Kamis, 13 November 2008
Banyak Media yang Responsif Gender
keterangan gambar: Asnawin
Banyak Media yang Responsif Gender
Media massa sesungguhnya banyak yang sangat responsif gender. Itu dibuktikan dengan banyaknya acara atau rubrik yang mengekspos keterampilan dan kepiawaian perempuan, antara lain perempuan yang terampil memasak, perempuan ustadza, perempuan yang hebat sebagai politisi, perempuan yang aktivis, dan perempuan yang sukses menjadi pejabat publik.
Selain itu, perempuan juga sejak dulu banyak yang tampil dengan gagasan dan tulisan yang cemerlang. Mereka melawan kekuasaan laki-laki dengan berbicara.
Itulah yang dilakukan perempuan pengarang novel populer era 1970-an. Mereka bukan lagi "subjek dari pernyataan", melainkan menjadi "subjek yang berbicara."
Sebut saja Ike Soepomo, Mira W, Titie Said, La Rose, Marga T, serta sederet nama lainnya.
”Mereka mencoba bersikap dinamis dan mengembangkan idealisme sebagai perempuan bebas dan mandiri,” kata Direktur Perpustakaan Pers PWI Sulsel, Asnawin.
Hal tersebut diungkapkan saat tampil membawakan materi pada Pelatihan Jurnalisme Perempuan yang diadakan oleh Kementrian Pemberdayaan Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) bekerja sama Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Makassar.
Novelis tahun 60-an, Nh. Dini, pernah mengakui gairah menulis itu menyeruak karena suatu alasan. Bila dulu menulis cuma energi laten, kini mereka menemukan "pelataran aspirasi", yang tersedia seiring munculnya majalah-majalah wanita, seperti Femina, Kartini, Famili, dan Sarinah.
Para pengarang novel pop itu mulai belajar mengarang dalam rubrik cerpen di majalah perempuan yang tengah tumbuh subur.
Tak cuma mengekspresikan gaya hidup, majalah-majalah itu memang telah mencetak para penulis wanita. Disadari atau tidak, mereka mencoba merebut kekuasaan sekaligus menolak untuk dikuasai. Para perempuan novelis itu memecah "kebisuan teks" dengan berbicara dan menulis.
”Mungkin mereka terinspirasi keampuhan medium epistolaire alias surat-menyurat RA Kartini. Sampai sekarang juga masih banyak perempuan yang sering tampil dengan tulisan-tulisan dan gagasan-gagasannya di media massa,” kata Asnawin.
Perempuan Indonesia di era reformasi ini, sungguh telah memperoleh ruang yang begitu besar dan luas. Perempuan kini bisa memilih dan melakukan apa saja. Perempuan bisa memilih menjadi ibu rumah tangga, bisa memilih menjadi wanita karier, sastrawan, politisi, artis, dan berbagai macam profesi lainnya.
Dengan pilihannya tersebut, perempuan kini dapat membuat dirinya dilihat dan “dinikmati” semua orang, dielu-elukan, dihormati, atau dicaci-maki.
Sebagian perempuan memilih menjadi bagian dari yang tidak terpisahkan dari media massa dan industri hiburan.
Ada yang menjadi artis sinetron, ada yang menjadi model dan pragawati, ada yang menjadi Putri Indonesia, ada yang menjadi penyanyi, dan ada yang menjadi bintang iklan.
Sayangnya, kata Asnawin, sebagian dari mereka lebih sering dijadikan atau digambarkan dalam bentuk komoditas atau pelaris produk atau pun pendongkrak penjualan produksi barang-barang tertentu.
Tidak lengkap dan menarik suatu acara, berita, atau pun iklan tanpa menampilkan daya tarik perempuan. Ironisnya, banyak iklan yang sangat tidak mendidik dan sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara produk yang diiklankan dengan perempuan yang ditampilkan.
Apa hubungan antara mie pedas dengan pinggul seorang perempuan, apa pula hubungan antara handphone mungil dengan lekuk tubuh perempuan, dan apa hubungan minuman dengan getaran dada Ratu Gergaji dan goyangan pantat Ratu ngebor, kalau tidak untuk mengeksposenya sebagai komoditas iklan murahan.
Perkembangan perekonomian menjadikan perempuan sebagai ujung tombak promosi, pemanis cover majalah, penarik pembeli pastagigi, deodorant, minuman, makanan, kompor, alat elektronik, mobil, rokok, rumah bahkan traktor pun menggunakan perempuan sebagai daya tarik jual.
Ada perempuan mengkomersilkan traktor berpose dengan pusar dan payudara setengah kelihatan, paha pun demikian. Ketika mengendarai mobil ia tidak tahu menjalankannya dan mogok. Dengan bermodal kaki, paha yang setengah terbuka sambil membusungkan dada yang menantang, maka serombongan laki-laki beramai-ramai membantunya.
Film dan sinetron juga selalu menampilkan perempuan yang cantik dan seksi, serta tak jarang mengumbar kemolekan dan keindahan tubuh mereka.
”Mengapa media massa menampilkan iklan dan sinetron yang mengekspos kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan?” tanya Asnawin.
Menurut dia, itu terjadi karena media massa antara lain memang memiliki fungsi menghibur. Selain itu, media massa kini telah menjelma menjadi industri yang berorientasi kepada keuntungan finansial.
”Sayangnya, sebagian media massa kerap melanggar fungsinya yang lain yakni mendidik. Selain menghibur dan mendidik, media massa juga berfungsi memberikan informasi (yang benar) dan berfungsi melakukan kontrol sosial,” katanya. (asnawin) – Tabloid Demos, edisi Minggu III-IV September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar