Senin, 03 Maret 2008

Pedoman Rakyat Lahir Hari Ini

Sabtu, 01-03-2008
Pedoman Rakyat Lahir Hari Ini

Oleh
M Dahlan Abubakar
Mantan wartawan Pedoman Rakyat

Pada tanggal 1 Maret 1947, harian Pedoman Rakyat (PR) pertama kali hadir di daratan Sulawesi Selatan. Hingga tahun 2000-an, hari ulang tahun terbitnya perdana surat kabar tertua di kawasan timur Indonesia itu selalu diperingati. Ucapan selamat dalam berbagai bentuk dan besarnya serta dari para mitra kerja memenuhi halaman kantor di Jl Arief Rate 29 Makassar.
Sejak dua atau tiga tahun silam, PR secara ironis, tidak mampu lagi sekadar memperingati hari ulang tahunnya sendiri dalam bentuk hanya duduk bersama. Ketika ulang ke-60 pada tahun 2007, ucapan-ucapan selamat yang terpampang di depan kantor hanya beberapa gelintir. Mitra kerja dan pejabat yang selama bertahun-tahun menjadi rekan kerja PR, tidak kelihatan lagi mengirim ucapan selamat. Tercatat, hanya dua bupati yang menyampaikan ucapan selamat. Tanda-tanda yang kurang menguntungkan.

Saya mulai bergabung dengan media ini dengan posisi 'koreponden kota', tahun 1976 dengan cara masuk yang sangat tidak lazim. Suatu hari saya mengungkapkan hasrat menjadi wartawan, saat berboncengan menggunakan motor Vespa dengan senior saya HM Fahmy Miyala.
''Kak Fahmy, bagaimana caranya agar saya bisa menjadi wartawan?,'' tiba-tiba pertanyaan ini muncul tatkala Vespa warna hijau pensiunan wartawan Kompas ini meluncur ke barat di Jl Mongisidi.
''Ok, nanti kita langsung bertemu dengan salah seorang teman saya,'' spontan juga Kak Fahmy menjawab.
Vespa terus meluncur, memotong perempatan Jl Ratulangi-Sudirman dan Mongisidi-Haji Bau, lalu membelok kiri ke Jl Mappanyukki. Di sebuah kantor tua dengan nomor 28, Kak Fahmy membelok masuk Vespa bertubuh gemuknya.
Dia berjalan di sebelah kiri, langsung ke belakang, ruang lay out PR.
''Rosadi, ini ada temanku mau jadi wartawan!,'' setengah berteriak Kak Fahmy mengagetkan Rosadi Sani (alm.) yang lagi sibuk me-lay out halaman lampiran PR untuk keesokan harinya.
Setelah berbasa-basi, menanyakan ABC jurnalistik yang saya miliki plus nyeletukan Kak Fahmy - yang tentu saja sangat mendukung saya - Rosadi langsung menugaskan saya meliput berita-berita kampus. Kampus besar kala itu selain Unhas, IKIP Ujungpandang, IAIN Alauddin, dan juga ada beberapa perguruan tinggi swasta lainnya.
Mulai saat itu, waktu saya habiskan untuk meliput berita, meski basic saya di Unhas sebagai mahasiswa. Perkembangan PR pun akrab saya ikuti. Saat itu, PR-kata orang Ambon-seng (tidak) ada lawan. Media yang terbit pagi di Makassar belum ada. Hanya pada sore hari, ada harian Tegas, yang juga waktu itu dicetak di PT Percetakan Sulawesi. Mingguan juga banyak.
Duet LE Manuhua-M Basir (keduanya almarhum) menakodai PR secara proporsional. Pak Manuhua mengurus masalah manajemen keperusahaan dan sesekali menimbrungi masalah redaksi, sementara Pak Basir mengurus total masalah redaksional. Makanya, setiap wartawan PR tahun 1977 hingga 1980, merasakan dan tahu betul bagaimana cara Pak Basir membimbing wartawan. Suatu hari saya berjalan 'kucing' (pelan-pelan) masuk kantor redaksi di Jl Andi Mappanyuki dengan harapan tak terdengar dan diketahui oleh Pak Basir. Ternyata beliau melihat kaki saya yang melangkah melewati pintu 'hempas' sepotong.
''Zendy, siapa yang masuk?,'' setengah teriak dia bertanya kepada Jayandi Putri Manuhua yang akrab disapa Zendy.
''Dahlan, Pak!,'' jawab Zendy.
''Suruh masuk!,'' pesannya.
Dalam hati saya, ke mana lagi gerangan saya harus 'terbang' ini.
''Bapak Gubernur (A Amiruddin) pagi-pagi ke Mamuju meninjau dampak gempa bumi. Tidak ada wartawan Pedoman Rakyat yang ikut bersama beliau. Kau... sekarang juga pergi ke Mamuju. Ini minta dana di bagian keuangan. Sudah!,'' perintahnya.
Perintah harus dilaksanakan. Tidak ada ''anu...'' dan sebagainya. Apalagi kompromi. Setelah M Basir meninggal dunia, gaya kerja seperti itu tiada lagi.
Kehilangan
Kisah itu sengaja saya angkat untuk sekadar mengenang, betapa PR telah hadir sebagai panggung informasi di Sulawesi Selatan seperti yang selalu dikemukakan Prof Dr Anwar Arifin. Diakui atau tidak, media ini telah menjadikan dirinya bagaikan 'lembaga pendidikan' bagi para wartawan. Banyak alumninya berkiprah sukses di berbagai media. Ada yang diterima di Kompas, Surya, bahkan beberapa di antaranya kini menjadi wartawan Tribun Timur.
Masalah yang kemudian muncul adalah ketika para seniornya satu demi satu 'gugur', titik-titik embun keprihatinan terhadap media ini mulai mengemuka. Saat LE Manuhua menghembuskan napasnya yang terakhir di RS Hikmah tahun 2004, keprihatinan saya pun kian besar. Bagaimana nasib media ini pasca almarhum? Soalnya, beliau tidak sempat mempersiapkan 'putra mahkota' yang mampu menerima titisan manajemen yang telah dia anut selama hidupnya. Apalagi kondisi sebagai perusahaan keluarga dengan para pemegang saham statis.
PR punya nama besar. PR adalah koran perjuangan. Begitu orang selalu berkomentar. Prof Dr H Halide termasuk salah seorang 'loper' media ini, ketika PR dicetak dan diedarkan dalam bentuk stensilan-dan sembunyi-sembunyi--pada masa Revolusi Fisik dari markasnya di Lajangiru (Jl G Merapi sekarang). Menurut Halide, dia enjoy saja disuruh mengedarkan stensilan itu.
''Kalau pun ditangkap Belanda, kita masih kecil. Belum tahu apa-apa,'' Halide mengenang, di kediamannya 24 Februari 2008 malam .
Tanda-tanda 'pejuang tua' ini mulai tertatih-tatih, ketika pada usianya yang ke-60 hanya mampu diperingati dengan gumaman doa belaka dari orang-orang yang mencintainya. Doa yang sangat tulus di tengah keprihatinan yang sangat mendalam. Sementara, persoalan manajemen dan finansial yang tak berkesudahan kian susah dipecahkan. Akhir-akhir ini pejuang tua ini menghadapi masalah internal yang kian sulit. Disharmoni internal antarpemegang saham mulai menguat.
Hingga hari ini, PR praktis sudah sekitar empat atau lima bulan tidak lagi menemui pembacanya. Upaya menerbitkannya bukan tidak ada, tetapi, kapal ini telanjur oleng berat. Saya tidak tahu, apakah masih bisa bertahan tidak karam? Sementara anak buahnya sudah pada menyelamatkan diri masing-masing mencari dan menjadi nakoda kapal baru. Banyak orang kehilangan dengan absennya PR di tengah jalan dan mengunjungi rumah-rumah pelanggan setianya.
Saya teringat tulisan Will Irwin yang mendeskripsikan dahsyatnya gempa bumi yang melanda Kota San Fransisco tahun 1906. Irwin kenal betul kota itu. Dari jarak 3.000 mil dia melahirkan sebuah tulisan jurnalistik bersejarah yang mengetuk batin setiap pembacanya. Reportasenya bertajuk The City That Was (Kota telah berlalu) yang menandakan San Fransisco menjadi kota mati. Akankah PR akan senasib dengan Kota San Fransisco seperti dalam tulisan Irwin itu? Akankah PR mampu bangkit lagi seperti Kota San Fransisco yang pernah hancur itu? Yang pasti, hari ini ulang tahun PR, tetap akan diperingati, meski mungkin tidak semarak dan dihadiri banyak personelnya dulu.

keterangan:
-artikel ini dimuat di Harian Tribun Timur, Makassar, 1 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar