Kamis, 24 November 2022

10 Tahun Mahasiswa, Tak Sampai-sampai Sarjananya

Fahmi merampungkan sekolahnya di SMA Negeri 198 Bulukumba dan lanjut memilih Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar (saat itu dikenal dengan nama Kampus Baraya) di tahun 1967. Di kampung saya, nama Fahmi Syariff menjadi harum. Selain menjadi mahasiswa di  universitas favorit, dia pun dikenal sebagai seniman drama yang aktif di Dewan Kesenian Makassar (DKM) bersama Prof Dr Ahmad Mattulada, yang juga berasal dari Bulukumba.

 


-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 24 November 2022

 

Dari Kampung ke Kampus Bersama Fahmi Syariff (1):

 

 

10 Tahun Mahasiswa, Tak Sampai-sampai Sarjananya

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan)

 

Ponre, Kecamatan Gantarangkindang (dulu, disingkat Gangking), sebuah wilayah pertanian yang subur di kaki Gunung Lompobattang. Bulukumba, salah satu kabupaten di bagian selatan Sulawesi Selatan, tempat saya lahir dan menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 198 (baca: SMA Neg.1).

Jarak Kampung Ponre (sekarang Kelurahan Matekko, Kecamatan Gantarang) dengan ibukota kabupaten, sekira 5 kilometer. Di kampung ini pula Fahmi Syariff lahir 10 tahun mendahului saya.

Fahmi merampungkan sekolahnya di SMA Negeri 198 Bulukumba dan lanjut memilih Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar (saat itu dikenal dengan nama Kampus Baraya) di tahun 1967.

Di kampung saya, nama Fahmi Syariff menjadi harum. Selain menjadi mahasiswa di  universitas favorit, dia pun dikenal sebagai seniman drama yang aktif di Dewan Kesenian Makassar (DKM) bersama Prof Dr Ahmad Mattulada, yang juga berasal dari Bulukumba.

Apabila pulang kampung, Fahmi menjadi pusat perhatian. Bertubuh ceking tapi gagah, penampilannya pun nyentrik: celana sadelking, ketat, dengan rambut gondrong beriak di atas bahu. Kadang-kadang dia tampil dengan syal kotak-kotak melilit di lehernya (ekspresi anak muda di era Muchsin dan Titiek Sandhora).

Saya tidak mengenal Fahmi secara dekat. Namun mendengar kepopulerannya di kampung, dan sesekali membaca tulisannya di surat kabar, saya pun berminat mengikuti jejaknya. Saya ingin kuliah di Fakultas Sastra Unhas, menjadi penulis dan pemain drama yang terkenal.

Tamat SMA 1976, saya pun menyiapkan diri mendaftar di Universitas Hasanuddin, dengan sasaran pilihan Fakultas Sastra. Banyak teman yang mendukung cita-cita saya. Namun, tidak sedikit pula yang tidak setuju dengan pilihan itu, terutama dari pihak keluarga. Bahkan, seorang guru saya di SMP Gantarang pernah bercerita. Katanya :

“Siapa bilang Fahmi Syariff sukses? Dia itu gagal kuliah. Sudah 10 tahun menjadi mahasiswa, tapi tak sampai-sampai sarjananya.” (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar