DIPUKUL. Wanita tua bernama Baji Binti Makkatau, kepada wartawan di Makassar, Jumat, 18 April 2014, memperlihatkan luka lebam akibat pukulan yang diduga dilakukan Sudirman Sijaya, dan anak buanya yang bernama Hery, di Kampung Bontotangnga, Kelurahan Bontotangnga, Kecamatan Tamalatea, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Ahad, 13 April 2014. (Foto: Muhammad Said Welikin)
--------------
Calon Legislator Pukul Nenek-nenek Hingga Terkencing-kencing
- Polres Jeneponto Tak Gubris Laporan Nenek
Hari Jumat, 18 April 2014, saya ditelepon Hasdar Sikki (Wapemred Tabloid Lintas, Makassar) untuk segera datang ke Terminal Malengkeri, Makassar. Mendengar kata "segera", saya langsung bertanya, namun dari balik telepon, rekan Hasdar Sikki mengatakan tidak perlu banyak bertanya, karena dunia ini semakin tidak bersahabat dengan orang miskin dan orang kecil.
"Ini ada seorang ibu tua yang harus dijujung tinggi martabatnya oleh siapa pun, namun kini diperlakukan tidak manusiawi,” kata Hasdar dari balik telepon.
Saya pun memutar motor metik hijau yang selalu dengan setia menemaniku setiap saat dalam mencari informasi untuk membuat berita.
Saat tiba di pelataran bagian belakang Terminal Malengkeri, saya standar motor kemudian menghampiri tempat duduk Hasdar Sikki. Mendadak seorang perempuan tua atau nenek memegang tanganku hendak mencium, namun dengan halus aku menarik tangan, kemudian mengatakan justru saya yang harus mencium tangan ibu, bahkan harus bersimpuh mencium telapak kaki ibu, karena dalam rahim semua ibu, Allah menitipkan makhluk ciptaan-Nya yang bernama manusia.
Sesaat kemudian nenek yang bernama Baji Binti Makkatau yang tinggal di Kampung Bontotangnga, Kelurahan Bontotangnga, Kecamatan Tamalatea, Kabupaten Jeneponto, dengan menahan tangis menceritakan kejadian yang dialaminya.
"Semuanya berawal dari uang Rp 100 ribu yang ditawarkan seorang caleg (calon legislator DPRD Jeneponto) yang bernama Sudirman Sijaya sebagai tambahan modal usaha untuk saya. Beberapa hari kemudian datang pak Hery, orangnya Sudirman dan langsung meminta kembali uang pemberiannya tersebut, tetapi saya hanya bisa bayar Rp 50 ribu, sedangkan sisanya saya janji kepada Hery akan bayar kalau ada rejeki," ungkap Baji.
Nenek tua tersebut mengisahkan kejadian memilukan yang menimpanya pada hari Minggu, 13 April 2014, di rumah Sudirman Sijaya, sekitar pukul 9.00 Wita.
"Saya dijemput oleh Hery untuk datang ke rumahnya Sudirman. Saat tiba di rumahnya, Sudirman memukul kepala saya, rambut saya dijambak sampai saya terkencing-kencing. Kemudian lengan saya dipukul hingga bengkak," kata Baji sambil memperlihatkan lengan kiri yang lebam dan membiru.
Atas kejadian yang menimpa dirinya, anak-anak dan keluarga Baji ingin membalas perbuatan Sudirman hari itu juga, namun kemarahan mereka bisa diredam oleh beberapa tokoh masyarakat, yang kemudian memberi nasehat agar sebaiknya permasalahan tersebut dilaporkan ke pihak berwajib atau tepatnya ke kantor polisi.
“Hari itu juga saya berangkat ke Polres Jeneponto untuk melapor. Laporan saya tercatat dengan nomor LP/B/157/IV/2014/SPKT. Kemudian oleh petugas saya disarankan untuk melakukan visum di Rumah Sakit Umum Jeneponto,” papar Baji.
Malam harinya sesudah shalat magrib, Hery datang ke rumah Baji dan memaksa nenek tua tersebut untuk melakukan cap jempol di atas selember kertas. Ketika itu kebetulan Baji sedang sendirian di rumahnya. Baji tidak bersedia memenuhi permintaan bernada perintah dari Hery, tetapi Hery mengancam bahwa Baji akan dijebloskan ke penjara kalau tidak mau melakukan cap jempol. Setelah mengancam, Hery kemudian menarik paksa tangan Baji dan memaksanya melakukan cap jempol.
Ketika saya menanyakan apakah nenek Baji dan keluarganya sudah mempertanyakan perkembangan pelaporannya karena polisi kita sekarang berbeda dengan polisi jaman dulu, yaitu polisi sekarang berkewajiban menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan atau SP2HP.
“Kami sudah ke kantor Polres Jeneponto menanyakan pada hari Selasa (15 April 2014), tetapi alangkah kagetnya kami, karena ternyata lembaran kertas yang dipaksa jempol oleh Hery itu merupakan surat perdamain. Aiptu Suhadi yang menerima kami mengatakan, angan lagi diurus kasus ini karena sudah ada surat damai yang dijempol oleh pelapor Baji,” ungkap Syamsuddin yang mengaku cucu dari Baji.
Setelah mendengar keluh kesah dari Baji dan Syamsuddin, saya selaku wartawan kemudian mencoba menghubungi nomor handphone 085255551201, yang tertera pada surat Tanda Bukti Laporan, nomor: TBL/157/IV/2014/SPKT.
Ketika nomor handphone tersebut saya hubungi, terdengar ada nada masuk, tetapi permintaan telepon saya tida diterima.
Saya kemudian mencoba mengkonfirmasi langsung kepada Kapolres Jeneponto, AKBP Sigit Waluya, yaitu pertama pada hari Sabtu (19 April 2014), namun Kapolres tidak ada di kantornya. Pintu pagar rumah jabatannya pun terkunci. Seorang ibu yang dijumpai di samping rumah jabatan Kapolres mengatakan pemilik rumah pergi ke Pantai Bira, Bulukumba.
Pada Hari Selasa, 22 April 2014, saya kembali mendatangi kantor Polres Jeneponto untuk melakukan konfirmasi, namun Kapolres AKBP Sigit Waluya, enggan ditemui.
Menurut petugas SIUM (Seksi Umum), ibu Sukawati, yang kelihatan tidak bersahabat dengan awak media, Kapolres menganjurkan untuk menemui Kasat Reskrim saja, padahal beberapa kali awak media minta tolong untuk menyampaikan kepada Kapolres bahwa kami sudah dua kali dari Makassar datang untuk melakukan konfirmasi masalah ini.
Permintaan saya tidak digubris. Sukawati pun meminta kopian surat tanda laporan dan pergi ke ruang kerja Kasat Reskrim. Setelah kembali, dengan enteng Sukawati mengatakan masalahnya bukan di bagian mereka, karena ternyata LP 157 itu pencurian, bukan penganiyaan, dan itu berarti macet di bagian SPK. (Muhammad Said Welikin)
----------------
[Terima kasih atas kunjungan, komentar, saran, dan kritikan Anda di blog "Pedoman Rakyat"]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar