Senin, 06 Juni 2011

Memilih Bertani, Meninggalkan Bangku Kuliah

Megarahman (46) bersama Iffah, salah seorang anaknya, di tangga rumahnya di Dusun Pangi-pangi, Desa Swatani, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Jumat, 20 Mei 2011. Pria kelahiran 15 Juni 1965 ini meninggalkan bangku kuliah pada semester akhir dan memilih menjadi petani demi menemani orangtuanya. (Foto: Asnawin)




----- 

PEDOMAN KARYA

Senin, 06 Juni 2011

 

 

Megarahman Memilih Bertani, Meninggalkan Bangku Kuliah

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

Sekitar dua puluh lima tahun silam, Megarahman terpaksa harus memilih antara melanjutkan kuliah atau menikah dan selanjutnya menjadi petani. Karena tidak yakin akan masa depannya kelak sebagai seorang sarjana, pria kelahiran Bulukumba, 15 Juni 1965, akhirnya memilih meninggalkan bangku kuliah.

Mungkin pilihan itu dianggap bodoh, apalagi kuliahnya sudah hampir rampung karena dirinya sudah menyusun skripsi, tetapi bagi Megarahman, pilihan itulah yang paling tepat, karena dirinya memang memiliki bakat bertani dan juga agar bisa menemani ibunya, Hj Hawiyah, yang sudah tua di Sampeang, Desa Swatani, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba.

Megarahman kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Hasidah pada 1994, dan menetap di tengah kebun pemberian orangtuanya, di Dusun Duning, Desa Swatani, Kecamatan Rilau Ale.

“Waktu itu, ibu saya hanya tinggal berdua dengan adik saya, karena ayah (alm Abdul Hamid) dan adik-adik saya yang lain menetap di Jambi,” ungkapnya saat berbincang-bincang dengan penulis, di rumahnya yang tidak jauh dari rumah ibunya, Jumat, 20 Mei 2011.

Dengan ketekunan dan kerja kerasnya, ayah tiga anak itu kini telah memiliki beberapa hektar tanah perkebunan yang ditanami lada (merica), kopi, coklat, kelapa, dan sayur-sayuran.

Sejak beberapa tahun silam, ia juga terpilih sebagai Ketua Kelompok Tani Mali' Siparappe yang beranggotakan 25 petani.

Kelompok Tani yang dipimpinnya telah beberapa kali mendapat undangan mengikuti pelatihan, mendapatkan bimbingan dan penyuluhan, serta mendapatkan bantuan dana dari pemerintah.

“Kami juga mendapat bantuan pinjaman dana bergerak dengan bunga yang sangat kecil,” papar anak pertama dari empat bersaudara itu.

Menyinggung pendapatannya sebagai petani, ayah dari Chicha, Yasser, dan Iffah itu menyebutkan angka Rp4 juta sampai Rp5 juta per komoditas per panen.

“Tapi beberapa tahun terakhir ini pendapatan petani menurun, karena cuaca tidak normal,” ungkapnya.

Bersama beberapa petani lainnya, Megarahman mengadakan arisan enam bulanan (diundi setiap habis panen) dengan total uang yang diterima Rp14 juta.

Dalam kegiatan sosial, ia juga aktif menjadi pengurus masjid dan bersama warga setempat melakukan bakti sosial seperti pembersihan saluran air got secara rutin.

Meskipun memiliki uang yang cukup untuk membeli kendaraan dan pakaian bagus, Megarahman bersama isteri dan anak-anaknya lebih memilih hidup sederhana. Ia hanya memiliki sebuah sepeda motor tua dan jarang meninggalkan rumah kalau tidak terlalu penting.

“Saya jarang ke kota (maksudnya ibukota Kabupaten Bulukumba), apalagi ke Makassar, jadi cukuplah saya pakai sepeda motor tua. Yang penting masih bisa jalan, karena kendaraan umum juga sudah banyak dan lancar. Saya hanya berharap, mudah-mudahan kami bisa menyekolahkan anak-anak kami setinggi-tingginya,” kata Megarahman.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar