“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 17 / Al-Isra’: ayat 1)
------
Ahad, 26 Januari 2025
Hikmah Isra’
Mi’raj
Oleh: Dr Abdul Rakhim Nanda
Dalam Al-Quránul karim yang tidak ada
keraguan di dalamnya, disampaikan oleh Allah SWT suatu peristiwa penting yang
disebut isra’mi’raj, untuk memperlihatkan kepada Rasul-Nya tanda-tanda
(keangungan)Nya.
“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS 17 / Al-Isra’: ayat 1)
Beberapa hal mendasar yang penting
dipahami terkait peristiwa isra’-nya Nabiullah sallaahu alaihi wasalam, dari
ayat tersebut, yakni:
Ayat ini dimulai dengan kata Subhâna,
MahaSuci (Allah). Orang yang beriman sungguh-sungguh kepada Allah memahami
bahwa kata subhana ini menunjukkan kesempurnaan dan keagungan Allah SWT
sehingga apa yang ingin diperbuat-Nya, maka tidak ada satu pun halangan
bagi-Nya, termasuk apa yang akan dilakukan-Nya dalam rangkaian peristiwa
isra’-mi’raj ini.
Sesudah kata subhana, ada kata asra; yang
berarti memperjalankan. Maka kalimat “Subhânalladzî asrâ” bermakna Mahasuci
Allah yang –atas segala kesucian kesempurnaan-Nya, berkehendak- memperjalankan.
Sesudah itu, ada kata ‘ábdihî yang berarti hamba-Nya, yang disandangkan
kepada Muhammad rasulullah s.a.w.
Kata hamba-Nya menunjukkan hubungan yang
amat dekat, dan dengan perhatian khusus, sekaligus menunjukkan bahwa apapun
yang akan dilakukan oleh Allah selaku Khalik yang disembahnya (ma’bud) akan
ditaáti oleh abdihî (hamba-Nya) itu.
Selanjutnya, ada kata laylan, yang berarti
di waktu malam, yakni waktu yang dipilih oleh Allah dalam melangsungkan
peristiwa ini.
Kemudian ada kalimat min al masjidil
harâmi ila al masjidil aqsha, yang berarti dari masjid al-haram hingga ke
masjid al-aqsha. Ini menunjukkan area lokasi atau tempat berlangsungnya
peristiwa ini.
Lalu ada kalimat alladzî bâraknâ haulahû,
yang berarti‘yang Kami (Allah) berkahi sekelilingnya’. Ini dapat dipahami bahwa
lokasi terjadinya peristiwa isra’ itu adalah tempat yang diberkahi-Nya,
sekaligus dapat dipahami bahwa karena keberkahan Allah di seputar area tempat
itulah maka Dia memilihnya menjadi tempat berlangsungnya peristiwa isra’ itu.
Selanjutnya, ada kalimat li nuriyahû min
âyâtinâ, yang berarti ‘agar Kami (Allah) perlihatkan kepadanya (Muhammad)
sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami (Allah)’. Di sini Allah SWT menegaskan
tujuan diselenggarakannya isra’ ini, yakni menunjukkan kebesaran dan
keagungan-Nya.
Ini dapat pula dipahami bahwa Allah SWT
berkehendak menunjukkan kebesaran-Nya melalui peristiwa besar (agung) yang
tidak dapat dilakukan oleh selain Dia yang Maha Suci.
Kemudian ditutup dengan kalimat
innahuhuwassami’ul bashir, yang berarti ‘sesungguhnya Dia (Allah) Maha
Mendengar dan Maha Melihat’.
Ini dapat dipahami bahwa Allah SWT Maha
memiliki segala bentuk dan kemampuan melihat dan mendengar, sehingga apabila
Dia ingin menunjukkan kepada hamba-Nya Muhammad tanda-tanda keagungan-Nya
melalui rahmat-Nya dalam bentuk pendengaran dan penglihatan, maka hal itu
sangat mudah bagiNya, yang mana makhluk lain tidak dapat melakukannya karena
tidak diberi rahmat oleh-Nya.
Dari uraian singkat sebelumnya, dapatlah
dirajut pemahaman hati melalui logika-iman, yakni:
Bahwa peristiwa isra’ itu terjadi atas
kehendak Allah yang Maha Suci, bukan keinginan Muhammad Rasulullah s.a.w,
sehingga bagi orang yang beriman, “seharusnya” tidak susah baginya memahami
bahwa perisitiwa isra’ ini benar-benar terjadi karena kehendak Allah yang tidak
mungkin ada makhluk yang dapat menghalanginya.
Bahwa Muhammad s.a.w. mampu
melaksanakannya karena diperjalankan oleh Allah, bukan jalan dengan kekuatannya
sendiri.
Bahwa dalam perjalanan malam (isra’) di
area tempat yang diberkahi ini, Allah SWT –atas kehendak dan rahmat-Nya-
menunjukkan sebagian dari tanda-tanda keagungan-Nya kepada hamba-Nya, serta
memberikan kepadanya kemampuan pendengaran dan penglihatan untuk mendengar dan
melihat tanda-tanda keagungan-Nya itu.
Dengan demikian, seluruh rangkaian
peristiwa perjalanan malam (isra’) itu terwujud dengan mengikuti skenario
(ketetapan) Allah SWT. Inilah inti keimanan kepada Allah terkait peristiwa
isra’ ini.
Berikutnya, rangkaian dari perjalanan
malam (isra’) dari masjid al haram ke masjid al aqsha itu, yakni perjalanan
vertical (mi’raj) menuju langit yang tertinggi (sidratil muntaha).
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’án, surah
An-Najm/53: 12-18, menunjukkan bahwa Muhammad Rasulullah s.a.w benar-benar
pernah bertemu malaikat Jibril di sana.
(12) Maka apakah kaum (musyrik Mekah)
hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? (13) Dan sesungguhnya
Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain, (14) (yaitu) di Sidratil Muntaha.
(15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal.
16 (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. (17) Penglihatannya
(muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
(18)
Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhan-nya yang paling besar (QS AnNajm/53: 12-18).
Sebagian besar mufassirin dalam memahami
ayat ini berpendapat bahwa pertemuan antara Rasulullah s.a.w dengan Jibril a.s.
di sidratil muntaha itu terjadi pada peristiwa mi’raj Rasulullah s.a.w.
Menyaksikan Surga dan Neraka
Berikut ini, di ruang baca yang singkat
ini, dikutipkan tulisan al-Imam Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’,di dalam
tafsir al Karim ar Rahman fi tafsir Kalam al Mannan, yang memaparkan ringkasan
hadits terkait peristiwa Isra’-mi’raj tersebut.
Beliau menuliskan: “Nabi menerangkan
secara rinci kejadian-kejadian yang telah beliau lihat, dan bahwasanya beliau
diperjalankan di malam hari menuju Baitul Maqdis, kemudian dinaikkan dari sana
menuju ke seluruh lapisan langit hingga sampai pada permukaan atas langit yang
tertinggi.”
“Beliau telah menyaksikan surga dan
neraka, (bertemu dengan) sejumlah nabi -di langit- sesuai dengan kedudukan
mereka, lantas ditetapkan atas beliau kewajiban shalat lima puluh waktu (dalam
sehari semalam).”
“Atas arahan dari Nabi Musa Al Kalim,
beliau berbolak-balik kepada Rabb-nya (untuk meminta keringanan) hingga menjadi
lima kali waktu secara perbuatan, dan menjadi 50 dalam pahala dan balasannya.
Beliau dan umatnya telah meraih sumber-sumber kebanggaan di malam itu, yang
tidak ada yang mengetahui kadarnya kecuali Allah SWT.”
Seusai Nabi diperjalankan oleh Allah SWT
dengan isra’-mi’raj itu, beliau menyampaikan pengalaman spiritualnya kepada
sepupunya Ummu Hani’. Berikut dikutipkan suatu Riwayat yang dituliskan oleh
Syayyid Quthb dalam tafsir Fi ZhilalilQurán:
Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. waktu itu
tidur di rumah Ummu Hani’ sesudah shalat isya maka beliau di-isra’kan, kemudian
dipulangkan kembali pada malam itu juga.
Lalu beliau menceritakan kejadian tersebut
kepada Ummu Hani’. Beliau mengatakan, “Telah dihadirkan kepadaku para Nabi,
maka aku melakukan shalat sebagai imam mereka.”
Kemudian beliau bergegas hendak keluar ke
masjid, maka Ummu Hani’ menarik bajunya. Beliau bertanya, “Kenapa?” Ummu Hani’
menjawab, “Aku khawatir kalau kaummu mendustakanmu jika kamu memberitahukan
kejadian ini kepada mereka.”
Beliau berkata, “Tidak, sekali pun mereka
akan mendustakan aku.”
Abu Jahal dan Abu Bakar
Nabi s.a.w. pun keluar, lalu Abu Jahal
datang menemuinya, maka Rasulullah menceritakan kepada Abu Jahal tentang
peristiwa isra’.
Abu Jahal berkata, “Wahai sekalian bani
Ka’áb bin Lu’ay kemarilah.” Mereka pun datang lalu Nabi s.a.w. bercerita kepada
mereka. Mereka ada yang bertepuk-tangan dan ada yang meletakkan tangan di atas
kepala karena merasa takjub dan ingkar. Bahkan ada orang yang sudah beriman
kepada beliau pun murtad (keluar) kembali.
Ada beberapa tokoh yang bergegas menemui
Abu Bakar untuk menceritakan hal itu. Abu Bakar berkata, “Apa benar Nabi
berkata begitu?” Mereka menjawab, “betul.” Maka, Abu Bakar berkata, “Aku
bersaksi, jika benar-benar Muhammad mengatakan hal itu, maka pastilah dia
benar.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau
mempercayainya bahwa ia datang ke Negeri Syam dalam satu malam kemudian kembali
lagi ke Mekah sebelum pagi tiba?”
Abu Bakar menjawab, “Ya, bahkan saya
percaya kepadanya dalam hal yang lebih jauh dari itu. Saya mempercayainya dalam
hal berita yang ia terima dari langit.”
Itulah iman Abu Bakar, karena itulah maka
ia dijuluki dengan ash Shiddiq ‘yang sangat membenarkan.’
Dari kutipan riwayat yang dituliskan oleh
Sayyid Quthb menunjukkan dua karakter manusia dalam penerimaan peristiwa isra’
mi’raj ini. Ada karakter Abu Jahal dan para pengikutnya yang tidak mau
mempercayai peristiwa tersebut, bahkan dijadikannya sebagai ejekan bagi
Rasulullah.
Hal ini terjadi karena logika – imannya
hanya mampu membandingkan antara peristiwa isra’ mi’raj itu dengan dirinya
sebagai makhluk.
Adapun Abu Bakar r.a. menerima peristiwa
tersebut secara mantap tanpa sedikit pun keraguan. Hal ini terjadi karena
logika-imannya melampaui kemampuan logika-iman Abu Jahal.
Logika-iman Abu Bakar menjangkau ‘hakikat
ilmu’ sehingga ia membandingkan peristiwa isra’ mi’raj itu dengan sifat Sang
Khalik yang Maha Suci, Maha Berkehendak tanpa batas, tanpa ada makhluk yang
mempu menyamai-Nya. Itulah iman yang sejati.
Wallahua’lamu bisshawab....
........
Daftar rujukan:
Al-Qurán
dan Terjemahnya
As-Sa’di,
Syaikh Abdurrahman bin Nashir. Tafsir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam al
Mannan. Jilid 4. Jakarta: Darul Haq, 2018.
Quthb,
Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Quran, di bawah naungan Al Qurán. Jilid 7. Cet. 1.
Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir Al Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qurán. Vol. 7.
Jakarta: Lentera Hati, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar