Kamis, 04 Maret 2010
Mengenang Tiga Tahun Wafatnya Pedoman Rakyat
GEDUNG PEDOMAN RAKYAT. Tanggal 1 Maret adalah hari ulang tahun Harian Pedoman Rakyat, Makassar. Harian yang sempat berjaya selama beberapa dekade di Kota Makassar dan sekitarnya itu, tidak lagi terbit menemui pembacanya sejak 3 Oktober 2007. Meskipun demikian, sejumlah mantan wartawan dan karyawan harian Pedoman Rakyat tetap selalu merayakan ulang tahunnya dengan acara yang sangat sederhana. (Foto: Asnawin)
Merayakan Ulang Tahun ke-63 Harian Pedoman Rakyat
Tanggal 1 Maret adalah hari ulang tahun Harian Pedoman Rakyat, Makassar. Harian yang sempat berjaya selama beberapa dekade di Kota Makassar dan sekitarnya itu, tidak lagi terbit menemui pembacanya sejak 3 Oktober 2007. Meskipun demikian, sejumlah mantan wartawan dan karyawan harian Pedoman Rakyat tetap selalu merayakan ulang tahunnya dengan acara yang sangat sederhana.
Tanggal 1 Maret 2010, beberapa mantan wartawan berkumpul di bekas kantor harian Pedoman Rakyat Jl. Arief Rate 29, Makassar. Mereka antara lain Mahyudin (Yudi), Muhammad Arafah, Syafruddin (Safar), dan Wahyudin (Wahyu). Saya tidak tahu lagi siapa teman lain yang hadir, karena saya sendiri tidak bisa hadir. Mereka berkumpul setelah beredar undangan via sms secara berantai.
Teman-teman kemudian sepakat akan berkumpul kembali pada malam harinya di warung sarabba' (bajigur) Jl. Sungai Cerekang, Makassar. Saya adalah orang pertama yang datang sekitar pukul 21.00 Wita, kemudian menyusul Manaf, Yusman, James Wehantouw, Ignatius, Muhammad Arafah, H Laode Arumahi, Adji Taruna, Rahma, Hafsah, dan Hasanuddin (Acang).
Kami bersalaman-salaman, tertawa-tawa, dan ngobrol sambil mengenang kebersamaan serta suka duka selama bekerja sebagai wartawan dan karyawan Pedoman Rakyat. Di atas meja terhidang sarabba' hangat, pisang goreng, dan ubi goreng.
Tak lupa kami saling menanyakan kabar masing-masing, pekerjaan, keluarga, dan teman-teman yang tidak sempat hadir, termasuk mengenang teman-teman yang sudah berpulang dalam tiga tahun terakhir, seperti Lambert Sahertian, Buce Rompas, Hasanuddin Ternate (Hanter), Arthur Kuse, Indarto, Latif, dan Usman Sanaki.
Beberapa teman ada yang tetap eksis sebagai wartawan, antara lain Manaf dan Adji Taruna (mingguan SKU Pedoman), Muhammad Arafah, Rahma, Hafsah, Syafruddin Pattisahusiwa (harian Ujungpandang Ekspres), Hamzah (harian Beritakota Makassar), dan Hasanuddin / Acang (LKBN Antara).
Teman-teman lain ada yang tetap terdaftar sebagai wartawan di berbagai media massa, terutama media cetak, tetapi tidak terlalu aktif, karena pendapatan utama mereka bukan dari media massa tersebut.
Arumahi misalnya tetap terdaftar sebagai wartawan dan pengurus PWI Sulsel, tetapi ia juga tercatat sebagai anggota Komisi Ombudsman Kota Makassar.
Mengenai nasib Pedoman Rakyat, kami hanya bisa berharap semoga koran tertua di Sulawesi Selatan itu bisa bangkit dan terbit kembali seperti sedia kala.
Acara ''Peringatan Ulang Tahun ke-63 Harian Pedoman Rakyat'' itu berakhir sekitar pukul 24.00. Sebelum berpisah, kami bersalaman-salaman dan juga ada yang berpelukan.
Selamat ulang tahun ke-63 Harian Pedoman Rakyat. (asnawin)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Semoga harian Pedoman rakyat bisa terbit lagi di masa-masa yang akan datang. Keluarga saya sejak saya masih kecil adalah pembaca stia Pedoman Rakyat.
BalasHapusSAYANG SEKALI YA, PEDOMAN RAKYAT HARUS WAFAT. TAPI SEMOGA PARA PENGGANTINYA BISA MELANJUTKAN IDEALISME PERS YANG DITUNJUKKAN PEDOMAN RAKYAT SELAMA BEBERAPA DEKADE.
BalasHapusSangat disayangkan sudah 3 tahun Surat Kabar Pedoman Rakyat tidak terbit lagi. Saya teringat teriakan Syafruddin penjaja koran yang setiap pagi lewat depan rumah saya: Pedoman......(dengan bunyi vokal "e" taling. Semoga bisa bangkit kembali, terbit seperti sedia kala, dan teriakan Syafruddin yang khas itu kembali terdengar lagi.
BalasHapusAir mata saya selalu ingin menetes setiap membaca dan atau mendengar komentar tentang Pedoman Rakyat...., saya juga berharap begitu
BalasHapusSaya juga sering tercenung mengenang Pedoman Rakyat. Sebagai koran pelopor di sulsel dan indonesia timur, kok bisanya "mati suri". Saya tidak sepakat kalau disebut PR "wafat". Selagi masih ada para wartawan eks PR yang masih peduli, seperti p asnawi, pasti suatu ketika bisa terbit lagi. Zaman memang semakin kompetitif, dimana media massa harus berhadapan dengan kapitalisme dan konglomerasi para pemodal media massa.
BalasHapusTahun 90-an, ketika PR masih bermarkas di Arif Rate, saya selalu membaca PR. Terutama edisi Minggu yang berisi cerpen, puisi ataupun essai.
Ya, saya kerap merindukan PR. Semoga ada pemodal yang mau membiayai kembali Pedoman Rakyat agar bisa terbit.
Sungguh sebuah kebahagiaan yang luar biasa jika suatu saat nanti, harian Pedoman Rakyat bisa terbit kembali. Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda.
BalasHapus