemilu dan Pilkada Bukan Pesta

Selama ini masyarakat Indonesia selalu ”dininabobokkan” dengan kalimat bahwa Pemilihan Umum (Pemilu), termasuk juga Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah pesta.
Sebutannya pun beragam. Ada yang menyebutnya pesta rakyat, ada yang mengatakan pesta demokrasi. Tetapi benarkah Pemilu, Pilpres, dan Pilkada adalah pesta? Kalau iya, lalu siapa yang berpesta? Apakah rakyat, pemerintah, atau para kandidat (presiden, gubernur, walikota, bupati)?
Jawabnya tentu juga beragam, tetapi pakar politik Prof Indria Samego dan Ketua KPU Sulsel Dr Jayadi Nas, tidak setuju dengan istilah Pemilu adalah pesta.
Keduanya secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap istilah atau kalimat Pemilu adalah pesta, saat tampil bersama pada acara Temu Pakar/Dialog Publik Peran Media dalam Peningkatan Partisipasi Masyarakat pada Pemilu dan Pilkada, di Hotel Horison Makassar, Rabu (21/10/2008).
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Publik Depkominfo bekerja sama Badan Informasi, Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Provinsi Sulsel dan dipandu oleh Johansyah Mansyur dari BIK-PDE Provinsi Sulsel itu, juga tampil Dr AM Iqbal Sultan MSi (pakar ilmu komunikasi dari Universitas Hasanuddin Makassar) sebagai pembicara.
”Saya tidak setuju dengan istilah pesta, karena pesta itu hanya sekali lalu setelah kita lupakan,” kata Indria Samego, Profesor Riset Bidang Perbandingan Politik dan Pemikiran Pembangunan LIPI.
Menurutnya, pesta itu istilah yang dimunculkan oleh pemerintah Orde Baru untuk mendorong atau memotivasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya.
Belakangan, karena rakyat semakin cerdas, maka partisipasi mereka dalam Pemilu semakin menurun, sehingga jumlah rakyat yang tidak menggunakan hak pilihnya alias Golongan Putih (Golput) semakin bertambah. Tak heran kalau kemudian Golput sering menjadi pemenang Pilkada.
Itu terjadi karena rakyat semakin menyadari bahwa mereka hanya dijadikan penonton dan pemberi suara dalam setiap pemilihan umum. Setelah hasil pemilu diperoleh, kekuasaan dan penyelenggaraan Negara kembali diserahkan kepada para elite, baik di legislatif maupun eksekutif.
”Saya juga tidak setuju dengan istilah Pemilu adalah pesta,” tandas Ketua Komisi Pemilihan Umum Sulsel, Jayadi Nas.
Dosen Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik Unhas itu punya usul tersendiri, yakni Pemilu adalah instrumen untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Tentang banyak rakyat yang Golput dalam Pemilu, Jayadi mengatakan itu terjadi karena sebenarnya rakyat menginginkan Pemilu sukses dan tidak ada orang yang menginginkan Pemilu gagal.
”Saya yakin ke depan tingkat partisipasi masyarakat pada Pemilu makin tinggi,” tegasnya.



Menyinggung hal Pemilu 2004, hasil Pilpres 2004, serta hasil-hasil Pilkada di sejumlah daerah dalam beberapa tahun terakhir, Indria Samego mengatakan, sulitnya menduga-duga hasil Pemilu, Pilpres, dan Pilkada karena terjadinya anomali (ketidaknormalan) dan banyaknya pemilih yang irrasional, merupakan harga dari sebuah pemilihan umum.
”Rakyat yang berdaulat telah menentukan suaranya secara luber dan jurdil.,” katanya.
Persoalannya tinggal, apakah hak politik tersebut didukung oleh pertimbangan rasional pemilih, dan komitmen pihak terpilih terhadap rakyatnya atau tidak.
Bila ia, berarti indikasi yang baik bagi masa depan konsolidasi demokrasi kita. Bila sebaliknya, mau apa lagi, masa transisi politik menuju konsolidasi demokrasi memang harus diperpanjang lagi.
Demokrasi memang sebuah proses politik yang berpretensi menghargai suara rakyat. Siapa pun dia, apa pun latar belakang politiknya, semuanya harus diberi tempat dan diperlakukan secara adil.
Voxpopuli vox del (Suara Rakyat Suara Tuhan) telah menjadi dasar bagi pentingnya prinsip keadilan dalam membangun demokrasi. Apalagi buat Indonesia yang untuk sekian lama mereduksi demokrasinya hanya kepada para elite, terutama di MPR, tibalah saatnya kini untuk sungguh-sungguh menguji kedaulatan rakyat dengan menyerahkannya secara langsung kepada pemiliknya, yakni seluruh rakyat Indonesia yang telah memiliki hak politik.
”Oleh karena itu pula kita bertekad, bahwa sejak era reformasi politik diterapkan, tidak ada lagi pelarangan pembentukan partai politik dan hak partai politik untuk memperoleh dukungan,” kata Indria.
Sistem demokrasi terbatas sebagaimana berlaku di masa Orde Baru, dianggap bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, yang mengatur tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, serta menyatakan pendapat.
Pemilihan Umumpun dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dasar yang menghargai kesetaraan, yakni “satu orang, satu suara dan satu nilai (One Person, one vote, one value —OPOVOV). Sebagai konsekuensinya, setiap pemilu harus berlangsung secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber)’ serta ‘jujur dan adil (Jurdil).
”Dengan menganut prinsip demokrasi dan pemilu seperti itu, secara hipotetis dan teoritis, iklim kepolitikan Indonesia akan berjalan semakin baik. Lewat cara-cara yang demokratis tersebut, semua warga negara memperoleh kesempatan yang sama, baik untuk memilih maupun dipilih,” ujarnya. win-- copyright@Tabloid Demos, Makassar, Minggu III-IV September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar