Kamis, 08 Januari 2009
Banyak Orang Tiba-tiba Jadi Wartawan
Banyak Orang Tiba-tiba Jadi Wartawan
Euforia era reformasi tampaknya masih terasa hingga kini. Tiba-tiba banyak orang yang merasa mampu dan berhak menjadi apa saja, termasuk menjadi wartawan. Orang yang merasa berhak dan mampu menjadi calon legislator bahkan mencapai ratusan atau bahkan ribuan dalam satu kabupaten atau kota.
Khusus di bidang pers, banyak wartawan dadakan. Banyak orang yang tiba-tiba menjadi wartawan dan memiliki kartu pers, padahal mereka tidak pernah melalui jenjang pendidikan jurnalistik yang memadai dan benar.
Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak pernah mendapatkan atau mengikuti pendidikan jurnalistik yang memadai dan benar, maka tidaklah mengherankan kalau banyak oknum wartawan yang menyalahgunakan profesinya dan melanggar kode etik wartawan atau Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Demikian dipaparkan Ketua Seksi Pendidikan PWI Sulsel, Asnawin, saat membawakan materi pada “Karantina Jurnalistik IV Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Aspirasi BSID FBS Universitas Negeri Makassar”, di Makassar, pada Kamis, 8 Januari 2008.
Kepada para peserta yang semuanya mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, dia menjelaskan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
“Dewasa ini banyak wartawan yang mengantongi kartu pers dan mengaku wartawan, tetapi mereka tidak melakukan kegiatan jurnalistik. Mereka bahkan tidak tahu apa itu Kode Etik Jurnalistik, karena tidak pernah membaca apalagi mengkaji pasal-pasal di dalamnya,” tutur Asnawin.
Dia mengatakan, wartawan bebas memilih organisasi profesi, baik itu di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) maupun di organisasi kewartawanan lainnya, tetapi mereka harus memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Sebagai orang yang senantiasa bersentuhan dengan publik, lanjutnya, wartawan dalam menjalankan profesinya diikat oleh norma dan aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakat.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dimaksud yaitu KEJ yang telah disepakati bersama oleh 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia, di Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006, dan ditetapkan oleh Dewan Pers pada Ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 24 Maret 2006, melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, tentang Kode Etik Jurnalistik.
Asnawin yang juga mengajar mata kuliah jurnalistik di beberapa perguruan tinggi, menjelaskan bahwa etik atau etika berasal dari bahasa Latin, ethica, yang berarti aturan atau kaidah-kaidah moral, tata susila yang mengikat suatu masyarakat atau kelompok masyarakat, atau profesi.
“Etika didasari oleh kejujuran dan integritas perorangan,” katanya.
Etika yang mengikat masyarakat dalam sebuah profesi itulah yang disebut Kode Etik, maka lahirlah berbagai macam Kode Etik, antara lain Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Kedokteran, dan Kode Etik Pengacara.
Di Indonesia, Kode Etik Wartawan tidak hanya merupakan ikatan kewajiban moral bagi anggotanya, melainkan sudah menjadi bagian dari hukum positif, karena Pasal 7 (2) UU Pers dengan tegas mengatakan bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
“Jadi kalau ada wartawan yang tidak memiliki dan tidak menaati Kode Etik Jurnalistik, maka dia sebenarnya sudah melanggar Undang-Undang Pers,” tandasnya.
Dalam Karantina Jurnalistik itu, materi Pengetahuan Umum Kejurnalistikan dan Pers Kampus dibawakan oleh Tasman Banto dari Harian Tribun Timur Makassar.
Materi lain yang disajikan pada kegiatan yang berlangsung selama dua hari itu, ialah Jenis-jenis Tulisan Sastra, Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik, Jenis Tulisan dan Perencanaan Peliputan, Teknik Penulisan Featur, Teknik Penulisan Cerpen, Desain dan Tata Letal Media Cetak, Teknik Foto Jurnalistik, dan Jurnalisme Sastra Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar