Rabu, 03 September 2008

Harian Pedoman Rakyat Setahun yang Lalu



Harian Pedoman Rakyat Setahun yang Lalu
(Mengenang Peristiwa 3 Oktober 2007)

Oleh : Asnawin


Malam sudah menunjukkan sekitar pukul 21.00 Wita. Sebagian wartawan sedang sibuk-sibuknya menulis berita, beberapa redaktur sibuk mengedit berita dan redaktur lainnya sibuk membaca print out halaman yang menjadi tanggungjawabnya.
Tiba-tiba Pemimpin Perusahaan Jan A. Talakua, dan Pemimpin Umum Ventje Manuhua, muncul di ruangan redaksi dan mengabarkan bahwa percetakan (Percetakan Sulawesi) menuntut pembayaran biaya cetak.
Teman-teman di redaksi pun menjadi bimbang, apakah koran jadi dicetak besok atau tidak. Melihat kebimbangan itu, Ventje dan Jan Talakua, mencoba meyakinkan bahwa bagian redaksi tidak perlu ragu dan tetap menyiapkan berita untuk mengisi seluruh halaman.
Teman-teman di redaksi pun menyelesaikan tugasnya dan pulang dengan harap-harap cemas. Kami semua berdoa semoga harian Pedoman Rakyat dapat tetap terbit.
Di jajaran redaktur ada Arief Djasar, Mahyudin, Petrus Sofyan Malia, Syafruddin, Elvianus Kawengian, Yusuf Akib, Indarto, Rusli Kadir, dan saya sendiri selaku Redaktur Humaniora.
Keesokan harinya, kami saling menghubungi via sms atau saling menelepon untuk mengetahui jadi tidaknya harian kami terbit. Setelah dikonfirmasi kesana kemari, akhirnya kami mengetahui bahwa harian Pedoman Rakyat tidak terbit.
Kami pun berkumpul di kantor dan membicarakan bagaimana nasib koran kami. Jan Talakua atas perintah Ventje Manuhua kemudian mendatangi kantor harian Fajar untuk memasang pengumuman bahwa harian Pedoman Rakyat hanya sementara tidak terbit.
Teman-teman berharap pengumuman itu murni dan bukan akal-akalan dari Pemimpin Umum bersama 'kroni-kroninya'. Timbulnya kecurigaan seperti itu memang beralasan, karena Ventje S. Manuhua sudah beberapa kali 'berbohong' kepada karyawan, misalnya soal gaji yang akhirnya terlambat dibayar, serta soal kas perusahaan yang ternyata kebocorannya luar biasa.
Ternyata koran kami tetap tidak terbit hingga beberapa hari kemudian. Kami pun selalu berdiskusi untuk mencari solusi, antara lain dengan berupaya mencari investor dan meminta Ventje Manuhua mengundurkan diri.
Rupanya Ventje Manuhua tetap bertahan tidak mau mundur dan memilih mati bersama harian Pedoman Rakyat. Ibarat pepatah, lebih baik mati berkalang tanah daripada mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Umum Harian Pedoman Rakyat.
Harian Pedoman Rakyat yang terbit perdana pada 1 Maret 1947, pernah mati ketika penjajah Belanda ingin berkuasa kembali di Indonesia, padahal Indonesia sudah mengumumkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi berkat perjuangan dan kerja keras LE Manuhua dan beberapa pemegang saham, harian ini terbit kembali dan akhirnya menjadi koran terbesar di kawasan timur Indonesia.
Seiring perjalanan waktu dan berbagai perubahan zaman, harian ini menjadi tidak dominan lagi di Makassar dan sekitarnya.
Fajar yang semula terbit mingguan, kemudian terbit harian setelah 'digandeng' oleh Jawa Pos Grup. Tak lama kemudian muncul lagi harian Tribun Timur yang merupakan bagian dari bendera Kompas Gramedia.
Sebenarnya bukan karena melejitnya Fajar dan munculnya Tribun Timur yang membuat harian Pedoman Rakyat mati, melainkan karena LE Manuhua tak mampu menerapkan manajemen modern dan takut 'bergandengan tangan' dengan Kompas yang sebenarnya sangat ingin 'menggandeng' harian ini.
Tidak ada penjelasan resmi, tetapi beberapa teman curiga LE Manuhua takut anak-anak dan keluarganya yang bekerja di harian Pedoman Rakyat bakal terlempar, jika kelak Kompas menerapkan sistem manajemen modern.
Kecurigaan itu semakin keras setelah Ventje S. Manuhua tampil sebagai Pemimpin Umum dan ternyata dia pun gagal mengangkat harian Pedoman Rakyat dari keterpurukan akibat persaingan antar-media, termasuk dengan media cetak nasional dan media televisi.
Ventje sudah beberapa kali gagal dalam memimpin perusahaan. Biro Pedoman Rakyat di Parepare mati di tangannya. Toko Buku Pedoman Rakyat di lantai satu kantor Harian Pedoman Rakyat yang berlantai lima, konon pernah besar ketika dipimpin Buce Rompas, tetapi kemudian mati dan tutup di tangah Ventje.
Dengan demikian, Ventje sudah tiga kali mematikan perusahaan yang dipimpinnya, yakni Biro Pedoman Rakyat di Kota Parepare, Toko Buku Pedoman Rakyat, serta harian Pedoman Rakyat.
Entah apa lagi yang ada di benak Ventje saat ini. Yang pasti, aset Pedoman Rakyat masih banyak, antara lain gedung berlantai lima di Jalan Arief Rate 29, Makassar, serta gedung kantor dan mesin Percetakan Sulawesi.
Ventje boleh saja mengatakan bahwa kedua aset tersebut bukan milik Pedoman Rakyat, karena berada di bawah penguasaan Firma Perak, tetapi semua karyawan tahu bahwa Firma Perak dibentuk LE Manuhua pada sekitar tahun 70-an dan kemudian membawahi harian Pedoman Rakyat dan Percetakan Sulawesi.
Yang lebih aneh lagi, ketika harian Pedoman Rakyat terpuruk dan mengalami masalah, Ventje dengan enteng mengatakan Firma Perak tidak punya kewajiban untuk membantu harian Pedoman Rakyat.
Pada 1 Maret 2008, ketika seharusnya harian Pedoman Rakyat berulang tahun ke-61, di kantor kami Jl. Arief Rate 29, ada acara kecil-kecilan semacam peringatan ulang tahun harian Pedoman Rakyat.
Pertemuan itu seharusnya berlangsung santai, tetapi berubah menjadi serius, terutama karena Ventje mengeluarkan ancaman bahwa wartawan yang sudah tertera namanya sebagai wartawan di koran lain, tidak akan diterima lagi bekerja di harian Pedoman Rakyat dan pesangonnya dibedakan dengan wartawan lain yang belum tertera di koran lain. Dia dengan rasa percaya dirinya yang tinggi, mengaku bertekad akan menerbitkan kembali harian Pedoman Rakyat dan sudah berbicara dengan investor di Jakarta.
Karena tidak senang dengan suasana pertemuan, saya memilih keluar ruangan lalu pergi ke warung kopi. Nyatanya, sampai hari ini, Rabu, 3 September 2008, Ventje ternyata tak mampu mewujudkan tekadnya.

Berpencar

Bagaimana kabar dan nasib teman-teman mantan wartawan dan karyawan harian Pedoman Rakyat?
Sebelum harian Pedoman Rakyat mati (tetapi sudah setengah hidup), beberapa teman wartawan sudah lebih dahulu menyelamatkan diri pindah ke media massa lain dan ada juga yang beralih profesi.
Ketika harian ini dipimpin Peter Gozal, beberapa teman tetap bertahan dan beberapa teman yang lain memilih keluar. Ada pula yang tidak keluar, tetapi juga tidak terlalu aktif karena ada kesibukan lain.
Di bawah kepemimpinan Peter Gozal, karyawan dan wartawan bekera di bawah tekanan mental yang luar biasa, karena banyak aturan yang diterapkan yang disertai ancaman, tetapi tidak diimbangi dengan kesejahteraan yang memadai. Wartawan dan karyawan baru yang direkrut oleh manajemen, banyak yang bergaji lebih tinggi dibanding wartawan dan karyawan lama, padahal jabatannya sama atau bahkan lebih rendah.
Setelah tidak terbit lagi sejak 3 Oktober 2007, teman-teman pada berpencar. Ada yang menerbitkan koran dengan mengajak beberapa teman bergabung, ada yang beralih profesi.
Saya sendiri belum punya pekerjaan tetap, tetapi mengisi waktu dengan mengajar sebagai dosen luar biasa di beberapa perguruan tinggi (berbekal sertifikat sebagai Pelatih Nasional Wartawan PWI), membawakan materi (al: jurnalistik, teknik penulisan artikel, dan teknik pembuatan cerpen) pada berbagai pelatihan, membantu Pak Putra Jaya lebih menghidupkan tabloid mingguan Demos, serta membantu teman membuat buku (editor). Selain itu, saya juga aktif sebagai Ketua Seksi Pendidikan dan Direktur Perpustakaan Pers PWI Sulsel.
Sambil mengenang setahun matinya harian Pedoman Rakyat, saya juga teringat beberapa teman dan senior yang sudah meninggal dunia, antara lain Mahmud Hading (saya beberapa kali keluar kota bersama-sama), Hasanuddin yang akrab disapa Hanter (singkatan dari Hasanuddin Ternate) dan meninggal dunia di kampung halamannya Ternate, dan Arthur Kuse (meja kerja saya berdekatan sehingga kami selalu berdialog dan berdiskusi sambil tertawa-tawa menertawai nasib kami).
Karyawan senior yang juga sudah mendahului kami, antara lain Pak Henny Katili, Pak Karim, Pak Harun, dan Pak Usman Sanaki.
Demikian ungkapan hati saya. Lebih kurangnya mohon dimaafkan, karena sekali lagi ini hanya curahan hati (curhat). Kepada teman-teman yang menjalankan ibadah puasa, selamat berpuasa.

Makassar, 3 September 2008 Masehi / 3 Ramadhan 1429 Hijriyah

2 komentar:

  1. Bung Asnawin,
    saya sedih mendengar kisah anda tentang Pedoman Rakyat.

    Bagaimana nasibnya sekarang ya??

    BalasHapus
  2. Meskipun anda tidak menyebutkan nama, saya tetap bisa mengatakan bahwa harian Pedoman Rakyat hingga kini masih "mati suri". Tidak jelas masih akan terbit atau mati selamanya.

    Karyawan menuntut Direktur Utama ketika PR tidap terbit pada 3 September 2007, Ventje Manuhua, untuk memperjelas posisi perusahaan, apakah masih akan lanjut/terbit atau dipailitkan. Kalau dipailitkan berarti, perusahaan harus membayr pesangon para karyawan. Kalau masih mau lanjut, silakan panggil karyawan.

    BalasHapus