Puluhan tahun lalu, seorang pemuda bernama Abdul Rahman Gega melamar sebagai calon wartawan di Harian Pedoman Rakyat. Koran terbesar di Sulawesi Selatan dan kawasan timur Indonesia itu kebetulan membuka pendaftaran untuk calon wartawan. Lelaki kelahiran Makassar, 17 Juli 1935 itu datang mendaftar bersama seorang rekannya bernama Arsal Al Habsy. (Foto kreasi: Asnawin)
----
Mengenal Sosok Rahman Arge
Oleh : Asnawin
(Mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat/Pengurus PWI Sulsel)
Puluhan tahun lalu, seorang pemuda bernama Abdul Rahman Gega melamar sebagai calon wartawan di Harian Pedoman Rakyat. Koran terbesar di Sulawesi Selatan dan kawasan timur Indonesia itu kebetulan membuka pendaftaran untuk calon wartawan.
Lelaki kelahiran Makassar, 17 Juli 1935 itu datang mendaftar bersama seorang rekannya bernama Arsal Al Habsy.
Oleh M Basir, wartawan senior Harian Pedoman Rakyat saat itu, Abdul Rahman Gega dan Arsal Al Habsy diberikan sebuah mesin ketik. Mereka diminta membuat esai jurnalistik.
Mereka kemudian mencari ide. Arsal tampaknya lebih cerdas karena dengan cepat ia mampu membuat esai jurnalistik dengan judul Paradoks, sedangkan Abdul Rahman Gega harus keliling Makassar, masuk keluar lorong untuk mencari gagasan esainya.
Ia kemudian menyaksikan sebuah parade kebudayaan Makassar di mana kalangan etnis Tionghoa menaiki kuda yang dituntun oleh lelaki Makassar asal Jeneponto. Dari situ, ide menulisnya mulai muncul.
Esai pertamanya diberi judul “Kepada Pemuda-Pemuda Harapan Bangsa.”
Karena saat itu bahasa Belanda dianggap sebagai bahasa elite, Abdul Rahman Gega pun menyisipkan sejumlah kosa kata bahasa Belanda dalam esainya.
Usai merampungkan tulisannya, ia diliputi keraguan dan sedikit ketakutan, karena harus membawa dan berhadapan langsung dengan M Basir yang konon orangnya “keras dan tegas” dalam menghadapi dan mendidik para wartawannya.
Keraguan dan ketakutan itu tidak langsung dirasakan, karena kebetulan saat menyerahkan naskah esai jurnalistiknya, M Basir tidak ada di kantor. Tulisan itu pun hanya ia taruh di meja M Basir.
Masa menunggu tulisannya diedit, Abdul Rahman Gega diliputi berbagai macam perasaan. Takut, malu, sekaligus penuh harapan.
Beberapa hari kemudian, tulisan Arsal Al Habsy, yang berjudul “Paradoks”, dimuat pada halaman satu harian Pedoman Rakyat.
Abdul Rahman Gega senang karena tulisan rekannya sudah termuat, tetapi ia juga langsung bertanya-tanya pada dirinya, karena tulisannya belum dimuat. Keraguan pun menyeruak. Ia bertanya pada dirinya, apa memang dirinya bisa menjadi seorang penulis.
Pertanyaan itu terjawab dua minggu kemudian. Esainya diterbitkan dan judulnya tidak diubah: “Kepada Pemuda-Pemuda Harapan Bangsa.”
Beberapa waktu kemudian, M Basir memanggil Abdul Rahman Gega dan Arsal Al Habsy. Kepada keduanya, M Basir mengatakan bahwa setiap orang punya gaya tersendiri dalam penulisan.
Arsal menulis dengan gaya penulisan buku karena memang rajin membaca buku, sedangkan Abdul Rahman Gega menulis dengan gaya kampung, karena dirinya sering keluar masuk lorong.
Sejak itulah Abdul Rahman Gega aktif dan bergelut dalam dunia jurnalistik. Dengan semangat, bakat, dan kemampuan yang ia miliki, Abdul Rahman Gega kemudian terpilih menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Selatan.
Sebagai Ketua PWI Sulsel, Abdul Rahman Gega kemudian terpilih mewakili komunitas wartawan menjadi anggota DPRD Sulsel dan selanjutnya menjadi anggota DPR/MPR RI.
Itulah sekelumit perjalanan hidup Abdul Rahman Gega dalam dunia jurnalistik. Itulah salah satu sisi perjalanan hidup lelaki yang kemudian lebih dikenal dengan nama Rahman Arge.
Sisi Lain
Bagaimana dengan sisi lain sosok Rahman Arge? Ternyata ia bukan sekadar wartawan dan penulis, melainkan juga seorang seniman dan budayawan. Ia pemain teater, juga penulis naskah teater, dan bahkan sutradara.
Rahman Arge yang pernah sekolah jurnalistik dan drama, juga cukup piawai sebagai politisi.
Di bidang jurnalistik, ia bersama Mahbub Djunaidi mendirikan koran Duta Masyarakat edisi Sulawesi Selatan. Ia juga menebitkan majalah Suara, Esensi, Timtim, Harian Pembaharuan, dan Pos Makassar.
Ia kemudian menjabat Ketua PWI Sulawesi Selatan (1973-1992), dan anggota Dewan Kehormatan PWI pusat. Tak heran kalau kemudian pemerintah memberikan penghargaan kesetiaan mengabdi selama 50 tahun di dunia pers.
Di bidang politik, ia sempat menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan selama empat periode, dan satu periode anggota DPR/MPR.
Di bidang teater, film, dan kebudayaan, Rahman Arge telah bermain di tujuh film, dan di dua festival film nasional, sekaligus mendapat Piala Citra dan Piala Khusus.
Arge adalah pendiri Teater Makassar (TM), serta pernah memimpin Dewan Kesenian Makassar (DKM), dan Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sulawesi Selatan.
Ia telah menerima Anugerah Seni pada 1977 dan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI pada tahun 2003. Pernah pula meraih penghargaan sebagai penegak pers Pancasila atas jasanya melawan PKI.
Belasan naskah teater telah ditulis sekaligus menyutradarai dan menjadi aktornya. Beberapa kali mengikuti festival teater di TIM (Taman Ismail Marzuki). Salah satu naskahnya pernah dipentaskan di Jepang. Japan Foundation telah memberinya penghargaan sekaligus hadiah keliling Jepang, 1980. Ini menambah deretan perjalanannya ke mancanegara.
Tahun 1993-1997, Arge dilantik sebagai Wakil Ketua Umum Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) pusat, dan kemudian duduk sebagai Anggota Dewan Penasihat Parfi pusat.
Di bidang sastra, selain menulis naskah drama, juga menulis cerpen, puisi, dan esai. Pernah didaulat sebagai penasihat panitia Konggres Kebudayaan Nasional V, 2003.
Dari ratusan bahkan mungkin ribuan tulisannya di berbagai media, Rahman Arge memilih 200 di antaranya yang kemudian dibukukan dengan judul “Permainan Kekuasaan”. Buku itu diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, dengan prolog Prof Dr Toety Heraty, dan epilog Jakob Oetama.
Tulisan dalam buku tersebut, merupakan hasil petualangannya ke berbagai penjuru dunia—Praha, Sungai Volga, Tembok Besar China, juga Istana Alhambra hingga ke Hiroshima—serta kepeduliannya pada nasib rakyat jelata di Tanah Air. Selain itu, juga ada pembelajaran dari kiprah tokoh-tokoh terkenal; mulai Cut Nyak Dien, Robert Wolter Monginsidi, Nelson Mandela, Anwar Ibrahim, hingga Bung Karno.
Atas berbagai pengalaman dan kemampuan yang dimiliki, tak heran kalau banyak orang yang mengagumi dan memuji Rahman Arge.
Direktur Utama Fajar Group, Alwi Hamu, malah tidak sungkan-sungkan mengakui kehebatan seorang Rahman Arge.
“Dia itu guru saya,” kata Alwi yang juga mantan Ketua PWI Sulsel.
Arge hingga kini masih aktif menulis di media massa dan tampil menyajikan makalah kebudayaan dan jurnalistik di berbagai forum seminar dan diskusi. Arge juga masih menyimpan dan bersahabat dengan mesin ketik tua pemberian M. Basir puluhan tahun silam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar