Jumat, 23 Januari 2009
Benarkah PLN Selalu Rugi?
Benarkah PLN Selalu Rugi?
Oleh: Asnawin
(Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel)
Setiap perusahaan pasti memburu keuntungan, tetapi ternyata ada perusahaan yang selalu rugi, sehingga terpaksa mendapatkan subsidi untuk kelanjutan hidupnya. Perusahaan itu adalah PT. (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN), salah satu Perusahaan Umum Milik Negara (BUMN).
Tetapi benarkah PLN selalu rugi? Apakah pernyataan itu benar adanya atau hanya untuk menarik simpati masyarakat?
Berbagai pertanyaan itu terjawab pada Pelatihan Pengenalan Proses Bisnis Kelistrikan Bagi Para Jurnalis dalam Wilayah Peliputan PT. PLN (Persero) Sulserabar, di Udiklat Makassar, Mawang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 1-2 Februari 2008.
Dari paparan beberapa pembicara dan dialog pada sesi tanya jawab, terungkap bahwa biaya produksi atau biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. PLN (Persero) Wilayah Sulselrabar (Sulawesi Selatan, Tenggara, Barat) untuk daerah Sulsel kurang lebih Rp 850 / kWh, tetapi harga yang dibayar oleh masyarakat hanya Rp 589,8 / kWh. Artinya PLN harus nombok Rp 260,2 / kWh.
Kalau masyarakat Sulsel menggunakan listrik jutaan kWh, maka kerugian PT. PLN (Persero) Wilayah Sulselrabar pasti sangat besar perbulannya.
Kerugian lebih besar dialami di daerah terpencil seperti Bau-bau dan Kendari. Biaya yang dikeluarkan oleh PLN di Bau-bau sebesar Rp 2.402,2 / kWh, sedangkan harga yang dibayar oleh masyarakat hanya Rp 596 / kWh, sedangkan di Kendari biaya yang dikeluarkan oleh PLN Rp 2.269,2 / kWh, tetapi harga yang dibayar oleh masyarakat hanya 568 / kWh.
Lalu mengapa PLN tidak menaikkan tarif listrik agar biaya operasional dan biaya yang harus dikeluarkan dapat tertutupi? Terhadap pertanyaan itu, Manager Niaga PT. PLN (Persero) Sulselrabar, Irwan Zaenal Nasution, mengemukakan dua alasan.
Pertama, tarif listrik ditentukan oleh Presiden, sedangkan alasan kedua yaitu masyarakat pasti “berteriak” kalau tarif listrik dinaikkan, karena tarif listrik yang ditetapkan sekarang saja sudah sering mengundang reaksi masyarakat, antara lain dalam bentuk aksi unjukrasa, apalagi kalau tarif tersebut dinaikkan.
Bagaimana solusinya untuk meminimalkan kerugian PLN? Untuk menutupi biaya tersebut, PLN menempuh kebijakan membedakan tarif listrik bagi masyarakat umum, dengan industrik dan bisnis.
Selain itu, PLN senantiasa mengimbau masyarakat membudayakan budaya hemat listrik, lewat berbagai program, termasuk dengan mengadakan pelatihan pengenalan sistem ketenagalistrikan bagi para insan pers.
Kebijakan membedakan tarif listrik bagi masyarakat umum dengan bisnis dan industri itu tentu saja belum menutupi biaya yang harus dikeluarkan PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik, sehingga pemerintah harus memberikan subsidi.
PLN membutuhkan dana sebesar Rp 6,9 triliun setiap tahunnya, tetapi yang siap hanya Rp 29 triliun, sehingga sisanya disubsidi oleh pemerintah.
Pertumbuhan pelanggan setiap tahunnya mencapai 11 persen per tahun secara nasional, sedangkan pertumbuhan pelanggan di Sulsel diperkirakan 8-9 persen per tahun.
Pertumbuhan pelanggan atau kebutuhan tersebut ternyata tidak diiringi dengan pertambahan fasilitas yang memadai, sehingga PLN terpaksa menyewa listrik dari swasta dan terpaksa melakukan pemadaman bergilir jika kebutuhan pelanggan melebihi kapasitas daya yang ada.
Agenda Besar PLN
General Manager PT. PLN (Persero) Sulselrabar, Arifuddin Nurdin dalam makalahnya mengemukakan empat agenda besar PLN, yakni membudayakan hemat listrik (mendukung Inpres No. 10 Tahun 2005), mensukseskan Visi 75-100 (tekad PLN untuk melistriki Nusantara dengan pencapaian rasio elektrifikasi 100% dan akses terbuka penyambungan listrik sebelum HUT ke-75 kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2020), menekan losses, termasuk pencurian listrik, serta meningkatkan pemahaman stakeholders.
Selain mengimbau masyarakat agar hemat listrik (mengurangi pemakaian listrik terutama pada saat beban puncak di malam hari), PLN juga meminta masyarakat agar tidak melakukan pencurian listrik atau melakukan pencatolan aliran listrik secara tidak sah.
Masyarakat atau pihak yang kedapatan melakukan hal tersebut akan dikenakan pidana penjara selama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Pidana tersebut tertuang dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1985.
Apapun alasannya, masyarakat diminta menghindari dan menjauhkan kebiasaan mencantol aliran listrik dari jaringan listrik atau pun rumah, bermain layangan dekat jaringan listrik, boros dalam pemakaian listrik, mengutak-atik atau merusak KWH Meter, serta menyambung listrik secara tidak resmi.
Permintaan tersebut wajar karena kebiasaan hanya akan membuat hidup tidak nyaman, bisa menimbulkan bahaya, serta merugikan banyak orang.
Bertransaksilah di Kantor PLN
Banyak keluhan masyarakat tentang mahalnya biaya pemasangan listrik dan penambahan daya listrik, tetapi itu terjadi karena masyarakat tidak menempuh prosedur yang seharusnya.
Sebaliknya, sebagian masyarakat terpaksa menggunakan jasa pihak ketiga (instalatir yang terdaftar maupun instalatir liar alias tidak terdaftar) dan melakukan transaksi di luar kantor PLN, karena mereka ingin mendapatkan pelayanan yang cepat.
Akibatnya, selain biayanya menjadi tinggi karena instalatir meminta jasa pelayanan tambahan, masyarakat juga kerap menjadi korban karena pelayanan cepat yang diharapkan ternyata juga tidak terpenuhi dan tidak sedikit aliran listrik masyarakat yang tidak terdaftar di PLN alias tidak resmi (illegal).
Untuk menghindari hal tersebut, PLN mengimbau masyarakat agar tidak melakukan transaksi apapun di luar kantor PLN.
“Jangan melakukan transaksi apapun di luar kantor PLN,” demikian selalu diingatkan pegawai PLN.
Dijelaskan bahwa prosedur Pasang Baru (PB) dan Penambahan Daya (PD) diawali dengan kedatangan langsung (bisa juga diwakili dengan memberikan surat kuasa) calon pelanggan atau masyarakat selaku konsumen listrik ke kantor PLN terdekat.
Selanjutnya mengisi formulir Pendaftaran Permintaan PB / PD (TUL 1-01) yang diberikan oleh pegawai di kantor PLN. Setelah itu, formulir dikembalikan disertai penyerahan fotocopy KTP/Surat Kuasa, sketsa lokasi rumah, serta fotocopy rekening tetangga terdekat.
Pihak PLN kemudian melakukan survey kelayakan (data teknis, kuota, dll) lalu membuat Surat Jawaban (disetujui atau tidak disetujui). Jika belum disetujui, maka calon pelanggan bersangkutan masuk dalam daftar tunggu, sedangkan jika disetujui maka calon pelanggan disarankan menghubungi Instalatir Terdaftar (anggota AKLI).
Tetapi masyarakat diingatkan bahwa instalatir itu bukan PLN. Mereka adalah pihak ketiga yang bermitra dengan PLN, tetapi bukan bagian dari PLN.
Calon konsumen bisa juga datang langsung atau kembali ke kantor PLN dengan menyerahkan Surat Jaminan Instalasi lalu membayar BP-UJL (Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Langganan). Setelah itu pihak PLN datang memasang aliran listrik di rumah pelanggan.
Penyambungan Baru
Adapun biaya pemasangan baru listrik dengan daya 900 VA (900 watt) yang resmi hanya Rp 360.900, terdiri atas Biaya Penyambungan Rp 270.000 (900 X Rp 300) dan Uang Jaminan Langganan sebesar Rp 90.900 (900 X Rp 101).
Biaya pemasangan baru listrik dengan daya 1.300 VA yang resmi hanya Rp 527.300, dengan rincian BP Rp 390.000 (1.300 X Rp 300), UJL Rp 131.300 (1.300 X Rp 101), dan materai Rp 6.000.
Sementara biaya penyambungan baru listrik dengan daya 2.200 VA yang resmi hanya Rp 888.200, terdiri atas BP Rp. 660.000 (2.200 X Rp 300), UJL Rp 222.200 (2.200 X Rp 101), dan materai Rp 6.000.
BP-UJL tersebut berlaku secara nasional, sehingga tarif resmi penyambungan baru pada seluruh provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia sama. Tak ada perbedaan antara satu kota dengan kota lain.
Begitupun dengan biaya beban per bulan, yakni Rp 18.000 untuk daya 900 VA, Rp 39.130 untuk daya 1.300 VA, serta Rp. 66.440 untuk daya 2.200 VA.
Tugas utama PLN hanya menjual listrik, tetapi banyak hal yang bisa terjadi di pasar listrik, antara lain pencurian listrik, pemerasan, penipuan, serta pemasangan jaringan tidak resmi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar