Objek-objek Wisata di Bulukumba
Selain Pantai Pasir Putih Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba juga memiliki sejumlah objek wisata, antara lain Tempat Pembuatan Perahu Phinisi (di Tana Beru, Kecamatan Bontobahari), Makam Dato Tiro (di Hila-hila, Kecamatan Bontotiro), Kawasan Adat Amma Toa (di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang), serta Areal Perkebunan Karet (di Tanete, Kecamatan Bulukumpa dan di Pallangisang, Kecamatan Rilau Ale).
Pembuatan Perahu Phinisi
Salah satu yang diingat orang tentang Bulukumba yaitu perahu tradisional Phinisi. Tak heran kalau banyak duplikat perahu Phinisi dalam berbagai ukuran yang sering dijadikan suvenir.
Keahlian orang Bulukumba, khususnya yang berasal dari Desa Ara, Kecamatan Bontobahari, dalam membuat perahu Phinisi didapatkan secara turun-temurun.
Tempat pembuatan perahu Phinisi terletak di pesisir pantai Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, sekitar 24 km dari ibukota Bulukumba. Perahu-perahu tersebut dibuat tepat di bibir pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa dan beberapa jenis pohon lainnya.
Jika berkunjung kesana pada siang hari, maka anda pasti akan menyaksikan kesibukan para pekerja dalam menyelesaikan berbagai bentuk dan model Perahu Phinisi.
Perahu Phinisi bukan hanya digemari oleh para pengusaha di Bulukumba, melainkan juga pengusaha dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan tak jarang pesanan datang dari luar negeri.
Beberapa pemesan bahkan rela mengutus orangnya atau datang langsung dan menetap selama beberapa hari di Bulukumba hanya untuk menyaksikan proses pembuatan perahu Phinisi.
Setiap pembuatan perahu ditandai dengan upacara ritual khusus. Proses pembuatannya memadukan keterampilan teknis dan kekuatan magis. Setiap bagian kapal konon sarat dengan falsafah.
Perahu Phinisi sudah terkenal sejak lama, namun menjadi lebih terkenal lagi ketika awal tahun 90-an, Perahu Phinisi Nusantara mengarungi Samudra Pasifik sampai ke Vancouver Kanada.
Juga ketika Perahu Phinisi Ammanagappa berlayar sampai ke Madagaskar, serta Perahu Phinisi Hati Marege dan Damar Sagara yang masing-masing berlayar ke Australia dan Negeri Sakura Jepang.
Makam Dato Tiro
Dato Tiro adalah orang yang disebut-sebut sebagai salah seorang pembawa agama Islam ke Sulawesi Selatan. Dato Tiro kemudian wafat dan dimakamkan di Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba.
Konon, agama Islam dibawa ke Sulawesi Selatan oleh tiga ulama (wali) dari Sumatera, yakni Dato Tiro yang menyebarkan agama Islam di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, dan Bantaeng (1596 Masehi), Dato Ribandang (di Makassar dan sekitarnya), serta Dato Patimang (di Luwu dan sekitarnya).
Cerita tentang kesaktian Dato Tiro masih sangat kuat di tengah masyarakat setempat. Konon Dato Tiro selalu membawa tongkat dan dengan tongkat itulah ia membuat sumur panjang yang airnya sangat jernih dan terletak tak jauh dari makamnya.
Makamnya terletak di Kampung Hilla-hila, Kelurahan Eka Tiro, Kecamatan Bontotiro, yang berjarak sekitar 34 km dari ibu kota Kabupaten Bulukumba.
Kawasan Adat Amma Toa
Kawasan Adat Amma Toa memiliki keunikan sehingga selalu menarik untuk dikunjungi, baik untuk sekadar berwisata, maupun untuk kepentingan penelitian.
Kawasan tersebut terletak di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang yang berjarak sekitar 55 km dari ibukota Bulukumba.
Masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut masih memegang teguh adat istiadat dan pesan-pesan leluhur yang disebut "Pasanga ri Kajang".
Keaslian adat dan alamnya masih terjaga. Masyarakatnya sangat patuh pada peraturan adat dengan pola hidup yang bersahaja dan senantiasa mengenakan pakaian serba hitam.
Bangunan tempat tinggalnya pun seragam dan menghadap ke utara. Pengunjung yang masuk ke kawasan ini diharuskan berjalan kaki.
Kawasan adat ini dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang bergelar Amma Toa. Sebagai pemimpin adat spiritual, ia dianggap sebagai ”orang suci” dan kepemimpinannya berlaku seumur hidup. Amma Toa hanya diganti bila ia telah meninggal dunia dan proses penggantiannya pun bukan dengan cara pemilihan, melainkan melalui proses ritual.
Masyarakatnya sangat menjaga kelestarian hutan. Bagi mereka, merusak hutan merupakan pantangan yang telah dipatuhi secara turun-temurun. Jika ada yang melanggar pantangan tersebut dan merusak hutan, maka ia akan dikenakan sanksi yang diputuskan melalui musyawarah adat yaitu Adat Lima Karaeng Tallu.
Kalau ada kunjungan khusus dari pejabat atau rombongan tamu khusus, masyarakat setempat biasanya mengadakan upacara penyambutan. (asnawin) – Tabloid Demos, edisi Minggu III-IV September 2008
trims juga atas info dan ajakannya.....
BalasHapus