Bagi para penulis dan jurnalis (wartawan), bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya. Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi pikiran, suasana hati, dan gejolak perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa jurnalistik dengan baik dan benar.
-----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 15 Mei 2008
Peranan
Bahasa Indonesia dalam Dunia Jurnalistik
Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan, dosen, penulis)
Bahasa Indonesia adalah
bahasa resmi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa
Indonesia, yang terdiri atas berbagai suku dan etnis dengan latar belakang
bahasa berbeda.
Bahasa jurnalistik
adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan
informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan
komunikatif (Tri Adi Sarwoko, 2007).
Selama ini masih banyak
orang yang menganggap bahasa jurnalistik sebagai perusak terbesar bahasa
Indonesia. Mereka menganggap bahasa jurnalistik sebagai bahasa lain yang tidak
pantas dilirik.
Anggapan itu ada
benarnya, karena wartawan memang kadang-kadang menggunakan bahasa atau
kata-kata pasaran yang melenceng dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Media massa jugalah
yang “memasarkan” kata-kata yang agak –maaf- kasar atau jorok kepada
masyarakat, sehingga masyarakat yang dulu terbiasa dengan bahasa yang agak
halus dan sopan (eufemisme), kini menjadi akrab dengan kata-kata kasar dan blak-blakan,
seperti sikat, bakar, bunuh, darah, bantai, rusuh, rusak, provokatif, perkosa,
penjara, pecat, jarah, serta obok-obok dan esek-esek.
Selain itu, media massa
juga kerap mengutip kata-kata yang salah, seperti bentuk kembar
sekedar-sekadar, cidera-cedera, film-filem, teve-tivi-TV. Ada media yang
memakai risiko, ada yang resiko. Ada yang memakai sekedar, ada yang sekadar.
Ada pula media massa
yang dengan tanpa dosa menuliskan kata ganti kita, padahal yang seharusnya
adalah kata kami.
Penghilangan imbuhan
dalam judul berita juga kerap salah, misalnya Amerika Bom Irak, padahal
semestinya Amerika Mengebom Irak, atau Tentara Israel Tembak Anak Palestina,
yang seharusnya Tentara Israel Menembak Anak Palestina.
Bagi para penulis dan
jurnalis (wartawan), bahasa adalah senjata, dan kata-kata adalah pelurunya.
Mereka tidak mungkin bisa memengaruhi pikiran, suasana hati, dan gejolak
perasaan pembaca, pendengar, atau pemirsanya, jika tidak menguasai bahasa
jurnalistik dengan baik dan benar.
Itulah sebabnya, para
penulis dan jurnalis harus dibekali penguasaan yang memadai atas kosakata,
pilihan kata, kalimat, paragraf, gaya bahasa, dan etika bahasa jurnalistik.
Seorang jurnalis tidak
boleh menggunakan senjata untuk membunuh orang, tetapi harus menggunakan
senjata itu untuk mencerdaskan dan memuliakan masyarakat, serta membela dan
menjunjung tinggi kehormatan negara dan bangsa (Dad Murniah, Harian Sinar
Harapan, 2007)
Kreativitas
dalam Berbahasa
Beberapa puluh tahun
lalu dan mungkin hingga kini, banyak sastrawan yang iri melihat adanya
kebebasan penggunaan bahasa dalam dunia jurnalistik atau di media massa,
sehingga tak heran kalau banyak sastrawan yang terjun menjadi wartawan.
Dunia jurnalistik dan
dunia sastra memang sama-sama menuntut kreativitas dalam berbahasa. Gorys
Kerap, salah seorang pakar bahasa, pernah mengatakan bahwa dalam bahasa
jurnalistik ada kemerdekaan pengungkapan seperti halnya bahasa sastra.
Kebebasan, kemerdekaan, dan kreativitas itulah yang membuat bahasa jurnalistik
masa kini lebih kaya warna dan gaya.
Bahasa jurnalistik
tidak lagi menjadi bahasa yang kering dan hanya bertugas menyampaikan
informasi, tetapi juga menyajikan bahasa yang enak dan indah.
Wartawan atau penulis
berita dituntut bukan cuma memilih kata yang tepat agar penyampaian berita
tepat sasaran, melainkan juga agar menimbulkan efek bunyi yang enak (eufoni).
Bahasa
Jurnalistik
Telah dikemukakan di
atas bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau
media massa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang
memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
Apa ciri khas atau
sifat bahasa jurnalistik itu? Rosihan Anwar, salah seorang wartawan senior,
mengatakan, bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas, yaitu singkat, padat,
sederhana, jelas, lugas, dan menarik.
Jus Badudu, pakar
bahasa, mengatakan, bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah dipahami,
teratur, dan efektif. Sederhana dan mudah dipahami artinya menggunakan kata dan
struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum.
Teratur artinya setiap
kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif artinya
tidak bertele-tele tetapi juga tidak terlalu berhemat yang dapat mengakibatkan
makna yang dikandung menjadi kabur.
Bahasa Indonesia yang
digunakan dalam dunia jurnalistik lebih mendekati bahasa sehari-hari, sedangkan
bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan buku sangat dijaga agar sesuai
benar dengan kaidah dan keresmian bahasa baku.
Sumbangan
Media Massa
Perlu diketahui dan
dipahami bahwa media massa bukan sekadar dunia informasi, melaihkan juga dunia
bahasa. Ketika seseorang berniat menerjuni profesi jurnalis atau wartawan, maka
sesungguhnya ia juga berniat menjadi seorang pejuang bahasa.
Seorang jurnalis atau
wartawan, setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat. Mereka juga dituntut
berkreasi dalam mengolah kata agar tulisannya tidak membuat jenuh pembaca. Tak
heran kalau kemudian sering dijumpai “kata-kata baru” di media cetak dan media
elektronik.
Kata heboh, Anda,
gengsi, dan santai, adalah sebagian kata yang disumbangkan media massa dalam
perkembangan bahasa Indonesia.
Kata heboh pertama kali
diperkenalkan dalam kosakata bahasa Indonesia dalam harian Abadi pada tahun
1953, oleh wartawan Mohammad Sjaaf. Kata Anda diperkenalkan oleh Sabirin,
seorang perwira TNI AU dan pertama kali dimuat pada harian Pedoman, tanggal 28
Februari 1957. Kata gengsi diperkenalkan oleh Rosihan Anwar pada tahun 1949.
Kata ulang
pemuda-pemudi dan saudara-saudari juga merupakan hasil kreativitas para
wartawan atau jurnalis.
Kongres Bahasa pertama
pada tahun 1938 di Solo, Jawa tengah, juga merupakan hasil gagasan dan
perjuangan dua wartawan muda ketika itu, yakni Soemanang dan Soedarjo
Tjokrosisworo.
Peranan
Bahasa Indonesia
Sebagai bahasa
pemersatu, bahasa Indonesia tentu saja sangat berperan dalam dunia jurnalistik.
Bayangkan kalau setiap media massa menggunakan bahasa daerah lengkap dialek
masing-masing.
Namun demikian, untuk
memperkaya khasanah bahasa dan untuk tetap menghidupkan bahasa daerah, banyak
media massa yang memuat rubrik tertentu dengan menggunakan bahasa daerah,
bahkan media massa televisi pun mulai membuat acara khusus dengan menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya.
Bahasa Indonesia juga
berperan menjembatani ketidaktahuan atau kekurang-pahaman masyarakat Indonesia
akan bahasa asing dalam media massa di Indonesia. Apa jadinya kalau kalau semua
berita, film, atau siaran dari mancanegara disajikan atau ditayangkan begitu
saja tanpa pengantar bahasa indonesia oleh media massa kepada masyarakat
Indonesia.
Sebagai tambahan,
kiranya perlu saya sampaikan di sini, bahwa bahasa jurnalistik adalah sebuah
laras bahasa, yaitu bahasa yang digunakan oleh kelompok profesi atau kegiatan
dalam bidang tertentu. Selain laras bahasa jurnalistik, juga ada laras bahasa
sastra, ekonomi, dan keagamaan.
Sebagai sebuah laras
bahasa yang tak dapat berdiri sendiri, bahasa jurnalistik harus bersandar pada
ragam bahasa, yakni ragam bahasa baku, karena hanya bahasa bakulah yang
pemakaiannya luas dan memiliki ciri kecendekiaan. Itulah sebabnya, bahasa
jurnalistik wajib memelihara bahasa Indonesia.
Ragam bahasa baku ingin
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang setara dengan bahasa
lain di dunia, sedangkan laras bahasa jurnalistik memerlukan pengungkapan diri
secara modern.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar