Kamis, 24 Juli 2008
Parpol dan Politisi Tidak Membina Budaya
MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Partai politik yang lolos menjadi peserta Pemilu 2009 (34 parpol) pada umumnya tidak jelas identitasnya. Ada beberapa parpol yang hampir sama saja idenya. Pertanyaannya, apa sesungguhnya yang ingin dicari, ingin diterapkan, dan ingin dibangun.
“Jawaban paling simpel adalah mereka semata-mata mencari kekuasaan dan jabatan,” kata antropolog dari Universitas Hasanuddin, Prof Dr H Abu Hamid, dalam bincang-bincang dengan “Demos” di Makassar, belum lama ini.
Parpol dan para politisi seharusnya membina budaya, mempertahankan nilai-nilai kebudayaan, mengembangkan kebudayaan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, parpol dan politisi tidak membina budaya. Budaya yang tumbuh di tengah masyarakat adalah budaya ingin menggapai kekuasaan dan ingin mencari jabatan.
“Kebudayaan merasakan diri dikendarai saja oleh kekuasaan. Seharusnya kekuasaan harus mengambil alih nilai-nilai budaya dalam menjalankan kekuasaan dan parpol,” tutur Abu Hamid yang kini menjabat Rektor Universitas 45 Makassar.
Dengan tidak dibina dan tidak dikembangkannya kebudayaan, lanjutnya, generasi muda pun ikut terpancing memburu kekuasaan semata-mata. Generasi muda tidak lagi merasakan tebalnya nasionalisme dalam diri mereka, karena kekuasaan tidak lagi berupaya memantapkan nasionalisme dalam diri generasi muda.
“Pada akhirnya, masyarakat yang semakin cerdas merasa jenuh melihat kekuasaan yang berjalan sekarang, bahkan mungkin pada suatu waktu nanti rakyat tidak lagi mempercayai kekuasaan, apalagi parpol dan politisi yang jumlahnya sangat banyak,” paparnya.
Penulis buku “Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang” itu mengatakan, masyarakat kini semakin cerdas, karena jumlah sarjana, magister, dan doktor terus bertambah.
Sebaliknya, kata pria kelahiran Sinjai 3 Maret 1934, para calon penguasa dan para calon legislator (caleg) yang muncul dewasa ini tidak jelas dari mana asalnya dan apa prestasinya.
“Tiba-tiba mereka muncul. Tiba-tiba mereka tampil dengan baliho besar-besar. Tetapi tidak jelas apa prestasinya, sehingga masyarakat yang semakin cerdas akhirnya tidak lagi mempercayai para calon penguasa dan calon legislator,” sebut penulis 19 judul buku itu.
Seharusnya, kata Abu Hamid, calon penguasa dan calon legislator adalah orang-orang yang berprestasi dan sudah melalui proses berjenjang. Dia kemudian mencontohkan calon presiden Amerika Serikat. Mereka, katanya, haruslah seorang senator atau pernah menjadi gubernur. Mereka juga umumnya sudah doktor (S3).
“Jadi calon presiden AS itu benar-benar sudah teruji kerja dan kemampuannya, begitu pula prestasinya,” tandasnya.
Sementara calon penguasa dan calon legislator di Indonesia umumnya tidak jelas latar belakang pendidikan dan prestasinya.
Dengan format Pilkada dan Pemilu sekarang ini, bisa saja hanya orang beruang atau preman yang punya uang yang jadi calon penguasa atau calon legislator. “Nanti setelah menjadi penguasa atau duduk sebagai anggota dewan baru mereka mempopulerkan diri,” urai Abu Hamid.
Zaken Grupen
Pada zaman dulu, ungkapnya, memang tidak ada partai politik, tetapi ada pengelompokan-pengelompokan semacam kelompok kerja (yang dalam bahasa Belanda disebut zaken grupen atau kelompok kerja) yang dibentuk oleh raja.
Orang-orang yang direkrut masuk dalam kelompok kerja itulah yang berfungsi sebagai wakil rakyat dan menjalanlan fungsi kerajaan. Kelompok kerja itu dibentuk untuk mempertahankan eksistensi kerajaan (negara).
“Orang-orang yang direkrut masuk dalam zaken grupen itu adalah tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, jadi mereka memang benar-benar refresentasi perwakilan rakyat,” ungkap Abu Hamid. (asnawin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar